Oleh : Gumaisha Syauqia Azzalfa
Aktivis Dakwah Muslimah
Dilansir pada news.detik.com - Jakarta Ada seorang Publik Pigur
yang bicara soal sikap dirinya jika anak-anaknya menonton film porno. Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai film porno buruk bagi
anak-anak. "Konten porno itu konten
berbahaya. Dampak negatifnya serius bagi tumbuh kembang anak," kata Ketua
KPAI, Susanto, Sabtu (26/6/2021).
Susanto menilai konten porno tak boleh ditonton oleh anak-anak
meski diawasi atau ditemani. Menurutnya, konten porno tetap memiliki dampak
buruk. "Maka, konten porno tak boleh dilihat anak. Meski ditemani,
menonton konten porno tak dibenarkan," ucapnya.
Dia meminta orang tua berhati-hati dalam mendidik anak. Susanto
meminta orang tua tetap memperhatikan etika perlindungan anak. "Apakah
benar demikian? Jika demikian, ya tidak dibenarkan. Kita mesti hati-hati dalam
mendidik anak itu. Pastikan kita semua selalu berlandaskan etika perlindungan
anak," tuturnya.
Dimuat dalam Jakarta, CNN Indonesia -- Organisasi Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menyarankan setiap negara di dunia
untuk menerapkan pendidikan seksual yang komprehensif, termasuk Indonesia.
Rekomendasi ini berdasarkan pada kajian terbaru dari Global Education
Monitoring (GEM) Report, UNESCO. Dalam kajian itu, GEM Report mendapati 15 juta
anak perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun setiap tahunnya secara global.
Sekitar 16 juta anak berusia 15-19 tahun dan satu juta anak perempuan di bawah
15 tahun melahirkan setiap tahunnya di dunia.
"Lebih dari satu dari sepuluh kelahiran terjadi di antara anak
perempuan berusia antara 15-19 tahun. Ini tidak hanya berarti akhir dari
pendidikan mereka, tetapi juga seringkali berakibat fatal, dengan kehamilan dan
kelahiran merupakan penyebab utama kematian di antara kelompok usia ini,"
kata Direktur GEM Report Manos Antoninis, dalam keterangan pers yang diterima
CNNIndonesia.com, Rabu (13/6).
Orang-orang usia muda juga menyumbang sepertiga dari kasus infeksi
HIV baru di 37 negara berpenghasilan rendah dan menengah. Ironinya, GEM Report
menemukan hanya sekitar sepertiga dari orang berusia 15-24 tahun yang memiliki
pengetahuan komprehensif tentang pencegahan dan penularan HIV. Untuk
menyelesaikan masalah ini, kajian dari GEM Report menilai pendidikan seksual
yang komprehensif adalah cara yang tepat.
Penyokong program global ini menganggap bahwa pendidikan seks harus
diajarkan sejak usia dini agar anak mampu menjaga kebersihan organ genitalnya.
Selanjutnya dikenalkan cara agar mereka terhindar dari tindak kekerasan
seksual. Pada usia remaja, pendidikan seks dikenalkan dengan pengajaran fungsi
reproduksi, beragam aktivitas seksual, hingga penggunaan kontrasepsi.
Bekal pendidikan seks inilah yang dianggap modal andal bagi setiap
orang untuk memilih aktivitas seksual bertanggung jawab. Bila memilih pergaulan
bebas, sudah tahu risikonya. Bila tidak siap risiko, maka bisa menghindari. Pun
bila tak bisa mengendalikan naluri seksual, sudah tahu cara menghindar dari
kehamilan yang tak diinginkan atau penyakit menular seksual berbahaya.
Karenanya, urgensi pendidikan seks yang didesakkan seiring makin
merebaknya dampak buruk pergaulan bebas, selayaknya dikritisi. Benarkah
penyuluhan tentang kesehatan reproduksi dan mata pelajaran pendidikan seksual
menjadi obat ampuh untuk menurunkan kasus kehamilan di luar nikah, aborsi, dan
penyakit menular seksual?
Di berbagai negara Barat yang sudah mengadopsi penuh program ini,
pendidikan seks diajarkan di rumah dan sekolah sejak anak berusia 4—5 tahun.
Bermacam alat peraga digunakan, mulai dari gambar hingga video. Beberapa negara
bahkan menghidupkan kurikulum pendidikan seks dengan metode simulasi dan
bermain peran. Alih-alih mencegah pergaulan bebas, persoalan baru yang dihadapi
masyarakat dan pemerintah malah makin bertambah.
Pengetahuan yang melimpah dalam bingkai pendidikan seks, justru
merampas masa kanak-kanak para balita yang lugu. Mereka yang hanya butuh
lapangan untuk berlarian dan bermain, harus dicekoki beragam informasi terkait
seksualitas. Anak usia dini dibiarkan dalam kebingungan setelah dikenalkan
fenomena transgender dengan dalih menghargai perbedaan orientasi seksual. Kalangan
remaja pun demikian. Bukannya makin hati-hati agar tak jatuh pada bahaya seks
bebas, justru mereka makin percaya diri untuk mempraktikkan seks aman. No
worry, no pregnancy.
Pendidikan seks seperti ini ibarat memberikan senjata api ke tangan
anak. Manualnya ditunjukkan, risiko penggunaannya diberitahukan. Ibarat
mengatakan, “Kendalikan diri, jangan menyakiti diri sendiri dan orang lain,”
atau, “Jadilah orang yang bertanggung jawab.” Namun, siapa bisa menjamin
senjata api tersebut aman di tangan seorang anak?
Membincang pendidikan seks hari ini tak boleh dilepaskan dari
semesta kehidupan yang melingkupi masyarakat. “Jangan menganggap tabu membahas
seks” nyaring disuarakan sebagai slogan. Begitu gencarnya, hingga aspek ini
seolah menjadi jantung dan pusat perhatian semua sisi kehidupan.
Ruang pikiran, perbincangan, dan interaksi masyarakat diisi dengan
segala hal yang bermuara pada pemuasan naluri seksual. Bukan lagi fitrah untuk
melestarikan jenis yang mesti dijaga, malah menjadi ukuran kebahagiaan.
Materi seksual hampir selalu hadir dalam perbincangan harian semua
kalangan. Tak ketinggalan kaum produsen, menjadikan aspek seksual sebagai
perhatian demi melipatgandakan volume penjualan. Iklan dibuat dengan
menyelipkan materi seksual. Pramuniaga dipilih bukan semata keterampilan dalam
menawarkan, unsur sensualitas menjadi tuntutan untuk ditonjolkan.
Di media, unsur seksual adalah komoditas penting agar lebih banyak
peminat informasi dan hiburan yang disajikan. Betapa banyak rubrik dan program
media yang khusus membahasnya karena memang banyak peminatnya.
Demikian pula, kita dapati majalah, tabloid, dan film berisi konten
porno legal maupun tersembunyi yang terus diproduksi. Tak ketinggalan di dunia
seni, sering kali hadir tak jauh-jauh dari paparan sensualitas perempuan maupun
laki-laki.
Inilah semesta kehidupan yang sedang melanda dunia. Ada arus
seksualisasi, bahkan dorongan agar relasi dan perilaku manusia dipenuhi unsur
hiperseksualisasi. Apa hasilnya? Kerusakan moral dan penyakit seksual
merajalela, kehancuran keluarga bahkan ancaman kehilangan generasi masa depan
pun di hadapan mata.
Inilah gambaran nyata masyarakat sekuler liberal. Eksploitasi
naluri seksual menjadi salah satu ciri peradaban liberal. Kesenangan ragawi
menjadi ukuran kebahagiaan. Nilai-nilai kebebasan disakralkan, hingga kebebasan
seksual juga dianggap bagian dari hak asasi tiap manusia.
Siapa yang untung? Tentunya kaum kapitalis pemilik industri dan
pemilik media. Di bawah payung ideologi kapitalisme, mereka bisa menyamarkan
tujuan keuntungan materialistisnya menjadi bagian dari gaya hidup dan kebutuhan
semua orang.
Sebaliknya, siapa yang rugi? Jelas seluruh masyarakat dan peradaban
manusia. Semestinya, fitrah naluri seksual menghasilkan ketenangan dan
ketenteraman. Nyatanya, saat ini problem seksual menjadi biang kerok munculnya
beragam persoalan—bagi individu, keluarga, masyarakat, bahkan negara di dunia
Barat.
Bukan hanya itu, potensi besar manusia telah dikerdilkan. Tercipta
arus seksualisasi hingga manusia berbondong-bondong meraih tujuan hidup
rendahan sekadar memuaskan naluri seksual.
Mirisnya, penyakit peradaban liberal Barat kini makin banyak
diimpor dunia Islam. Absennya peran dan fungsi-fungsi negara dalam menanamkan
nilai-nilai Islam, digantikan dengan nilai-nilai liberal yang makin kuat
diadopsi, khususnya oleh masyarakat muslim.
Tidak ada jaminan identitas Islam dijadikan dasar dalam cara
pandang, perilaku, dan dalam mendidik anak mereka. Akidah Islam tidak dipahami
secara sempurna. Demikian pula syariat Islam dan perinciannya, tak dikuasai
untuk memandu menyikapi beragam fenomena.
Tidak heran, banyak muslim menganggap film porno adalah tontonan
yang sah-sah saja asal tidak membawa kepada perilaku berbahaya.
Gempuran arus peradaban Barat berupa arus seksualisasi melalui
media dan film sudah semestinya terus kita waspadai. Tidak sedikit muslim yang
bangga saat mengadopsi peradaban Barat karena tidak kenalnya mereka dengan
peradaban Islam yang mulia itu sendiri.
Cara keluarga muslim mendidik generasi harus terus dikoreksi. Boleh
jadi mengadopsi metode dan standar liberal sebagaimana di negara Barat dan
menganggapnya modernitas. Tanpa sadar menjerumuskan putra putri mereka dalam
kehinaan di mata Sang Mahakuasa. Na’udzubillahi.
Sebuah tragedi, karena ini menghapus harapan untuk menjadikan
investasi akhirat yang memperbanyak amal saleh orang tua.
Fakta figur publik yang mendampingi putranya menonton konten porno,
wajib mendorong kita mengaktifkan amar makruf nahi mungkar. Mengenalkan,
mendorong mengamalkan, dan mengingatkan setiap muslim akan tanggung jawabnya
terhadap ajaran Islam. Sebab, tidak kenal dan tidak mengamalkan syariat Islam,
menjadikan arus seksualisasi makin tak terbendung.
Bila lebih mengenal syariat Islam yang syamil sempurna dan
menyeluruh, akan didapati cara Islam menempatkan naluri seksual secara indah
selaras dengan tujuan penciptaan manusia. Bukan dengan membebaskan dan bukan
pula dengan mengebirinya.
Islam memerintahkan untuk menundukkan pandangan dan menutup aurat,
melarang khalwat dan ikhtilat, mengharamkan zina dan liwath, memenuhi naluri
seksual dalam hubungan pernikahan, membangun hubungan silaturahmi, serta
membangun sikap penuh hormat terhadap lawan jenis sebagai identitas.
Cara Islam ini bukan hanya menjaga individu dari bahaya serta
kehinaan dunia dan akhirat, tetapi juga meniscayakan hadirnya sebuah masyarakat
dan peradaban mulia.
Bila mengenal lebih dalam tanggung jawab terhadap syariat mulia
ini, maka akan ada dorongan kuat terhadap negara agar mengadopsi Islam sebagai
sumber konstitusi dan perundangan. Bahkan mentransformasi negara menjadi
pemerintahan, sebagaimana telah Rasulullah saw. contohkan dan para Khalifah
lanjutkan.
Dalam sistem Islam Khilafah semua syariat seputar penjagaan dan
pemenuhan naluri seksual akan dipastikan implementasinya, bahkan didukung
dengan sistem ekonomi dan pendidikan. Penataan media juga akan diselaraskan.
Negara akan mengatur dan mengawasi media massa seperti koran,
majalah, buku, tabloid, televisi, situs internet, termasuk sarana-sarana
hiburan seperti film dan pertunjukan, serta berbagai media jaringan sosial
seperti Facebook, Twitter, dan sebagainya.
Pengawasan ini tidak lain agar semua sarana itu tidak menjadi
wahana penyebarluasan dan pembentukan opini umum yang dapat merusak pola pikir
dan pola sikap generasi muda Islam.
Wallahu a’lam bishshawwab.