Oleh: Relliyanie,S.Pd
(Pendidik dan Pemerhati Sosial)
Baru-baru ini masyarakat dihebohkan dengan tingkah salah satu artis yang menemani anaknya nonton film yang seyogyanya tidak pantas untuk ditonton anak-anak. Bukan malah melarang, tapi ikutan nonton. Aneh memang cara pandang si artis ini, beda dengan kebanyakan orang tua.
Hal ini langsung dikomentari Ketua KPAI Susanto. Konten porno itu konten berbahaya. Dampak negatifnya serius bagi tumbuh kembang anak," kata Ketua KPAI, Susanto (detik.com,26/6/2021). Susanto menilai konten porno tak boleh ditonton oleh anak-anak meski diawasi atau ditemani. Menurutnya, konten porno tetap memiliki dampak buruk.
Namun berbeda dengan rekomendasi dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menyarankan setiap negara di dunia untuk menerapkan pendidikan seksual yang komprehensif, termasuk Indonesia. Rekomendasi ini berdasarkan pada kajian terbaru dari Global Education Monitoring (GEM) Report, UNESCO.
Lebih dari satu dari sepuluh kelahiran terjadi di antara anak perempuan berusia antara 15-19 tahun. Ini tidak hanya berarti akhir dari pendidikan mereka, tetapi juga seringkali berakibat fatal, dengan kehamilan dan kelahiran merupakan penyebab utama kematian di antara kelompok usia ini," kata Direktur GEM Report Manos Antoninis, dalam keterangan pers yang diterima CNNIndonesia.com, Rabu (13/6).
Pendidikan seksualitas komprehensif adalah bagian tak terpisahkan dari pendidikan berkualitas baik, pencapaian hasil kesehatan yang baik, dan kemajuan menuju kesetaraan gender," kata Antoninis.
Dukungan kebebasan pun ditunjukkan oleh Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, mengatakan bahwa Hungaria tidak lagi punya tempat di Uni Eropa karena meloloskan rancangan undang-undang yang melarang konten isu lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di sekolah.
"Bagi saya, Hungaria tidak lagi punya tempat di Uni Eropa," kata Rutte kepada wartawan sebelum menghadiri pertemuan tingkat tinggi Uni Eropa pada Kamis (24/6) dikutip dari CNN indonesia.com. Sungguh jelas dukungan barat terhadap ide-ide kebebasan ini yang meracuni pemikiran umat Islam saat ini.
Ditambah dengan sekulerisasi pendidikan di Indonesia sudah lama terjadi. Sekulerisasi secara struktural berlangsung secara intensif di ranah pendidikan formal, dimana sejak awal negeri ini memisahkan jalur pendidikan Islam dengan jalur pendidikan umum di bawah dua kementrian yang berbeda. Pendidikan Islam di bawah Kementerian Agama, dan pendidikan umum di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, ini berlaku untuk semua jenjang dari dasar hingga tinggi.
Wajarlah akhirnya dengan program liberalisasi yang begitu massif, baik dari dunia barat dan negara sendiri, membawa orangtua-orangtua milenal ini semakin tergelincir kepada gaya pendidikan barat yang memberikan kebebasan anak-anaknya dalam bergaul. Bahkan "acuhnya" orangtua kepada apa yang diperbuat anaknya sudah sering ditemukan pada sosok orangtua hari ini. Sekedar memberi nafkah, mereka merasa sudah melaksanakan tanggung jawabnya.
Hakikatnya, membiarkan sekulerisasi pendidikan sama saja mencerabut keberkahan ilmu dari pola pikir (aqliyah) manusia, akibat tersingkirkannya wahyu sebagai otoritas akademik. Dimana pemikiran manusia yang jauh dari wahyu ini tentu berpengaruh pada pola sikap (nafsiyah) dan kepribadiannya secara keseluruhan.
Di sisi lain, sekulerisasi ilmu pengetahuan juga memfasilitasi tsaqofah asing dan pemikiran-pemikiran sekuler liberal merasuki benak kaum terpelajar. Sehingga wajar hari ini kaum munafik di tengah umat benar-benar nampak. Karena tsaqofah asing yang bertentangan dengan Aqidah Islam adalah bahan bakar kemunafikan. Selain itu asas sekulerisme juga telah menjadi pintu masuk bagi kapitalisasi pendidikan, yang semakin menyuburkan lahirnya kaum pragmatis yang materialistik, akibat pendidikan dijadikan komoditas bisnis.
Untuk menghindarkan umat dari bahaya pemikiran dan gaya hidup liberal ini, Islam menetapkan bahwa negara wajib melaksanakan pendidikan yang berasaskan aqidah Islam untuk mencetak pribadi yang bershakshiyyah islam. Sistem pergaulan yang berlandaskan Islam juga menjadi penjaga umat dari hal-hal yang menjerumuskan masyarakat kepada gaul bebas. Sistem sanksi juga diterapkan untuk memberikan efek jera dan sifatnya yang preventif dari segala kemaksiatan. Ditambah dengan media massa yang akan diatur oleh negara yang menerapkan Islam, dimana tidak akan ada tontonan yang membahayakan masyarakat. Tidak akan ada tontonan berbau pornografi maupun pornoaksi, serta acara yang mengumbar aurat yang bisa mempengaruhi naluri seksual masyarakat.
Maka dari itu, para orang tua harus mengetahui dan menyadari cara mendidik anak dengan pendidikan Islam. Allah berfirman:
] يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا …[
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka… (QS. at-Tahrim [66]: 6).
Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al- ‘Azhim menyebutkan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib menjelaskan ayat tersebut, yaitu: “didiklah mereka dengan adab dan ajarkan kepada mereka”. Sedangkan Qatadah berkata: “dia menyuruh mereka menaati Allah, melarang mereka dari bermaksiat kepada Allah, mengurus mereka sesuai perintah Allah, menyuruh dan membantu mereka atasnya. Dan jika engkau melihat kemaksiatan kepada Allah maka engkau cegah dan larang mereka darinya.”
Peran orangtua ini tentu tidak akan berhasil tanpa dukungan masyarakat yang islami, yakni masyarakat yang beramar ma'ruf nahi mungkar. Masyarakat yang peduli dengan sesama, yang tidak akan membiarkan salah satu anggota masyarakatnya berbuat kemaksiatan. Ditopang dengan kekuatan negara yang menerapkan semua aturan Islam yang sempurna dan memberikan pelayanan dan perlindungan sepenuhnya kepada rakyat. Negara yang menjaga aqidah, nasab, dan kemuliaan umat. Wallahu a'lam.