Pengusaha Bergandeng Erat, Rakyat Semakin Sekarat




Oleh: Nurdianiwati

MNC Lido City telah mengantongi status menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata dari Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 2021 yang diteken pada 16 Juni 2021. Dengan terbitnya PP tentang KEK Pariwisata Lido tersebut, seluruh investor dan pelaku usaha di dalam KEK MNC Lido City dapat menikmati insentif yang melekat pada Kawasan Ekonomi Khusus. Berdasarkan keterangan tertulisnya, Kamis (17/6/2021) Manajemen MNC menyatakan bahwa insentif yang melekat berupa pajak berupa pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), PPh Badan, cukai, dan bea masuk impor, serta berbagai keuntungan bagi investor terkait lalu lintas barang. (KOMPAS.com)

Kemudahan yang diberikan kepada MNC Lido City merupakan lanjutan bagi-bagi ‘kue’ sebagai ungkapan balas budi. Meskipun partai perindo yang diketuai oleh Hari Tanoesoedibjo tidak bisa melenggang ke Senayan, tetapi partai Perindo sangat mendukung pemerintahan sekarang. Setelah bagi-bagi kekuasaan di kursi parlemen dan kabinet, dilanjutkan ke jabatan komisaris di BUMN. Beberapa waktu yang lalu salah satu gitaris band terkenal diangkat sebagai Komisarisnya. Sebelum terjun ke politik Hari Tanoe lebih dulu terjen ke dunia bisnis yang memiliki berbagai bisnis diantaranya dalam bidang pertelevisian. 

Kongkalikong antara pelaku ekonomi dan aktor politik dengan penguasa tak luput telah melahirkan tatanan ekonomi yang hanya menguntungkan kepentingan diri dan kelompok, tanpa memperdulikan kepentingan rakyat banyak. Proses pengambilan keputusan penguasa menjadi permainan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta pengusaha. Proyek-proyek siluman yang melibatkan anggota DPR dan pemilik perusahaan besar yang belakangan ini banyak disorot media massa adalah satu contoh. Dalam kondisi tersebut, hubungan penguasa dan pengusaha lebih mementingkan bisnis, ketimbang kepentingan rakyat. Akibat fatalnya, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat tidak terurus.  

Pembagian Kue Kekuasaan dalam Kapitalis

Dalam system kapitalis, pembagian kekuasaan oleh presiden dianggap permainan politik yang strategis. Yang sangat penting adalah peraturan yang mengatur pemilihan kepala eksekutif—dalam kasus Indonesia, selalu merupakan presiden. Jika seorang presiden dipilih oleh Parlemen, seperti di Indonesia dari tahun 1999-2004, maka presiden adalah agen Parlemen. Presiden dapat diharapkan untuk berbagi kekuasaan, yang kira-kira proporsional, dengan partai-partai di Parlemen yang memilih presiden.

Contoh kebijakan ekonomi pemerintah yang lebih menguntungkan pengusaha dan merugikan rakyat banyak bisa dilihat dari hasil penelitian Donny Tjahja Rimba dalam bentuk disertasi berjudul “Hubungan Negara dan Pengusaha di Era Reformasi. Studi Kasus: Bisnis Grup Bakrie (2004-2012)”. Dia mengatakan, kelompok Bisnis Bakrie dibuktikan telah mempengaruhi kebijakan negara setidaknya dalam dua kasus. Pertama, persoalan divestasi saham Newmont. Kasus kedua, bencana  lumpur Lapindo. Pada kasus pertama, pengusaha mempergunakan pemerintah daerah sebagai instrumen kekuasaan untuk membeli saham divestasi dengan harga yang lebih murah dibanding dengan harga pasar dan mendapat hak pertama untuk membeli. Pada kasus kedua, pemerintah daerah melepaskan tanggung jawab dalam menangani dampak bencana pada pemerintah pusat. Pengusaha mempergunakan instrumen politik negara melalui kebijakan Presiden berupa Keppres dan Perpes agar melakukan kebijakan yang tidak merugikan pengusaha. Dan pembenaran atas kebijakan Presiden ini dikuatkan oleh DPR, pengadilan, hingga kepolisian.

Proses pengambilan keputusan negara hingga kini masih menjadi permainan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta pengusaha. Proyek-proyek siluman yang melibatkan anggota DPR dan pemilik perusahaan besar di negeri ini. Dalam kondisi tersebut, hubungan negara dan pengusaha lebih mementingkan bisnis, ketimbang kepentingan rakyat. Akibatnya, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat tidak terurus.

Peran Penguasa dalam Daulah Islam

Pandangan khas Islam terhadap kebutuhan asasi warga negara bukan saja meliputi kebutuhan dasar individu seperti papan, sandang, dan pangan. Kesehatan, pendidikan, dan keamanan yang bersifat komunal juga termasuk kebutuhan dasar (community primary needs).
Dengan paradigma yang sama terhadap kedua jenis kebutuhan tersebut, negara sebagai penanggung jawab urusan rakyat, maka Khilafah menerapkan mekanisme yang berbeda dalam pemenuhannya. Khilafah bertanggung jawab memampukan setiap warga Negaranya terutama  bagi laki-laki untuk bekerja karena ia sebagai kepala keluarga. Dengan demikian, negara diberi tugas oleh syariat untuk membuka lapangan pekerjaan yang luas dan iklim usaha yang kondusif.

Negara memberikan harta kepada warga negara tanpa kompensasi apa pun ini dikenal dengan konsep i’tha’ daulah. Bentuk yang diberikan bisa berupa lahan pertanian, benih dan bibit, modal uang, harta yang langsung dimanfaatkan seperti sarana produksi traktor, mesin bubut, sarana perdagangan lapak di pasar, dan sebagainya. Tanpa mekanisme kredit atau syarat dan ketentuan tertentu yang berbelit-belit dan birokratis secara teknis ataupun administratif. Sedangkan di masa pandemic seperti sekarang ini, khilafah wajib memenuhi kebutuhan warga terdampak tanpa harus direpotkan pendataan warga yang tak mampu dan harus melampirkan pembuktian bila dia benar-benar tak mampu.

Sistem sosial yang dikembangkan syariat Islam menjadikan setiap muslim peduli akan kondisi tetangganya, hingga mereka tahu betul siapakah yang masuk kategori butuh bantuan atau siapa saja delapan ashnaf penerima zakat. Tidak ada pula mental mendahulukan perut sendiri, karena itsar –mengutamakan orang lain- akan terbentuk seiring pilar ketakwaan masyarakat.

Lagipula, untuk mendapatkan subsidi dari Khilafah –apalagi dalam kondisi wabah-, tidak akan tebang pilih hanya yang miskin atau punya hubungan baik dengan petugas lapang. Tetapi subsidi akan diberikan pada siapa pun warga daulah, terutama subsidi terkait energi, transportasi, ataupun biaya keamanan.

Tak perlu pembuktian warga telah jatuh miskin, karena hal itu akan melukai perasaan rakyat yang telah menderita karena wabah. Khalifah menjaga betul hal itu karena kapabilitasnya, selain ketegasan, keberanian, dan responsibilitas tinggi, Khalifah juga dituntut memiliki kelembutan hati agar empati terhadap kondisi rakyat.

Demikianlah sosok penguasa di dalam daulah Islam. Peran penguasa yang sudah semestinya cepat dan tanggap, tidak hitung-hitungan ataupun setengah hati dalam mengalokasikan bantuan pada warganya. 
Semua itu dapat terealisasi manakala Islam diterapkan secara kafah dalam Institusi negara. Sebagaimana janji Allah dan bisyarah Rasul-Nya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak