Oleh: Murdhiyati (Aktivis Dakwah)
Sudah lebih dari satu tahun kasus Covid-19 menjadi berita harian Dunia. Mereda sebentar lalu melesat lagi ke permukaan. Virus corona yang kini makin bervarian dan terus bermutasi makin mengundang kekhawatiran dunia. Di Indonesia, per 22 Juni 2021 Kasus positif sudah tembus 2.004.445, dari jumlaah tersebut terindikasi sekitar 147.728 kasus masih aktif di Indonesia.
Melihat angka kasus yang makin fantastis pemerintah kembali memperketat aturan dengan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. Termasuk dalam hal ini kebijakan Kementerian Agama (Kemenag) yang disampaikan Yaqut Cholil Qoumas terkait peniadaan shalat Idul Adha 1442 H di masjid maupun di lapangan terbuka yang dapat menimbulkan kerumunan pada zona yang diberlakukan PPKM Darurat.
Sontak kebijakan ini menuai banyak kritik. Pasalnya, ketika keputusan tentang peniadaan shalat Idul Adha itu diterbitkan proyek dan sektor esensial seperti bidang keuangan dan perbankan, pasar modal, sistem pemabayaran, teknologi informasi dan komunikasi, perhotelan non penanganan karantina Covid-19 dan industri orientasi ekspor masih boleh beroperasi. Lebih mengecewakan lagi pusat perbelanjaan dan restoran tetap buka dengan jam terbatas.
Embel-embel prokes ketat selalu dijadikan alasan pemerintah untuk membuka sektor strategis ekonomi. Tapi faktanya, satu tahun lebih virus corona menyebar di Indonesia tak pernah ada ketegasan dari pemerintah sehingga setiap kebijakan seolah sebagai pemanis bibir belaka.
Epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman bekomentar, "Faktanya komitmen pimpinan dalam menerapkan aturan ini lemah. Lemah banget. Enggak ada monitoring-nya. Jalanan tetap macet, kantor penuh. Banyak aturan tapi implementasinya jadi PR besar," kata dia. Belum lagi dengan TKA yang masih saja berdatangan ketika PPKM dalam negeri dibelakukan yang bahkan menjadi sumber varian baru virus.
Wajar muncul pertanyaan mengapa harus shalat Idul Adha yang pelaksanaannya satu tahun sekali ditiadakan sementara aktivitas lain masih bisa diusahakan dengan penerapan protokol kesehatan. Lagi-lagi sistem tebang pilih kebijakan terlihat akibat orientasi materi yang terus menyetir regulasi.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menilai pemerintah saat ini masih berfikir dengan logika ekonomi ketimbang perspektif kesehatan ketika menerapkan PPKM. Menurutnya, pemerintah harus berpihak pada kesehatan masyarakat terlebih dulu ketimbang aspek ekonomi.
Padahal dalam Islam, Shalat Idul Adha merupakan bagian dari Syiar agama yang penting sebagaimana azan. Namun pemerintah justru lebih mengedepankan untuk melonggarkan proyek esensial yang pada kenyataannya justru didominasi kebathilan dengan iming-iming keuntungan.
Sejak awal memang tak pernah ada keseriusan dalam menangani pandemi, sehingga kasus covid terus berlarut-larut terbawa arus ambisi pemerintah yang materialistis. Selalu terkesan santai dalam menanggapi kasus covid, ketika virus yang semakin kuat menyebar dalam negeri, kebijakan tak pernah memberi solusi. Justru makin menuai kontroversi dan kemelaratan bagi masyarakat. Termasuk dalam menjamin sementara kebutuhan masyarakat selama PPKM darurat diberlakukan, ketika rakyat tak mampu mencari nafkah sebagaimana kondisi normal pemerintah malah berlepas tangan dan terus mementingkan ekonomi, proyek dan infrastruktur.
Paradigma Kapitalisme lah yang menjadikan setiap kebijkan tak pernah berujung pada keadilan. Urusan agama dan kesehatan masyarakat dianggap sebagai tanggung jawab masing-masing individu, bukan negara. Maka wajar selalu berujung pada kedzaliman.
Padahal Islam telah memberi panduan terbaik dan tepat dalam menghadapi pandemi. Yakni dengan mengunci wilayah yang terpapar sejak awal dengan kebijakan lockdown. Lalu memberi pengobatan terbaik dan gratis bagi yaang telah terpapar. Sementara itu perekonomian tetap dijalankan di wilayah yang masih aman sehingga mampu memberi pasokan bantuan pada wilayah yang telah terpapar pandemi.
Pada hakikatnya, keadilan dan kesejahteraan setiap insan hanya akan diperoleh ketika aturan yang diterapkan datang dari Yang Maha Adil dan Maha Memelihara, Allah Azza wa Jalla. Semua itu hanya dapat dicapai ketika manusia yang menjadi khalifah di muka bumi ini menerapkan aturan Allah, bukan aturan manusia. Maka sudah seharusnya umat mengembalikan setiap urusannya pada Allah dalam naungan sistem Islam.
Wallahu’allam…
Tags
Opini