Pemerkosaan Dalam Perkawinan?



Oleh: Hamnah B. Lin

          Terus berulang kembali, usaha untuk menghapus sisa-sisa hukum Islam dengan dalih pembelaan terhadap hak-hak perempuan melalui jalur legislasi.
          Adalah marital rape, yaitu pemerkosaan dalam perkawinan. Istilah ini kerap digaungkan kalangan sekularisme dan liberalis untuk menyerang hukum-hukum Islam tentang hak dan kewajiban suami isteri dan melemahkan lembaga perkawinan Islam. Misalnya saja, adanya RUU KUHP yang mengancam suami 12 tahun penjara karena memperkosa istri.
          RUU tersebut menuai kontroversi. Merespons hal tersebut, komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini mengungkap alasan, yaitu karena adanya aduan istri yang mengaku diperkosa suami.
          “Berdasarkan Catatan Tahunan 2021, jumlah laporan terkait pemerkosaan terhadap istri adalah 100 kasus untuk 2020. Tahun 2019, data kasus mencapai 192 kasus yang dilaporkan,” ucap Theresia. Menurutnya, tingginya angka tersebut karena ada anggapan di masyarakat bahwa tidak ada yang namanya pemerkosaan dalam hubungan suami istri. Pandangan itu terus berkembang dan menjadikan istri memaklumi pemerkosaan (Detiknews, 15/7/2021).
Apa Arti Pemerkosaan dalam Perkawinan?
          Menurut Muhammad Endriyo Susilo dalam Jurnal Media Hukum berjudul “Islamic Perspective on Marital Rape” (hal. 320), istilah pemerkosaan dalam perkawinan meliputi beberapa bentuk, di antaranya sebagai berikut:
Pertama, battering rape, yaitu istri mengalami kekerasan fisik dan seksual sekaligus saat suami memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual.
Kedua, force-only rape, yaitu suami menggunakan kekuatan dan kekuasaannya untuk memaksa atau mengancam istri agar mau melakukan hubungan suami istri. Hal ini dilakukan manakala istri sebelumnya menolak.
Ketiga, obsessive rape, yaitu istri atau pasangan mendapat kekerasan seksual dalam bentuk perlakuan sadis dalam melakukan hubungan seksual, seperti suami melakukan kekerasan fisik dengan memukul, menarik rambut, mencekik, atau bahkan menggunakan alat tajam yang melukai istri untuk mendapatkan kepuasan seksual (Hukumonline.com).
Dari ketiga bentuk marital rape tersebut, bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan istilah pemerkosaan dalam perkawinan adalah semua yang berkaitan dengan tindak paksaan atau kekerasan dalam hubungan suami istri.
Lalu, tepatkah tindak kekerasan dan paksaan suami ini dikategorikan sebagai pemerkosaan?
          Pemerkosaan dalam bahasa Arab disebut al wath’u bi al ikraah (hubungan seksual dengan paksaan). Ulama mengategorikan pemerkosaan sebagai tindakan zina. Pelakunya dihukum dengan had zina. Jika dibarengi dengan tindak penganiayaan, akan ada tambahan hukuman. Sedangkan korban pemerkosaan tidak dikenakan hukuman.
          Jika tindak kekerasan suami dianggap sebagai pemerkosaan, maka suami dianggap sebagai pelaku zina. Tentu ini tak sesuai dengan fakta. Suami dan istri terikat akad pernikahan, maka hubungan seksual di antara keduanya tak bisa dikategorikan sebagai perbuatan zina.
          Oleh karena itu, Islam tidak mengakui adanya pemerkosaan dalam perkawinan. Mengategorikan sebagai pemerkosaan adalah sebuah kerancuan istilah.
Berasal dari Sekularisme dan Liberalisme
          Konsep ini jelas berasal dari kaum sekuler dan liberal. Dalam sistem sekuler, agama tidak dijadikan sandaran, namun fakta yang dijadikan dalil. Sekularisme dan liberalisme sungguh dangkal dan merusak. Agama dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, sementara kebebasan terus digaungkan.
          Belum lagi ide feminisme yang tidak pernah lelah menyerang syariat Islam, dengan tuduhan mengungkung perempuan, membuka peluang kekerasan dalam rumah tangga, dan seterusnya. Syariat tentang kewajiban istri mereka serang. Syariat tentang kepemimpinan suami, syariat tentang nusyuz dan masih banyak lagi syariat Islam lainnya yang juga diserang. Semua syariat Islam dianggap sebagai sumber masalah perempuan.
Bagaimana Islam memandang Istilah Marital Rape?
          Dalam Islam, konsep marital rape tidak ada. Dalam konsep marital tape, hubungan seksual antara suami dan istri haruslah karena ada keinginan di antara mereka berdua, namun dengan asas kebebasan (liberalisme).
          Jauh berbeda jika dengan Islam. Islam mewajibkan istri untuk taat kepada suami. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam kitabnya An-Nizham al-Ijtimaa’iy fi al-Islam bahwa taat dan melayani suami adalah kewajiban istri.
          Dalam konsep marital rape, tak boleh ada paksaan dari suami kepada istri dalam bentuk ancaman. Jika ada, maka itu termasuk pemerkosaan. Bentuk ancaman bisa bermacam macam, bisa dengan ancaman fisik atau bisa juga dengan ancaman lainnya, misalnya dengan ancaman bercerai atau ancaman akan menikah lagi, dan sebagainya. Ini artinya, suami tak boleh memberikan sanksi apa pun ketika istri menolak melayani suami.
          Maka, ini juga bertentangan dengan Islam. Karena, Islam mengatur adanya hak suami untuk memberikan sanksi jika istri membangkang (tidak taat), yang di dalam Islam dikenal dengan istilah nusyuz. Sanksi diberikan ketika istri tak bisa dinasihati.
Allah SWT berfirman,
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS An–Nisa 34).
          Pukulan yang dimaksud di ayat tersebut adalah pukulan yang ringan, yaitu yang tidak membahayakan (menyakitkan) sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Jika mereka melakukan tindakan tersebut (yakni nusyuz), maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan (menyakitkan).” (HR Muslim dari jalur Jabir r.a.)
          Suami hanya diberikan wewenang untuk memberikan sanksi kepada istri yang melakukan perbuatan dosa. Jika istri taat, maka seorang suami tak boleh memukul sama sekali.
          Inilah yang dimaksud dengan firman Allah, “Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS An–Nisa: 34).
Allah Swt. berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
“… dan bergaullah dengan mereka secara baik (makruf).” (QS An-Nisa [4]: 19).
         Kemudian, pergaulan di antara keduanya adalah pergaulan persahabatan. Untuk itulah Allah SWT menjelaskan bahwa istri memiliki hak-hak terhadap suaminya, sebagaimana suami juga memiliki hak-haknya. Allah SWT berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (QS Al-Baqarah [2]: 228)
         Islam telah memerintahkan para istri untuk taat kepada Allah dan menjaga diri ketika tak ada suami bersamanya, sebagaimana firman Allah SWT,
“… maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (QS An–Nisa [4]: 34)
          Ketika istri sudah dalam kondisi sebagaimana ayat tersebut, suami harus bersikap ramah dan toleran, serta lemah lembut dalam meminta sesuatu dari istrinya. Hingga andai suami menginginkan istrinya (untuk berhubungan suami istri), hendaknya ia memilih situasi dan kondisi yang baik.
          Tak ada marital rape dalam Islam. Maka, jelas konsep batil ini bukan berasal dari Islam. Umat harus waspada terhadap ide-ide, istilah-istilah dan konsep-konsep yang bertentangan dengan Islam. Lantas, siapa junnah (pelindung) umat hari ini, sebagai pelindung dari segala kebatilan?
          Adalah sebuah institusi negara, yang mampu menjadi junnah (pelindung) dari segala konsep batil, bahkan dari segala sistem batil. Karena negara punya wewenang melegislasi sebuah Undang-Undang. Negara-lah yang mampu mengatur rakyatnya akan diberikan aturan seperti apa. Oleh karena itu, dalam kondisi yang makin rancu, makin rusak seperti sekarang, rakyat membutuhkan junnah (pelindung) yang mampu menyelesaikan segala permasalahan dengan tuntas dan memuaskan. Yakni negara yang meembuat Undang-Undang berdasarkan Al-Quran dan Assunnah. 
Allahu a'lam bisshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak