RENCANA VAKSIN INDIVIDUAL BERBAYAR, SIAPA TANGGUNG RESIKONYA?




Oleh : Erna Susanti, S.TP


Politikus Partai Gerindra, Fadli Zon, buka suara terkait rencana pemerintah yang hendak memperjualbelikan vaksin Covid-19 kepada khalayak melalui Kimia Farma. Dirinya pun menolak keras adanya niat tersebut. Dalam cuitannya melalui akun Twitter @fadlizon, Senin (12/7/2021), Fadli Zon mengatakan bahwa Vaksin Gotong Royong berbayar harusnya dibatalkan, bukan ditunda. Menurutnya, uang yang dipakai untuk membeli vaksin adalah hak rakyat. Oleh sebab itu dirinya heran jika vaksin tersebut kembali dijual kepada masyarakat. (https://www.genpi.co/polhukam/119396/fadli-zon-vaksin-berbayar-harusnya-dibatalkan-bukan-ditunda)
Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah berencana akan membuka layanan vaksin berbayar melalui Kimia Farma. Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, mengatakan bahwa “Pelayanan program vaksinasi Gotong Royong berbayar bagi individu sudah bisa diakses mulai Senin (12/7). Kebijakan ini dinilai sebagai alternatif untuk mempercepat pelaksanaan program vaksinasi nasional demi terciptanya kekebalan kelompok. Arya menegaskan, meski program vaksin berbayar berjalan bukan berarti program vaksin gratis ditiadakan.” ( https://www.republika.co.id/berita/qw3j43354/arya-vaksin-gratis-tetap-jalan-meski-ada-vaksin-berbayar). Karena mendapat reaksi dari banyak pihak yang menolak rencana tersebut, akhirnya pemerintah mengambil sikap untuk menundanya terlebih dahulu.


Rencana vaksin berbayar walau ditunda sementara waktu ternyata mengundang polemik tersendiri di tengah kondisi pandemi yang belum diketahui sampai kapan akan berakhir, mengingat wabah terus meningkat. Bagaimana seharusnya hal ini bisa tertangani dengan baik dalam pandangan Islam?


Komersialisasi Sektor Kesehatan ; Sebuah Keniscayaan dalam Sistem Kapitalisme


Berbagai argumentasi diungkapkan oleh pemerintah terhadap rencana kebijakan program vaksin berbayar. Terlepas dari apapun argumentasi yang ada termasuk keinginan menundanya, program tersebut tetap dinilai oleh banyak pihak tidak akan memberikan solusi tuntas dalam penanganan wabah yang semakin mengganas. Publik bisa menilai ada apa di balik rencana pemerintah tersebut. Selain karena faktor ekonomi berupa beban rakyat yang semakin berat, rencana vaksin individual dikhawatirkan tidak diiringi mekanisme pengawasan, padahal sudah banyak kasus pascavaksin yang harusnya ditangani sebagaimana data yang dirangkum oleh Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Meskipun ,kondisi ini tidak selalu memiliki hubungan sebab dan akibat dengan penggunaan vaksin.


Rencana pengadaaan vaksin berbayar individu menegaskan lepasnya tanggung jawab pemerintah , pemalakan terhadap rakyat (karena ada ancaman bagi yang tidak vaksin) dan membiarkan masyarakat dalam resiko (karena tiada pengawasan). Pakar epidemiologi UI, Pandu Riono, menilai Indonesia (selama setahun pandemi) belum berhasil menekan penularan dan mengendalikan pandemi sehingga masih banyak peningkatan kasus, Pasien Covid-19 di rumah sakit masih tinggi, begitu juga dengan kematian. Belum selesainya pandemi Covid-19 menjadi konsekuensi dari menduanya sikap pemerintah, yang ingin menyeimbangkan antara ekonomi dan kesehatan. Dia menegaskan yang harusnya ada di masa ini adalah prioritas yakni menekan penularan. Adanya program vaksinasi demi mengembalikan kepercayaan masyarakat untuk beraktivitas ekonomi sangat berbahaya. Pelaksanaan vaksinasi akan tarik ulur dengan pembukaan kegiatan ekonomi.


Akses vaksin yang dirasa belum merata dan belum cepat dinilai sebagai salah satu dari banyak faktor yang menjadi kendala dalam menekan penularan. Hal ini sebagaiman terlihat dalam ungkapan Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Bio Farma, Bambang Heriyanto, yang  menjelaskan bahwa vaksinasi gotong royong perorangan menjadi alternatif bagi masyarakat dalam mengakses vaksin Covid-19. Menurut dia, masyarakat harus mendapat akses vaksin Covid-19 seluas-luasnya. Penyelenggara vaksinasi gotong royong ini pun terbuka bagi siapapun atau pihak manapun, dengan catatan memiliki persyaratan sebagai fasyankes vaksinasi. Dengan demikian harapan pemerintah untuk mempercepat vaksinasi dapat terwujud. (https://www.republika.co.id/berita/qw3j43354/arya-vaksin-gratis-tetap-jalan-meski-ada-vaksin-berbayar).


Dari sini kita bisa menilai bahwa buruknya distribusi dan pengadaan vaksin di masyarakat masih menjadi persoalan utama. Program vaksin berbayar dianggap sebagai solusi cepat bagi daya aksesnya di masyarakat. Benarkah demikian? Sedangkan harga vaksin sendiri bagi rakyat kalangan menengah ke bawah adalah sebuah harga yang “wah” sulit dijangkau. Bagaimana mungkin vaksin berbayar tersebut akan menjadi solusi agar bisa diakses cepat oleh rakyat yang sedang melemah ekonominya saat ini di tengah hantaman pandemi? Sudah pasti kita akan bisa sama-sama menjawabnya bahwa rakyatlah yang tetap akan menanggung beban dengan adanya vaksin berbayar, tanpa melihat apakah rakyat kalangan menengah ke bawah atau rakyat menengah ke atas. Bahkan kemungkinan adanya kasus pascavaksin juga yang belum tentu ada yang bisa menjaminnya bisa tertangani dengan baik, yang jika dilihat secara realitas justru sebaliknya.


Dunia kapitalisme saat ini, sangat sulit mengetahui siapa yang bisa dipercaya. Ditambah begitu banyaknya teori konspirasi bersamaan dengan keraguan dan sikap skeptis. Politisi dalam masyarakat kapitalis telah mengompromikan kepentingan bisnis besar atas masyarakat biasa. ‘Big Pharma’ – yaitu korporasi yang mendominasi kesehatan di seluruh dunia, punya catatan telah menaruh keuntungan perusahaan di atas kesehatan publik. Bahkan organisasi nonpemerintah tidak dipercaya di banyak belahan dunia.


Di Pakistan dan Afghanistan, penyakit polio terus berkembang dan membahayakan masyarakat karena program vaksinasi diasosiasikan dengan agensi asing dan rasa takut terhadap intervensi asing. Masyarakat harus bisa mempercayai pemerintah mereka untuk mengurusi urusan mereka, tanpa khawatir apakah pemerintah lebih tertarik pada profit bagi korporasi atau kepentingan kekuatan kolonial. Secara buta mempercayai pemerintah sebagai satu-satunya sumber informasi adalah sebuah kesalahan. Namun hal ini tidak berarti secara buta menolak apa pun yang mereka katakan. Kebijakan dan saran butuh pengawasan dan verifikasi berdasarkan kajian yang dilakukan dengan sungguh-sungguh; konsultasi dengan para ahli ketika dibutuhkan.
Khilafah dan Program Vaksin untuk Semua
 
Jika tujuannya untuk mempercepat akses vaksin sehingga kekebalan kelompokpun akan cepat terwujud,  maka solusinya bukanlah dengan vaksin berbayar. Melainkan dengan tetap segera memvaksin seluruh warga berbiaya gratis dan perbaikan mekanisme distribusi vaksin dan tenaga kesehatan serta pendetilan dalam pendataan warga negara. Justru vaksin berbayar akan semakin mempelihatkan buruknya sistem kapitalisme saat ini dalam kebijakan politik kesehatan, yang akan semakin memperlebar jurang diskriminasi antara golongan yang kaya dan golongan yang miskin. Yang miskin akan sulit mengakses vaksin berbayar dan semakin susah terjamin bisa tercegah dari serangan wabah yang ada. Maka dari itu, tentu kita sangat  membutuhkan sebuah sistem politik kesehatan yang komprehensif., yang bisa mengatasi pandemi secara tuntas. Sistem politik itu adalah sistem Khilafah Islamiah.


Kepemimpinan global di bawah naungan Khilafah akan mengedepankan sisi kemanusiaan ‘penyelamatan manusia’. Pandemi seperti Covid-19 akan dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat bahkan kedaruratan karena menyangkut hilangnya nyawa. Islam memandang nyawa adalah kehidupan yang wajib dijaga. Segala hal yang membahayakan nyawa manusia harus dihindarkan. Pandemi Covid-19 yang sudah menghilangkan nyawa jutaan manusia harus segera diatasi. Sebagai bagian dari penyelesaian pandemi adalah mengoptimalkan layanan kesehatan dengan menemukan obat bagi penyakit. Vaksin adalah bagian dari pengobatan yang harus diupayakan oleh Khilafah selain dengan tetap memprioritaskan mekanisme lockdown.


Khilafah akan mengembangkan vaksin  dan memfasilitasi distribusi vaksin, sehingga bisa ditawarkan kepada masyarakat untuk pencegahan penyakit. Baitul maal khilafah akan memberikan dukungan penuh pendanaan pengembangan vaksin melalui dua skema pembiayaan, yakni pengeluaran wajib untuk kemaslahatan dan kemanfaatan warga negara tanpa kompensasi dan pengeluaran wajib untuk kondisi darurat. Vaksin diperuntukkan bagi warga negara Khilafah baik muslim ataupun nonmuslim secara murah atau bahkan gratis. Semua jaminan pelayanan dan pemenuhan kebutuhan kesehatan warga negara menjadi hak warga negara yang diamanahkan kepada pemimpin (Khalifah) untuk bisa memenuhi salah satu hak pokok rakyat (massal) tersebut. Dukungan sistem ekonomi islam yang komprehensif dalam penerapannya juga akan sangat memungkinkan pendanaan terhadap itu semua. Sehingga program vaksin berbayar akan sangat kecil kemungkinan bisa terjadi dalam sistem Khilafah. Pada skala global, Khilafah akan berusaha dalam berbagai cara memberi bantuan vaksin untuk negara lain yang lebih lemah dalam hal pengobatan dan penyembuhan dengan dasar kepemimpinan intelektual dan koordinasi. 
Sistem birokrasi dalam sejarah Khilafah yang  mendasarkan pada prinsip sederhana, mudah dan cepat termasuk dalam penanganan pandemi, akan mempermudah pemerataan akses vaksin.  Para Khalifah adalah mereka yang amanah yang memegang teguh sabda Rasulullah saw., “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad). Sabda Rasulullah saw. tersebut menunjukkan bahwa keberadaan Khilafah yang berdiri di atas dasar ideologi Islam ini penting dijadikan arah pandang penanggulangan pandemi, termasuk perihal penyediaan vaksin dan distribusinya. 
 
Wallahu a’lam bi ash-showwab.
 
 
 

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak