Oleh : Nikmatul Arofah
Wacana Pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap bahan pangan, biaya melahirkan dan pendidikan mendapat reaksi yang cukup riuh dari masyarakat. Sekaligus menegaskan bahwa pajak merupakan tulang punggung ekonomi kapitalis.
Seperti dilansir dari CNN Indonesia, (Sabtu,12/06/2021). Kementerian Keuangan buka suara perihal polemik wacana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sejumlah kebutuhan masyarakat, termasuk diantaranya sembako dan sekolah.
Rencana kebijakan ini bakal tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam draft revisi UU Nomor 6 yang didapat CNNIndonesia.com, pengenaan pajak itu diatur dalam Pasal 4A.
Dalam cuitan di akun @FaktaKeuangan, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Rahayu Puspasari menjelaskan bahwa draft tersebut merupakan wacana ke depan, dan tidak untuk saat ini.
Meski begitu, jika kebijakan ini benar-benar direalisasikan akan menambah berat beban masyarakat. Karena sebelumnya sembako tidak dikenakan PPN karena menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No 116/PMK 010/2017. Dalam wacana Pemerintah tersebut ada beberapa barang kebutuhan pokok yang dikenakan PPN, antara lain: beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan dan gula konsumsi. Semua barang-barang tersebut merupakan bahan pokok yang sangat dibutuhkan dan dikonsumsi seluruh masyarakat.
Berbanding terbalik dengan rencana Pemerintah yang akan mengenakan PPN untuk kebutuhan pokok jika disandingkan dengan kebijakan Pemerintah yang sempat mengenakan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) sebesar 0% pada mobil baru. Aroma ketidakadilan dirasakan karena Pemerintah justru melonggarkan pajak untuk konsumen menengah atas. Dengan begitu kondisi masyarakat bawah akan semakin terseok karena pemerintah menambah beban rakyat dengan pajak. Hal ini semakin memperjelas bahwa kekuasaan yang ada hanya berpihak kepada segelintir golongan saja.
Kebijakan Zalim Ala Kapitalisme
Tidak dipungkiri bahwa hutang dan pajak adalah karakteristik sebuah negara yang diatur dengan sistem kapitalis. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara. Pajak juga digunakan untuk menutupi defisit anggaran negara serta membantu melunasi hutang yang membengkak. Kebijakan ini justru akan semakin menyengsarakan rakyat, melihat kondisi rakyat saat ini sudah berat menghadapi harga sembako yang semakin meninggi ditambah pandemi yang sedang melanda negeri. Seolah masalah di negara ini tak kunjung surut bak benang kusut.
Bahkan ketua MPR-RI Bambang Soesatyo meminta pemerintah membatalkan rencana PPN sembako dan pendidikan, karena dinilai kebijakan tersebut bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dan sektor sembako-pendidikan sangat mempengaruhi naik turunnya inflasi. Seperti dikutip dari ANTARA/HO, Minggu,13 Juni 2021. Pengenaan pajak PPN otomatis akan membuat harga sembako maupun pendidikan naik tajam, pada akhirnya akan menaikkan inflasi Indonesia.
Padahal jika negara bisa mengelola kekayaan sumber daya alam yang melimpah di negeri ini dengan baik secara mandiri, pasti akan sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan negara. Namun negara justru menyerahkan pengelolaannya ditangan korporat. Yang hanya akan memperkaya segelintir orang atau kelompok saja.
Bisa dipastikan selama sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini, tidak akan pernah mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Yang terjadi justru rakyat dizalimi dengan kebijakan-kebijakan yang tidak mensolusi permasalahan rakyat, justru muncul masalah baru dari kebijakan yang ada. Tidak ada alasan untuk bertahan dalam sistem ini. Sebagai umat Islam sudah saatnya beralih pada Islam satu-satunya solusi kehidupan. Kebijakan zalim seperti ini tidak akan ditemukan dan dirasakan oleh rakyat jika negara menerapkan sistem Islam dalam mengurusi urusan rakyat.
Pajak Menurut Pandangan Islam
Dalam Islam, istilah pajak dikenal dengan dharibah. Dharibah didefinisikan oleh Al-'Allamah Syaikh 'Abdul Qadim Zallum (dalam Al amwal fi Daulati Al-Khilafah hal. 129), sebagai harta yang diwajibkan Allah kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum muslim untuk membiayainya.
Di dalam sistem ekonomi Islam, pajak tidak untuk menekan pertumbuhan, juga tidak digunakan untuk menghalangi orang kaya, tidak juga untuk menambah pendapatan negara. Pajak hanya diambil ketika terjadi kekosongan dana di Baitul Mal. Negara mengambil pajak hanya untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan syariat dan bersifat temporal.
Pajak menjadi pendapatan tidak tetap negara yang bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan ketika tidak ada dana di Baitul Mal. Karena itu, pajak menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, tergantung kebutuhan yang dibenarkan syara' untuk mengambilnya. Jadi didalam mengambil kebijakanpun haruslah sesuai dengan ketentuan syariat. Bahkan Rasulullah Saw telah memperingatkan dalam sabdanya: "Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diazab) di neraka". (HR. Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930).
Islam juga tidak menetapkan pajak tidak langsung seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Pajak hiburan, Pajak jual beli, karena ini termasuk perbuatan bathil yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya. Allah berfirman dalam Qur'an Surat An-nisa ayat 29: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang bathil....."
Islam juga tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan. Layanan tersebut disediakan gratis dengan pelayanan terbaik, sebab semua itu adalah bentuk pengurusan negara terhadap rakyatnya. Sebagaimana hadis Rasulullah Saw: "Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya". (HR. Al Bukhari).
Adapun sumber pendapatan tetap negara untuk mengurusi kebutuhan rakyat, dalam sistem ekonomi Islam menetapkan ada 3 jalur pos dalam Baitul Mal:
1. Pos kepemilikan negara, yang berasal dari pengelolaan harta fa'i (anfal, ghanimah, khumus), jizyah, kharaj, 'usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, harta orang murtad.
2. Pos kepemilikan umum, yang berasal dari pengelolaan kekayaan alam berupa hasil tambang, kekayaan laut, hutan dan sebagainya.
3. Pos zakat dan shadaqah, yaitu berasal dari harta zakat kaum muslimin baik zakat fitrah maupun zakat mal.
Inilah skema jalur sumber pendapatan negara yang ditetapkan oleh syariat, ada atau tidaknya kebutuhan. Begitu pula prosedur dalam sistem Islam dalam memungut pajak tanpa memalak rakyat. Dan sistem ini telah terbukti berhasil menyejahterakan rakyat dalam penerapan syariah dalam naungan Khilafah.
Wallahu'alam bishawab
Tags
Opini