Oleh : ummu Hanif, Pengamat sosial dan Keluarga
Perkembangan kasus Covid-19 memang benar-benar makin tak terkendali dan kian sporadis. Dalam beberapa waktu terakhir ini, penambahan kasus konfirmasi harian bahkan telah melampaui angka 27 ribu. Sementara jumlah kematian harian juga terbilang sangat tinggi, hingga pernah tembus sebanyak 555 orang sehari.
Kondisi ini pun lantas diikuti dengan kolapsnya layanan kesehatan di berbagai faskes. Sementara harga obat, alat kesehatan, dan oksigen juga melambung tinggi. Bahkan untuk oksigen, bukan hanya harganya yang menjadi mahal, tapi keberadaannya pun sangat langka di pasaran.
Situasi ini diduga kuat terkait mobilitas masyarakat yang tak terkendali pasca-Ramadan dan Idulfitri. Lalu diperparah dengan tingkat kepatuhan masyarakat dalam menaati prokes yang masih sangat rendah. Kondisi inilah yang mendorong Pemerintah akhirnya resmi mengeluarkan kebijakan PPKM Darurat di sejumlah kabupaten/kota dengan nilai asesmen 3 dan 4. Daerah-daerah itu ada di enam provinsi, meliputi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, dan Bali.
Dan seperti diketahui, sebagai tindak lanjut atas kebijakan (PPKM) Darurat ini, Menteri Agama mengeluarkan Surat Edaran (SE) No. 17/2021, yang memicu kontroversi. SE ini berisi tentang Peniadaan Sementara Peribadatan di Tempat Ibadah selama PPKM Darurat berlaku, yakni sejak 3—20 Juli 2021. Juga mengatur soal penyelenggaraan Malam Takbiran, Salat Iduladha dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kurban Tahun 1442 H/2021 M di wilayah yang diberlakukan PPKM Darurat.
Maka, atas dasar Surat Edaran inilah kaum muslim kembali “terlarang” melakukan sebagian dari syiar-syiar Islam. Seperti menyelenggarakan salat berjemaah, termasuk salat Jumat, takbiran, dan salat Iduladha. Bahkan, penyelenggaraan kurban pun tampaknya akan mengalami pengetatan.
Yang kemudian sering dipertanyakan adalah soal sejauh mana konsistensi dan keseriusan pemerintah dalam menangani pandemi ini? Maklum saja, selama ini masyarakat masih melihat kentalnya conflict of interest di level pemangku kebijakan. Sehingga, kebijakan terkait pandemi sering bertabrakan dengan kebijakan lain yang diterapkan. Sebagai contoh, sebelumnya pemerintah sempat menetapkan pembatasan aktivitas ibadah dan menutup rumah ibadah. Namun di saat sama, tempat publik lain seperti pasar, mal, tempat makan, dan wisata justru dibiarkan tetap buka.
Begitu pun pemerintah beberapa kali melakukan pengetatan aktivitas masyarakat di dalam negeri. Ada larangan mudik, sekolah daring, dan lain-lain. Namun di saat bersamaan, pemerintah malah membiarkan pintu bandara internasional terbuka lebar bagi masuknya warga negara asing, bahkan saat pemberlakuan PPKM darurat sekalipun.
Maka, seperti yang kita alami saat ini, dampaknya semakin hari semakin menjadi. Berbagai varian baru virus yang berkembang di negeri mereka, akhirnya turut memapar warga negara kita sendiri. Situasi ini pun lantas diperparah dengan ketaksiapan pemerintah dalam mem-back up kebutuhan masyarakat, baik terkait kebutuhan ekonomi maupun layanan kesehatan yang murah dan memadai. Jangankan untuk melakukan tes, berobat, atau vaksin mandiri, untuk makan sehari-hari saja situasinya makin sulit karena dampak pandemi.
Wajar jika banyak masyarakat yang tak peduli bahwa mobilitas yang mereka lakukan dengan perlindungan tak memadai akan membawa risiko tinggi. Bahkan mereka cenderung tak peduli bahwa posisi mereka berpeluang menjadi carrier bagi penyebarluasan virus itu sendiri.
Pada saat yang sama, pemerintah terus mencari celah untuk memeras harta milik rakyatnya. Salah satunya melalui utak-atik berbagai aturan pajak. Maka, rakyat hanya melihat bahwa negara dan penguasa sekuler yang sedang tegak tak serius mengurus dan menjaga mereka. Terbukti, saat di awal kasus ini muncul, penguasa malah sibuk guyon bermain kata, dan mengambil kebijakan ala kadarnya. Bahkan saat situasi mulai tak terkendali, dana rakyat yang dikucurkan malah habis untuk program-program pencitraan. Itu pun banyak yang bocor dikorupsi. Maka, masihkah masyarakat berharap pada sistem yang telah tak mampu berdiri tegak ini? Tidakkah ini menghantarkan pada keinginan terhadap wacana sistem islam yang selama 3,5 abad berhasil membawa kesejahteraan dunia?
Wallahu a’lam bi ash showab.