Oleh : Anis, Ibu Rumah Tangga,
Butul - Ciparay Kab. Bandung.
Kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa-Bali akan diperpanjang hingga akhir Juli mendatang. Perpanjangan masa PPKM Darurat itu diungkapkan oleh Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy.
Gonti-ganti istilah hanya makin menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Dari Pembatasan Sosial Berskala besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro, sampai Pemberlakuan Pembatasan kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, esensinya sama saja : Pemerintah menghindari tanggung jawab pembiayaan secara total upaya pengendalian pandemi. Jika pun alternatif lockdown sudah tidak memungkinkan diambil, apa pun istilahnya—karantina wilayah, PPKM Darurat, atau lainnya—kebutuhan dasar rakyat harus dipenuhi agar rakyat bisa berdiam diri di rumah selama masa social distancing atau isolasi. Jelas, hal ini menunjukkan bahwa negara tidak mampu membiayai rakyatnya jika harus melakukan lockdown.
Sebagai rakyat Indonesia, kita tentu berharap kebijakan perpanjangan masa PPKM ini akan membuahkan hasil yang memuaskan dengan menurunnya angka penularan Covid-19 dengan signifikan. Namun, melihat dua minggu program ini berjalan sejak awal Juli, kasus harian Covid-19 makin meningkat. Prinsip kapitalisme yang mencari untung besar dengan biaya seringan-ringannya, yang ada hanya menumpuk kerugian demi kerugian. Semua pihak pasti menderita apabila terus mempertahankan prinsip kufur dan rusak ini. Sebab, mustahil berhasil sempurna menangani wabah bila sistem dan pemimpinnya ibarat “mobil mogok” dengan “sopir mabuk”.
Konsep Islam dalam penanganan wabah luar biasa visioner. Bukan dengan prinsip kapitalisme, yakni dengan sedikit biaya demi keuntungan sebesar-besarnya. Penanganan Islam adalah dengan prinsip keimanan kepada Allah SWT., dan visi pelayanan terhadap rakyat. Adapun hasil berupa stabilitas ekonomi, politik, dan sosial, hanyalah konsekuensi logis dari penerapan syariat secara kaffah. Pemimpin muslim itu harus bertakwa dengan senantiasa memperhatikan urusan dan kemaslahatan rakyatnya, termasuk urusan menjaga kesehatan rakyatnya berdasarkan tuntunan syariat Islam.
Islam telah memberikan tuntunan tentang penanganan wabah penyakit yang menimpa masyarakat luas. Rasulullah Muhammad saw.
bersabda, “Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasukinya. Jika wabah terjadi di tempat kalian berada, jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari)
Jelas, sejak 14 abad yang lalu, Islam sangat profesional dalam mengatasi wabah penyakit yang menimpa masyarakat, yakni dengan karantina atau lockdown. Khalifah Umar bin Khaththab pada era kepemimpinannya berani mengambil kebijakan “lockdown” kala itu, sehingga wabah penyakit (Tha’un) tersebut dapat diberantas dalam waktu yang relatif singkat. Dengan lockdown, prinsip memutus mata rantai penyebaran penyakit dapat terealisasi.
Kebijakan isolasi atau lockdown diambil oleh negara Islam untuk mengatasi wabah. Warga yang sakit dipisahkan dari yang sehat dan dibantu segala kebutuhan makan, obat, dan lain-lain hingga sembuh. Dengan demikian, warga yang sehat tetap dapat beraktivitas bekerja dan sebagainya tanpa khawatir tertular penyakit, dan roda ekonomi negara tetap dapat berjalan.
Negara wajib menjamin pelayanan kesehatan berupa pengobatan secara cepat, profesional, dan gratis untuk seluruh rakyat di wilayah terdampak wabah tersebut.Tugas Khalifah beserta jajarannya untuk memikirkan pos pendapatan yang dibenarkan kesehatan seperti rumah sakit, poliklinik, puskesmas, laboratorium pengobatan, dan fasilitas lainnya secara memadai, serta wajib memberikan perlindungan ganda berlapis terhadap para tenaga kesehatan baik dokter, perawat, laboran, dan lainnya karena mereka yang berjuang di garda terdepan penanganan pasien.
Negara pun wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, khususnya kebutuhan pangan rakyat secara manusiawi di wilayah penerapan lockdown. Jaminan kebutuhan pangan dengan kadar gizi terbaik dan halal, vitamin untuk support imunitas bagi setiap jiwa. Adapun masyarakat yang sehat di luar wilayah karantina tetap melakukan aktivitas, sehingga kehidupan sosial dan ekonomi tetap berjalan normal. Tidak perlu ada “penjara besar” di tengah masyarakat.
Walhasil, penanganan pandemi membutuhkan sistem yang andal dan pemimpin yang berintegritas tinggi (syakhshiyah islamiyah). Tentu saja hanya dapat diwujudkan dengan penerapan syariat Islam dalam bingkai Khilafah.
Wallahu a'lam bish shawab.