Oleh : Ummu Hanif, Pengamat Sosial Dan Keluarga
Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar IDI Adib Khumaidi menyebutkan di tengah lonjakan kasus Covid-19 rumah sakit dan tenaga kesehatan mengalami functional collapse. Menurutnya kondisi ini terjadi karena banyaknya tenaga kesehatan yang terpapar Covid-19, hingga meninggal dunia, dan juga adanya kekurangan obat dan alat kesehatan sehingga mempengaruhi pelayanan pada pasien. Hal ini diperparah dengan kian sempitnya daya tampung rumah sakit dan tidak tersedianya fasilitas pelayanan pasien covid yang memadai. Beberapa hari belakangan bahkan masih terdengar keluhan mengenai menipisnya stok oksigen di beberapa wilayah. (CNBC Indonesia)
Pandemi kali ini memang telah menerjang siapa saja. Segala sektor kehidupan juga ikut limbung karenanya. Masyarakat banyak yang tidak bisa berpikir jernih. Terlebih daya literasi masyarakat Indonesia memang tergolong rendah. Jadi, adalah hal yang wajar jika banyak masyarakat yang termakan berita hoaks seputar wabah, bahkan muncul sikap meremehkan. Bahkan, ketika kasus harian hampir tembus 40 ribu dan menjadikan Indonesia penyumbang kasus Covid-19 terbesar kedua di dunia, ternyata masih banyak masyarakat yang tidak percaya Corona itu ada.
Kalau kita perhatikan, sikap masyarakat ini tak lepas dari sikap penguasanya. Pada awal pandemi, penguasa telah bersikap meremehkan terhadap virus ini. Pejabat-pejabat publik membuat pernyataan yang bernada meremehkan, misalnya menyatakan Corona tidak akan masuk ke Indonesia, bahkan penggunaan masker dianggap tidak perlu.
Ketika virus Corona telah masuk ke Indonesia pun, sikap penguasa masih terkesan meremehkan. Demi mengejar pemasukan dari sektor pariwisata, wisatawan asing dibiarkan masuk. Tenaga kerja asing juga dibiarkan masuk. Pusat perbelanjaan dan tempat wisata tetap buka, demi alasan ekonomi. Jadi, adalah hal wajar jika akibat sikap abai penguasa ini, rakyat pun ikut abai.
Hal ini tercermin dalam berbagai kejadian yang tentu sangat bisa disaksikan. Kerumunan tetap terjadi, seolah Covid-19 sudah hengkang dari negeri ini. Hajatan digelar besar-besaran, dan dilakukan juga oleh para pejabat. PPKM sudah diberlakukan, tapi di berbagai wilayah tampak jalanan ramai hilir mudik masyarakat, seperti hari-hari biasa. Prokes pun banyak dilanggar dan diabaikan.
Akibatnya, jumlah kasus meningkat sangat pesat. Tenaga medis banyak yang tumbang. Disinilah pentingnya peran para pengemban dakwah. Sebenarnya, para alim dan ulama sudah berjalan sejak awal pendemi. Banyak para pengemban dakwah yang berusaha memberikan pemahaman kepada umat tentang sikap-sikap yang harus diambil dalam pandemi ini. Hanya saja, peran pengemban dakwah, terkadang dikebiri karena satu dua kepentingan. Padahal, Islam memiliki solusi efektif bagi wabah yang sedang terjadi.
Dan sosok ulama yang mampu memberi pandangan menyeluruh ini adalah sosok ulama ideologis. Karena mampu berpikir multidimensi. Ulama yang tidak mau berpikir ilmiah hanya akan menganggap Covid-19 adalah hoaks. Sedangkan ulama yang tidak politis akan terjebak sekularisme, seolah Islam hanya mengurusi salat dan puasa saja. Sehingga kabar hoax yang semakin menumbangkan sistem kesehatan kita bisa teratasi dengan baik.
Telah jelas, kapitalisme yang sekuler telah terbukti gagal menangani wabah ini. Kapitalisme justru memanfaatkan wabah ini sebagai ajang bisnis dengan mengapitalisasi vaksin, obat, dan alat kesehatan.
Sehingga, tugas ulama adalah mengedukasi umat, bukan sekadar tentang Covid-19, tapi solusi Islam terhadap permasalahan seputar pandemi ini. Perlu juga dibukakan fakta pada umat, bahwa dulu umat Islam juga pernah menghadapi wabah yang mematikan, baik pada masa Umar bin Khaththab ra. maupun Utsmaniyah. Saat itu wabah bisa terselesaikan dengan meminimalkan kematian rakyat karena bagusnya riayah (pengurusan) Khilafah terhadap rakyatnya. Maka, tidakkah kondisi ini menjadikan kita ingin kembali menelusuri sistem islam yang telah terbukti dalam 3,5 abad memimpin dunia.
Wallahu a’lam bi ash showab.