Oleh Nia Ummu Yusuf, Pengamat Ekonomi
Sembako bakal dikenai pajak? Kabar tersebut tentu mengejutkan. Meski baru sebatas wacana, namun bukan tak mungkin jadi kenyataan. Bagaimana sebenarnya kedudukan pajak dalam pandangan Islam dibandingkan dengan kondisi saat ini yang notabene menerapkan ideologi kapitalisme?
Pajak
dalam Pandangan Kapitalisme
Pajak adalah kontribusi
wajib rakyat kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Jenis
pajak yang diterapkan di Indonesia menurut UU adalah pajak penghasilan, pajak
pertambahan nilai dan pajak penjualan barang mewah, pajak Internsional dalam
bentuk usaha, pajak bumi dan bangunan. Hasil pungutan 4 jenis pajak di atas adalah digunakan untuk pemakaian APBN
PPN
12% untuk Sembako, Mengapa?
Wacana
akan diterapkannya pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% terhadap barang
kebutuhan pokok untuk sembako, sebagaimana tertuang dalam revisi draf rancangan
UU No 6 tahun 1983 merupakan indikator kegagalan pemanfaatan pajak sebagai
sumber APBN. Menurut Yustianus Pratono (senin 14 Juni 2021 TV one) saat ini penerapan
PPN bertujuan untuk memulihkan kondisi ekonomi nasional akibat pandemic covid
19 seperti (1) menaikan angka kemiskinan, daya beli masyarakat menurun, harga
barang menjadi lebih tinggi, inflasi, kesenjangan sosial lebih tinggi; (2)
biaya distribusi akan naik karena sembako termasuk barang yang rantai
pasokannya panjang serta berkaitan dengan sektor informal pertanian; (3) risiko
adanya barang illegal; dan (4) kontraproduktif dengan pemulihan ekonomi karena
kenaikan PPN yang akan diikuti dengan rencana pencabutan subsidi.
Bagaimana
pandangan islam terhadap pajak? Dan bagaimana islam mengatur APBN?
1.
Pajak (𝗗𝗟𝗔𝗥𝗜𝗕𝗔𝗛)Dalam Pandangan Islam
Pajak dalam Islam dikenal
dengan istilah Dharibah adalah harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum
muslimin untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang
diwajibkan atas mereka, pada kondisi Baitul Mal kaum Muslimin tidak ada uang
atau tidak ada harta.
2.
Kewajiban Dlaribah (Pajak)
Pada dasarnya, dalam ajaran
Islam sudah ada sumber-sumber pendapatan bagi negara yang sudah bersifat tetap
atau permanen. Negara juga sudah mempunyai pos-pos pengeluaran yang alokasikan
dan sudah bersifat tetap. Semua sumber penerimaan dan pengeluaran negara yang
bersifat permanen tersebut, ditentukan berdasarkan nash-nash syar’i yang jelas.
Oleh karena itu, Negara tidak boleh menarik pajak (dlaribah) kepada rakyatnya.
Namun demikian, jika Kas Negara mengalami kekurangan, maka harus dilihat lebih
lanjut, jika pemenuhan kekurangan itu tidak segera diberikan akan dapat
menyebabkan terjadinya kemudharatan yang serius, maka negara harus segera
mengupayakan pemenuhan kekurangan harta tersebut.
Dengan cara apa? Pemenuhannya dilakukan
dengan cara membebankan kewajiban tersebut kepada kaum muslimin, terutama yang
dari kalangan yang kaya dalam wujud penarikan pajak (dharibah). Penarikan pajak
tersebut hanya bersifat temporal. Jika kekurangan tersebut sudah terpenuhi,
maka penarikan pajak tersebut harus dihentikan. Penarikan pajak tersebut juga
tidak boleh dibebankan kepada warga negara kafir dzimmy. Namun, jika pemenuhan
kekurangan itu dikhawatirkan tidak akan menimbulkan kemudharatan yang serius,
maka pemenuhan kekurangan tersebut dapat ditunda sampai adanya pemasukan harta
lagi, barulah pembayaran harta itu diberikan kepada mereka yang berhak
menerimanya. Di antara dalilnya adalah sabda Nabi saw yang artinya ; (1) “Tidak
boleh ada bahaya (dlarar) dan (saling) membahayakan” (HR. Ibnu Majah dan
Ahmad). (2) “Sedekah yang paling baik adalah yang berasal dari orang kaya” (HR
al-Bukhari).
3.
Ketentuan Pajak (Dlaribah)
Ketentuan penarikan pajak adalah (1) Hanya boleh dipungut pada kondisi kas negara
tidak ada uang atau harta; (2) Hanya dipungut dari laki-laki muslim kaya; (3).
Tidak boleh dipungut dari warga negara kafir dzimmy; (4). Harus sesuai dengan
jumlah yang diperlukan; (5). Tidak boleh bersifat permanen atau hanya bersifat
temporal.
Dalil-dalilnya antara lain,
a.
Larangan Merampas Hak Orang
Lain. Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah
riwayat bahwasanya Rasulullah saw bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang
mengambil hak orang lain, walaupun hanya sejengkal tanah, maka kelak akan
dikalungkan kepadanya tujuh lapis bumi.” [HR. Imam Bukhari dan Muslim];
b.
Larangan mengambil harta
orang lain walaupun sedikit, berlaku umum, baik individu, kelompok, maupun
negara. Nabi saw mengutuk pihak-pihak yang suka memberatkan urusan kaum Muslim.
Nabi saw bersabda yang artinya (1) "Siapa saja yang memberatkan (urusan
orang lain), Allah akan memberatkan urusannya kelak di hari kiamat".[HR.
Imam Bukhari];
Berdasarkan
point-point ini dapat disimpulkan bahwa hukum asal menarik pungutan (pajak)
dari rakyat sesuangguhnya perbuatan haram. Hanya berlaku bila keadaan darurat
sebagaimana digambarkn di atas.
Islam mengatur APBN Khilafah
APBN Islam tidak dibuat
setiap tahun, tidak membutuhkan pembahasan dengan DPR, tetapi DPR dapat memberi
masukan. APBN merupakan pos pendapatan dan pengeluarannya telah ditetapkan oleh
Syariah, Kepala Negara yaitu Khalifah dapat menyusun sendiri APBN tersebut
melalui hak tabanni yang melekat pada dirinya, .dan alokasi dana masing-masing
pos pendapatan dan pengeluarannya diserahkan kepada pendapat dan ijtihad Kepala
Negara.
Pos Penerimaan Negara
Pos Penerimaan disusun
berdasarkan pos-pos yang ditetapkan syariah. Pos pendapatan negara terdiri dari
tiga bagian: 1. Bagian Fai dan Kharaj (Kepemilikan Negara) 2. Bagian
Kepemilikan Umum 3. Bagian Shadaqah (Kepemilikan Individu). Adapun item-item
pemasukan bagi baitul mal:
a. Anfal, Ghanimah, Fai dan Khumus. Anfal dan Ghanimah maknanya sama yaitu segala sesuatu
yang dikuasai oleh kaum muslimin dari harta orang kafir melalui peperangan di
medan perang.
b. Kharaj adalah hak kaum muslimin atas tanah yang diperoleh (dan menjadi
bagian ghanimah) dari orang kafir, baik melalui peperangan maupun perjanjian
damai.
c. Jizyah adalah hak yang Allah berikan kepada kaum muslimin dari
orang-orang kafir sebagai tanda tundukn mereka kepada Islam.
d. Harta Milik Umuma dalah sumber
pendapatan negara yang paling diandalkan untuk masa kini.
e. Harta Milik Negara, Setiap jengkal tanah dan bangunan yang terkait dengan
Negara adalah hak seluruh kaum muslimin. Jika bukan termasuk kepemilikan umum
berarti tergolong milik Negara.
f. Harta ‘Usyur
g. Harta tidak sah dari penguasa dan pegawai negara, harta hasil kerja yang
tidak dijinkan syara’, serta harta yang diperoleh dari hasil tindakan curang
lainnya.
h. Khumus barang temuan dan barang tambang (depositnya sedikit)
i. Harta yang tidak ada ahli warisnya
j. Harta orang-orang murtad
k. Dharibah adalah harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum muslimin
untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang
diwajibkan atas mereka. Hanya boleh
dipungut pada kondisi di baitul mal tidak ada uang atau harta. Hanya dipungut dari laki-laki muslim
kaya. Harus sesuai dengan jumlah yang
diperlukan Tidak boleh bersifat permanen.
l. Zakat
Selain adanya pemasukan rutin, syariat Islam juga telah
mengatur pos-pos pengeluaran tertentu yang harus dipenuhi oleh baitul mal, baik
dalam kondisi ada harta atau tidak di baitul mal. Jika pos-pos pengeluaran
penting tersebut bisa ditutup oleh baitul mal, maka Negara tidak akan memungut
pajak dari rakyat. Hanya saja, dalam kondisi-kondisi tertentu, beban yang
dipikul negara Khilafah sangatlah besar, sehingga, pendapatan tetap baitul mal
tidak cukup untuk menutupi pembiayaan wajib baitul mal. Jika dari pendapatan
tetap tidak cukup, maka Negara akan meminta sumbangan sukarela dari kaum Muslim.
Namun jika sumbangan kaum Muslim ini juga tidak cukup untuk menutupi pos-pos
kebutuhan dan pengeluaran wajib, maka pada saat itulah kewajiban pembiayaan
berbagai kebutuhan dan untuk pos-pos pengeluaran tersebut beralih kepada
seluruh kaum Muslim dalam bentuk penarikan pajak. Ini didasarkan pada
kenyataan, bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka untuk membiayai berbagai
kebutuhan maupun pos-pos pengeluaran tersebut, ketika baitul mal tidak sanggup
lagi. Alasan yang lain adalah, jika berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran
itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemudharatan atas kaum Muslim. Padahal
Allah juga telah mewajibkan negara dan umat untuk menghilangkan kemudharatan
yang menimpa kaum Muslim.
Nantinya
, kebutuhan-kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang pembiayaannya bisa diambil
dari pajak, jika baitul mal dan sumbangan sukarela kaum Muslim sudah tidak
mencukupi untuk menutup pembiayaannya adalah diperuntukkan untuk keperluan
jihad dan militer. Juga untuk
pembangunan fasilitas dan sarana umum serta pengentasa kemiskinan.
Inilah
kondisi-kondisi yang mewajibkan Negara untuk memungut pajak dari kaum Muslim.
Selain kondisi-kondisi di atas, Negara tidak boleh (haram) mewajibkan pajak dalam
bentuk apa pun.
Dengan
ketentuan hukum semacam ini, penetapan anggaran belanja Khilafah pernah menjadikan pajak sebagai sumber
pemasukan utama. Negara harus menggali sumber-sumber pendapatan dari harta
kepemilikan umum. Negara harus mengutamakan pendapatan dari sector lain, yakni
pengelolaan terhadap aset-aset kepemilikan umum yang pendapatannya dialokasikan
sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Sedangkan pajak, harus
ditempatkan sebagai pendapatan insidentil belaka, dan dipungut ketika keuangan
baitul mal sudah tidak mampu menutupi pembiayan-pembiayaan wajib. Wallahul
musta'an wa huwa waliyut taufiq.