Pak Presiden, Harus Berapa Nyawa Lagi Meninggal karena Covid?



Oleh : Fitria,S.sos

Presiden Joko Widodo resmi mengeluarkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat untuk memperketat aktivitas masyarakat untuk mencegah penyebaran Covid-19 semakin meluas.

Kebijakan tersebut diumumkan pada Kamis (1/7/2021) lalu di Istana Kepresidenan.

Sebelumnya pemerintah juga memberlakukan peraturan PPKM yang diterapkan dengan skala mikro pada 1 Juni 2021 lalu.

Apa perbedaan PPKM Darurat dan PPKM Mikro yang difokuskan di daerah Jawa-Bali akibat melonjaknya kasus Covd-19 selama beberapa waktu terakhir.

Berikut ini perbedaan kebijakan PPKM Mikro dan PKKM Darurat serta peraturan penting selama penerapannya yang telah dirangkum Kompas.com.


PPKM Mikro
PPKM mikro diterapkan berdasarkan pada instruksi Mendagri Nomor 10 Tahun 2021, yang memuat tentang PPKM berbasis mikro dan posko penanganan Covid-19 di tingkat desa dan kelurahan.


Sedangkan peraturan yang diterapkan selama PPKM Mikro tersebut yaitu tempat kerja atau perkantoran memberlakukan 50 persen work from home (WFH) dan 50 persen lainnya work from office (WFO).

Kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring (online) dan sebagian diperbolehkan melakukan pembelajaran tatap muka (offline).

Restoran atau tempat makan dan minum dibatasi sebesar 50 persen, dengan mengutamakan layanan pesan antar sesuai jam operasional yang menerapkan protokol kesehatan ketat.

Pemerintah juga mengatur pembatasan jam operasional pusat perbelanjaan atau mal hingga pukul 21.00 dan kapasitas tempat ibadah juga dikurangi 50 persen.

Makin banyak hal yang menunjukkan ketakmampuan kepemimpinan kapitalistik menangani pandemi, apalagi dalam mengurusi rakyat. Terlebih pada saat negeri menghadapi kondisi kritis akibat pandemi.

Pakar epidemiologi, Dicky Budiman, memprediksi masa kritis pandemi di Indonesia akan berlangsung hingga September 2021. Saat ini, ia mengatakan bahwa kita menghadapi puncak kasus yang sangat serius pada akhir Juli. “Ini yang harus kita mitigasi, kita cegah dan antisipasi agar ledakan kasus tidak besar,” ujarnya. (nasional.sindoneews.com, 4/7/2021)

Ia juga menilai, kebijakan PPKM Darurat bukan langkah yang ideal dalam mengendalikan virus varian baru Covid-19. Kebijakan tersebut hanya bisa dijadikan alternatif untuk meminimalisir penyebaran virus.

Memang, kebijakan yang tidak ideal akan selalu ada selama masih dipimpin oleh sistem yang tidak ideal pula. Penanganan oleh sistem kapitalistik tentu tetap disandarkan pada asas manfaat, untung atau rugi. Perkara mati dianggap wajar di saat virus masih menyebar.

Saat PPKM Darurat dilakukan dengan ketat, Indonesia juga mengalami masalah serius tentang keterisian tempat tidur yang melebihi batas standar organisasi kesehatan dunia (WHO). Ibu kota negara—Jakarta—pun sedang darurat Corona dan tidak baik-baik saja.

Makin terseok-seoklah perjalanan pemerintah di bawah kepemimpinan kapitalis. Kritis sulit dilewati dan krisis di berbagai sektor terus terjadi.

Lalu terkait vaksinasi, apakah juga menjadi solusi tunats menghadapi kritis pandemi? Jangan sampai vaksin terus disuntikkan ke masyarakat, tetapi setelahnya negara malah tidak melakukan langkah konkret untuk hentikan laju penyebaran virusnya.

Vaksin Bukan Solusi Ajaib
Sebagai manusia, tentu kita tetap berupaya sebaik mungkin dalam menyelesaikan setiap masalah. Namun, kita butuh solusi tuntas hingga ke akar masalah yang tidak menimbulkan masalah lainnya.

Lagi-lagi, kita terus dipertontonkan dengan berbagai kebijakan untuk menghentikan pandemi, yang alih-alih terkendali, justru kasus positif dan angka kematian kian meningkat.

Pakar epidemiologi Indonesia, Dicky Budiman mengatakan, merupakan pemahaman yang keliru jika masyarakat mengira dengan adanya vaksinasi, semua akan selesai. Vaksin bukanlah solusi ajaib, melainkan hanyalah salah satu cara untuk membangun kekebalan individual dan perlindungan masyarakat. Sebab, sebagian kecil penerima vaksinasi masih memungkinkan untuk tertular Covid-19. Hanya saja diharapkan dampaknya (infeksi virus) tidak terlalu parah. (kompas.com, 2/1/2021)

Dicky juga menyatakan, tidak ada pandemi yang selesai dengan vaksinasi. Contohnya cacar yang muncul sejak ratusan tahun lalu, meski telah ada vaksin, pandemi ini baru selesai dalam waktu 200-an tahun. Begitu pun polio, baru selesai dalam kurun 50 tahun. Maka, butuh bertahun-tahun untuk mencapai tujuan herd immunity.

Ia menambahkan, keberhasilan vaksinasi lebih mudah terjadi pada kondisi kurva pandemi yang sudah melandai. Faktanya, di Indonesia, kurva masih terus naik, maka dikhawatirkan vaksinasi menjadi tidak efektif maksimal dan butuh waktu lama untuk menciptakan herd immunity yang diharapkan.

Akhirnya, masing-masing dari kita bisa menjawab, bahwa kepemimpinan kapitalistik jelas utopis bisa mengakhiri masa kritis pandemi.

Langkah Nyata Pemimpin Tangani Pandemi
Meski begitu, kita tetap berharap agar Allah Swt. segera mengakhiri pandemi ini. Pun berharap dan berupaya agar pengaturan kehidupan dengan Islam akan segera kembali. Sebab, hanya Islam satu-satunya yang mampu menangani wabah dengan kebijakan yang manusiawi serta menenangkan masyarakatnya.

Tak jemu penulis menyampaikan tentang pentingnya diatur oleh sistem yang benar dan pemimpin yang bertakwa. Dua hal tersebut menjadi jalan keluar dari segala permasalahan yang dihadapi masyarakat.

Jika pemimpin bertakwa dan amanah, ia akan benar-benar sekuat tenaga mencurahkan segala potensi yang ada untuk menyelesaikan wabah. Ia memahami bahwa kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt..

Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dia pimpin.” (HR Bukhari)

Sebagai pemimpin, ia tidak akan main-main dengan urusan nyawa rakyatnya. Ia memahami sabda Rasul saw., “Hancurnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR An-Nasa’i dan At-Tirmidzi)

Maka, mengutamakan nyawa dibanding ekonomi, pariwisata, atau yang lainnya, harus dilakukan oleh seorang pemimpin.

Seorang pemimpin juga harus mengatur mekanisme anggaran yang fleksibel dan cepat untuk penanganan wabah, serta mengatur birokrasi dan administrasi agar tidak berbelit-belit. Birokrasi dan administrasi yang menyulitkan justru makin memperburuk kondisi rakyat di tengah pandemi.

Kebijakan Praktis Negara Islam Hadapi Pandemi
Pemimpin dalam Islam tidak akan menunggu-nunggu dalam memutuskan kebijakan saat wabah terjadi. Maka, ia akan segera mengisolasi wilayah yang terpapar wabah; tegas menutup wilayah tersebut agar proses penularan berantai dapat dihentikan. Saat isolasi dijalankan, negara tidak akan berlepas tangan, yakni dengan menjamin semua kebutuhan dasar masyarakatnya.

Di samping itu, perawatan, pengobatan, dan pelayanan kesehatan diberikan secara cuma-cuma. Obat-obatan atau vitamin untuk memperkuat daya tahan tubuh, dipenuhi oleh negara agar pasien dapat melewati masa kritisnya, hingga persentase kematian dapat diminimalkan. Ketersediaan fasilitas kesehatan juga mendapat perhatian khusus dari negara.

Penjagaan wilayah yang tidak terdampak wabah, benar-benar dilakukan dengan ketat, sehingga dapat menopang daerah lain yang terkena wabah. Tak lupa pula mendorong para ilmuwan untuk segera menemukan obat/vaksin.

Sementara masyarakat, diminta untuk saling membantu dengan dorongan keimanan. Misal menemukan orang seharusnya mengisolasi diri dan butuh bantuan, maka masyarakat di sekitar turut membantunya. Bukan sebaliknya, mengucilkan atau mengusirnya dari wilayah tersebut.

Sabda Rasulullah saw., “Tidaklah beriman kepada-Ku orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan sampai ke lambungnya. Padahal ia (orang yang kenyang—mengetahui.” (HR Bukhari)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak