Oleh : Ummu Eva (Komunitas Tinta Pelopor)
Setahun lebih, Indonesia masih dibayang-bayangi pandemi covid-19. Bahkan terkini lonjakan kasus yang terjadi semakin meningkat. Tercatat per 1 juli 2021 kasus konfirmasi positif di Indonesia mencapai 2.203.108 kasus, kasus kematian di angka 58.995, dan kasus sembuh mencapai angka 1.890.287 (detik.com). Perjalanan pandemi ini belum pasti kapan akan berakhi. Terlebih varian virus jenis baru tingkat penyebaran dan penularannya sangat cepa. Sehingga berdampak makin meningkatnya angka kasus positif Covid-19 di sejumlah daerah di Indonesia. Ditambah mulai longgarnya protokol kesehatan di tengah-tengah masyarakat khususnya di area publik, jadi tidak mengherankan bila berakibat kolapsnya pelayanan di fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) dan juga tenaga kesehatan (nakes) itu sendiri.
Berdasarkan data Direktorat Pelayanan Kesehatan Kementrian Kesehatan, status pelayanan tempat tidur insentif di sejumlah daerah hampir mencapai 100% pada 19 Juni 2021. Melihat adanya gelombang kedua Covid-19 ini, nampaknya pemerintah masih belum menerapkan kebijakan secara ketat untuk skala makro. Pemerintah masih menggunakan kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) pada skala mikro. Diantaranya area perkantoran wajib menerapkan 75% WFH (Work From Home), prokes lebih ketat, tidak memobilisasi ke daerah lain, proses belajar mengajar 100% daring, kendaraan umum angkutan massal, taksi (konvensional dan online) maksimal 50% kapasitas, pusat perbelanjaan/mal kapasitas maksimal 25%, tempat-tempat ibadah ditutup dan umat beribadah di rumah saja, kegiatan di area publik yang menimbulkan kerumuman ditiadakan, operasional restoran harus menerapkan kapasitas maksimum 25%, dll.
Selain itu, upaya yang dilakukan untuk mengatasi pandemi ini ialah adanya program vaksinasi. Ya, program ini memang sedang digencarkan oleh pemerintah dalam mengatasi wabah covid-19. Tak tanggung-tanggung, pemerintah sudah menyiapkan 290 juta dosis vaksin covid-19 hingga akhir tahun 2021 dengan target 1juta dosis per hari disuntikkan ke masyarakat dengan tujuan agar tercapai sebuah kekebalan komunal (herd immunity). “Saat ini 70% penduduk sudah divaksinasi, maka kekebalan komunal akan tercipta “ ujar Presiden Jokowi di tengah kunjungan kerjanya meninjau vaksinasi massal di Maluku. ( 25/03/2021, cnbc.indonesia.com)
Mungkinkah solusi vaksinasi dan PPKM ber skala mikro dapat efektif mengakhiri pandemi? Solusi pragmatis yang dijalankan saat ini tetap tidak cukup karena sistem yang diterapkan bukan berlandaskan dari sistem Sang Pencipta yakni Sistem Islam. Sistem kapitalisme saat ini banyak memunculkan benturan dengan kepentingan yang lainnya. Sebaliknya solusi tanpa cara pandang Islam hanya akan memperpanjang usia sebaran virus. Melihat fakta yang ada dengan situasi wabah yang makin tak terkendali menunjukkan sistem kesehatan yang diterapkan oleh kepemimpinan kapitalistik sudah kolaps bahkan nyaris lumpuh. Sebagaimana kita ketahui bahwa sistem kapitalisme lebih mementingkan yang membawa manfaat, materi bukan maslahat. Sistem ini telah berhasil memutus hubungan antara rakyat dan penguasa, menganakemaskan konglomerat, pemilik modal dan menganaktirikan “konglomelarat”.
Sejak awal pandemi, negara telah salah langkah dalam menyikapi wabah ini dengan menjadikan pertimbangan ekonomi sebagai alasan. Karena asas kapitalisme yang berfokus pada materi, negara bukannya membuat kebijakan untuk menghentikan wabah dan pemenuhan jaminan rakyat malah sibuk mempertahankan kelangsungan bisnis para kapital. Hal ini menunjukkan bahwa sistem kapitalisme sekuler memposisikan nyawa tidak lebih berharga dari materi. Kebijakan berputar pada perbaikan ekonomi bukan kemaslahatan rakyat. Demi langgengnya koporasi multinasional, nyawa rakyat dipertaruhkan. Negara kapitalisme sekuler hanya memposisikan negara sebagai regulator. Ditambah kebijakan-kebijakan yang hanya menjauhkan jarak antara negara dan rakyat.
Maka, untuk membangun sistem kesehatan yang kuat dalam rangka menangani pandemi ini, tidak cukup hanya penguasa kapabel (pengurus dan pelayanan rakyat), namun juga membutuhkan sistem yang mumpuni dan mampu bertahan di wabah ganas. Kita perlu berevolusi dari sistem politik kapitalisme yang berbasis asas materi ke sistem Islam yang berasas akidah Islam. Dalam Islam, Wabah bukanlah hal baru dalam khazanah Islam. Pada masa Nabi Muhammad SAW terdapat wabah Shirawayh. Wabah pertama pada awal sejarah Islam ini terjadi di Al-Mada’in (Ctesiphon), pusat pemerintahan Persia, pada 627–628 M. Wabah ini menjadi salah satu sumber kemunculan riwayat-hadits mengenai wabah pada era kenabian khususnya saat di Kota Madinah, saat Nabi sedang hijrah pada tahun 622 M (11). Wabah berikutnya adalah Amwas. Michael Walters Dols, sejarawan Amerika Serikat, dalam Plague in Early Islamic History menjelaskan, wabah ini dinamai demikian karena menyerang tentara Arab di Amwas, Emmaus, sebuah wilayah di Jerusalem. Peristiwa ini terjadi pada masa Kekhalifahan Umar bin Khathab tahun 638/639. Wabah Amwas menelan korban jiwa 25.000 tentara muslim dan meluas ke seluruh Suriah, Irak, dan Mesir. Dua gubernurnya, yaitu Abu Ubaidah dan Muadz bin Jabbal wafat secara berturutan. Kemudian Amr bin Ash dipanggil untuk memimpin penanganan wabah tersebut hingga akhirnya wabah dapat berhenti. Lalu bagaimana islam menetapkan penguncian wilayah sebagai tindakan pertama menghentikan sebaran virus ?
Dalam pandangan Islam, negara adalah pengurus yang senantiasa prinsip hifdz-nafs (menjaga jiwa) sebagai orientasi kebijakan dalam kondisi apa pun. Pertama, sejak awal pemimpin dalam sistem Islam akan memisahkan orang sehat dari orang sakit. Tes massal dapat dilakukan secara gratis bagi warganya untuk mengetahui siapa yang terinfeksi dan siapa yang sehat. Bagi mereka yang terinfeksi, negara melacak siapa saja yang telah berdekatan dengannya, kemudian mengurus pengobatan mereka hingga sembuh. Kedua, pemimpin di dalam sistem Islam yakni Khalifah berupaya maksimal menutup wilayah sumber penyakit, sehingga penyakit tidak meluas alias lockdown total. Sementara itu, daerah yang tidak terinfeksi dapat menjalankan aktivitas sosial ekonomi mereka secara normal tanpa takut tertular. Ketiga, bagi masyarakat di daerah wabah, Khalifah akan menjamin seluruh kebutuhan pokok mereka. Hal ini karena masyarakat di daerah wabah tidak mampu menjalankan roda ekonomi sehingga pemenuhan kebutuhannya harus diberikan oleh negara. Keempat, Khalifah menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan yang cukup dan memadai bagi rakyat, tanpa menzalimi tenaga medis/instansi kesehatan. Kelima, Khalifah mendukung penuh dengan menyediakan dana yang cukup untuk melakukan riset terhadap vaksin agar segera dapat ditemukan.
Sistem pemerintahan Islam inilah yang sedang ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Yang dapat menyelesaikan permasalahan umat berbasis pada kesadaran ideologi dan maslahat. Dalam sistem pemerintahan Islam, konsep kesehatan untuk mengobati pasien penderita wabah diberikan dengan gratis, profesional, dan tidak berdasarkan pada pelayanan untung rugi. Terjaminnya kesehatan rakyat merupakan kewajiban bagi negara. Maka dari itu perubahan sistem dari kapitalisme menuju Islam tidak bisa ditunda-tunda, harus disegerakan dan perlu perjuangan bersama dari seluruh elemen umat. Caranya tidak lain adalah dengan melakukan dakwah Islam ideologis, yang mana mengukuhkan keimanan akan kebenaran dan kesempurnaan sistem Islam. Dengan adanya dakwah ini, maka umat akan sadar atas kebobrokan sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini semakin hari semakin mendekati kehancuran. Wallahua’lam bish showab