Oleh: Atik Hermawati
Berita tunggakan hotel mencuat ke publik. Di tengah gelombang kedua kasus Covid-19 ini, lagi-lagi masyarakat dibuat dilema. Tak terkecuali RS dan nakes, bagaimana mereka bisa maksimal melayani pasien apabila dukungan pemerintah tersendat. Anggaran dan fasilitas tidak selancar karpet merah bagi pengusaha. Dana hibah pariwisata menjadi hal utama, di tengah lonjakan kasus pandemi yang semakin menggila.
"Kapan pemerintah melunasinya?", itulah pertanyaan sederhana yang merupakan inti dari pelayangan surat oleh Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran pada 18 Juni 2021 lalu. Surat kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu menanyakan kelanjutan pemerintah dalam pembiayaan layanan isolasi pasien Covid-19 tanpa gejala dan akomodasi tenaga kesehatan. Tunggakan sebesar Rp 140 miliar mengemuka setelah pemerintah menghentikan kerja sama untuk sementara (Tempo.co, 26/06/2021).
Belum lagi Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IX DPR secara virtual, Senin (05/07/2021) menyampaikan bahwa pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (pemda) masih menunggak biaya RS dan juga insentif tenaga kesehatan (nakes) sejak Maret 2020. Masih ada Rp1,38 triliun tunggakan pemerintah pusat untuk nakes di RS pemerintah pusat, dan pemda sekitar Rp8,11 triliun untuk nakes di RS daerah (Okezone.com, 05/07/2021).
Namun, di satu sisi saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Darurat di Jawa dan Bali, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno, berjanji akan mempercepat penyaluran sekaligus memperluas penerima dana hibah pariwisata senilai Rp3,7 triliun. Rencananya penerima dana hibah termasuk pelaku biro perjalanan wisata hingga pramuwisata. Ia mengatakan hal itu untuk memulihkan pariwisata yang terpuruk sebab pandemi (Liputan6.com, 05/07/2021).
Rakyat Berjuang Sendiri
Sederet kisah pilu para korban Covid-19 menghiasi layar kaca setiap hari. Entah itu para pasien yang yang mengantre di antara sesak dan penuhnya rumah-rumah sakit, maupun isoman dengan peralatan seadanya yang jauh dari standar. Hingga ratusan dari yang melakukan isoman pun meninggal dunia, tanpa penanganan medis yang semestinya.
Belum lagi para nakes yang selama ini menjadi garda terdepan. Mereka melayani segenap hati dengan tunggakan insentif oleh pemerintah. Nyawa dan keluarga mereka seolah sudah mereka pasrahkan. Rela berjuang dengan hati nurani untuk bertugas hingga akhir hayatnya. Namun, saat getol berdedikasi untuk masyarakat, celaan ataupun fitnah dilontarkan pada mereka. Bukan dari masyarakat biasa yang awam saja, melainkan dari seorang pejabat negara.
Seperti yang dilansir dari Mediaindonesia.com (10/07/2021), Anggota DPRD Sikka, Benediktus Lukas Raja Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur menyebut para nakes lebih memilih menangani pasien Covid-19 ketimbang pasien dengan penyakit lain karena insentifnya besar.
Rasa sakit hati para nakes Sikka mengantarkan mereka untuk berencana melakukan mogok memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama bagi pasien Covid-19.
Lalu PPKM diterapkan, berbagai video pembubaran pedagang kaki lima viral. Diancam denda yang penghasilan mereka pun tak sebesar itu. Siapa yang ingin berkeliaran saat pandemi mencekam, kalau bukan karena terpaksa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pemerintah tak bisa diharapkan masyarakat. Bansos yang ada hanya formalitas laporan, yang katanya pemerintah empati pada rakyat papa. Faktanya tak merata, tak mencukupi, bahkan tak ada sama sekali. Namun, korupsi di sana-sini sudah bukan rahasia lagi. Masyarakat yang 'ngeyel' sebab menanggung beban sendiri. Bukan karena pandemi saja, ancaman kelaparan pun menghantui.
Di sisi lain, pariwisata selalu difokuskan dan digenjot kembali dengan dalih pemulihan ekonomi. Triliunan dana hibah berusaha dipercepat dan diperluas lagi dari tahun sebelumnya. Masih sangat ingat saat Juli 2020, Kemenparekraf menerbitkan protokol kesehatan untuk sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Dimana pariwisata tetap berjalan saat pandemi belum juga usai. Dan kini tetap diprioritaskan di tengah hamparan korban berjatuhan, penderitaan nakes, dan kesulitan pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Ya, dalam sistem demokrasi-kapitalis yang kini diterapkan, pandemi diselesaikan dengan kacamata bisnis. Alasan pemulihan ekonomi, namun tidak manusiawi. Hal yang penting diabaikan, sebab tak menghasilkan pundi uang. Asing-aseng dibiarkan mengeruk SDA tanpa henti, yang sejatinya itu semua anugerah yang sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara, meskipun wabah melanda.
Islam Menjaga Masyarakat
Allah SWT berfirman, " Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah kalian. Padahal kalian tahu " (QS. al-Anfal [8]: 27).
Sudah pasti dalam sistem Islam yakni khilafah, seorang khalifah atau kepala negaranya memimpin berdasarkan amanah yang diberikan Sang Pencipta dan Rasul-Nya, yakni mengurusi urusan umat. Ketakwaan menjadi pondasi dalam membuat berbagai kebijakan. Termasuk saat pandemi.
Sudah masyhur sekali, bahwa lockdown total menjadi cara dalam Islam mengatasi pandemi. Dalam hadits dikatakan, Khalifah Umar pernah keluar untuk melakukan perjalanan menuju Syam. Saat sampai di wilayah bernama Sargh, beliau mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian mengabari Umar bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu” (HR. Al-Bukhari).
Keselamatan masyarakat menjadi hal utama. Berbagai kebutuhan dicukupi sandang, pangan, papan, apalagi pelayanan kesehatan. Segenap upaya dikerahkan tanpa berpikir untung-rugi.
Anggaran semua itu dari Baitul Mal yang sumbernya halal dan berkah, yakni dari aset milik negara (pengelolaan harta fai' (anfal, ghanimah, khumus), jizyah, kharaj, 'usyur, hima atau harta milik umum yang dilindungi negara, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris dan harta orang murtad), aset milik umum/masyarakat luas yaitu berasal dari pengelolaan kekayaan alam berupa tambang, hutan, laut, sungai, danau dan sebagainya, serta aset individu dalam bentuk zakat mal yang sudah ditetapkan jumlah nishob-nya sebagai kepemilikan harta seseorang yang terkena zakat.
Kalaupun banyak korban yang syahid, masyarakat begitu tabah menerima qadha Allah dengan upaya pemimpin yang maksimal. Wabah diatasi dengan usaha yang bijak, doa, dan taubatan nasuha untuk lebih terikat dengan syariat-Nya yang kaffah. Semua itu tidak bisa dilakukan dalam sistem kapitalisme yang kini diterapkan, dimana sekularisme menjadi asasnya.
Wallahu a'lam bishshawab.
Tags
Opini