Oleh Cahaya Septi
Pelajar dan Aktivis Dakwah
Pandemi Covid-19 sekarang bisa mencakup ratusan orang perharinya. Rumah sakit dilaporkan kolaps. Pasien bertumpuk. Bahkan tak lagi mampu ditampung. Tenaga kesehatan makin kewalahan. Sebagian ikut jatuh sakit, sebagian lagi wafat.
Nasib warga yang menjalani isolasi mandiri di rumah juga memprihatinkan. Sejumlah warga meninggal. Pasalnya, tak ada perawatan yang memadai untuk mereka. Tak kalah mencemaskan. Terjadi juga antrian di pemakaman dengan protokol Covid-19. Banyak kekurangan peti jenazah. Beberapa Pemda menambah lahan pemakaman baru untuk memakamkan warga korban Covid-19 yang terus bertambah.
Musibah: Kuasa Allah SWT
Bagi kaum Mukmin, setiap musibah harus dihadapi dengan keimanan. Tentu agar tidak muncul persepsi dan sikap yang keliru.
Pertama: Seorang muslim wajib mengimani bahwa tak ada satu pun musibah yang dia alami melainkan atas kehendak Allah Swt.
“Tidakkah kamu tahu bahwa kepada Allah bersujud apa saja yang ada di langit dan di bumi; juga matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar manusia?” (TQS al-Hajj [22]: 18).
Imam al-Alusi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “sujud” adalah masuknya segala sesuatu di bawah kendali Allah Swt. dan iradah-Nya, serta kecenderungannya pada apa saja yang Allah ‘Azza wa Jalla adakan (Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, 13/27).
Dengan memahami kenyataan ini, seorang hamba akan mengakui kebesaran dan kekuasaan Allah Swt. Dia pun akan menyadari kelemahannya sebagai mahluk. Ketika manusia membanggakan kecanggihan teknologi kedokteran, farmasi dan sebagainya, ternyata akan sampai pada satu realita bahwa manusia tak sanggup mengalahkan kekuasaan Allah Swt. Bahkan menghadapi makhluk kecil seperti virus saja, dunia nyaris lumpuh. Benarlah firman Allah Swt:
“Sungguh Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu. Adapun orang-orang yang beriman tahu bahwa itu kebenaran dari Tuhan mereka.” (TQS al-Baqarah [2]: 26)
Kedua: Seorang mukmin wajib memahami bahwa sepanjang kehidupan di dunia dia akan selalu mendapatkan berbagai ujian.
Imam ath-Thabari, mengutip pernyataan Ibnu Abbas ra., mengomentari ayat ini, “Allah Swt. mengabarkan kepada orang-orang beriman bahwa dunia adalah negeri ujian (dar bala’). Mereka akan diuji di dalamnya. Allah memerintahkan mereka untuk bersabar. Lalu Allah memberikan kabar gembira dengan berfirman,
"Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar.” (Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan, 2/219)
Di antara bentuk kesabaran seorang hamba dalam menghadapi musibah berupa sakit adalah tidak mencaci-maki sakit yang dia derita. Termasuk tidak mencela Corona yang sedang mewabah. Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah ra. bahwa Rasulullah saw. pernah mengingatkan Ummu as-Saib yang mencela sakit yang sedang dia derita, yaitu demam. Rasulullah saw. bersabda:
“Janganlah engkau mencela demam. Demam itu bisa menghilangkan kesalahan-kesalahan (dosa) manusia, sebagaimana kir (alat yang dipakai pandai besi) bisa menghilangkan karat besi." (HR Muslim)
Muhasabah Atas Musibah
Selain ridha dan bersabar, kaum muslim juga diperintahkan untuk melakukan muhasabah. Umat wajib muhasabah atas kemungkinan dosa-dosa yang dilakukan yang menyebabkan datangnya bencana. Allah Swt. mengingatkan bahwa beragam bencana datang justru karena ulah manusia sendiri. Penistaan agama, serta permusuhan terhadap para ulama. Sebutan “intoleran”, “radikalisme”, sikap memusuhi penerapan Islam dan kewajiban khilafah terus dilakukan terhadap kaum muslim, khususnya yang memperjuangkan Islam.
Beragam tindak kezaliman juga seperti tak pernah berakhir. Bagaimana ulama divonis berat dengan tuduhan melanggar aturan prokes, sementara pejabat negara yang melanggar prokes lolos begitu saja. Ada juga aparat penegak hukum yang kongkalikong dengan koruptor justru diberi potongan hukum amat besar.
Benar apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw. Saat ini kemungkaran telah merajalela. Lalu datanglah bencana yang juga menimpa orang-orang shalih. Selama pandemi ini dilaporkan ada sekitar 584 ulama yang meninggal karena wabah. Belum termasuk para imam dan pengurus masjid serta para ustadz pembimbing umat lainnya yang juga wafat karena wabah.
Sejak awal pandemi merebak di dunia, Pemerintah terus membuka kedatangan WNA ke dalam negeri, termasuk dari Cina sebagai asal wabah. Bahkan ketika pandemi masuk ke Tanah Air, pintu imigrasi masih terus dibuka.
Umat membutuhkan pemimpin yang benar-benar mau mengurus mereka dan melindungi mereka dari bencana. Pemimpin ini tentu yang mengurusi umat dengan syariah Islam yang menanamkan iman dan takwa kepada warga sehingga mereka menjaga diri dari berbagai tindakan madarat, taat pada protokol kesehatan serta yang memberikan pelayanan kesehatan sebaik-baiknya, termasuk menghindarkan negeri dari sumber penyakit.
Di masa pandemi Covid-19 ini kita perlu banyak mengoreksi diri serta terus menyerukan kebenaran hakiki demi tegaknya syariah dan hadirnya pemimpin yang hak serta adil.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Sumber: Buletin Kafah
Tags
nafsiyah