Oleh : Alin FM
Praktisi Multimedia dan Penulis
Sebanyak 1.207 tenaga kesehatan meninggal akibat terinfeksi virus Covid-19 hingga 9 Juli 2021. Dari angka tersebut, tercatat sebanyak 458 adalah dokter, 373 perawat, 208 bidan, 46 dokter gigi, dan 32 ahli teknologi lab medik. Selanjutnya, 3 orang terapis gigi, 6 rekam radiologi, 3 petugas ambulans, 3 tenaga farmasi, 3 elektromedik, 5 sanitarian, 10 apoteker, 1 fisikawan medik, 2 epidemiolog, 1 entomolog kesehatan dan lebih dari 53 tenaga kesehatan kategori lainnya. (cnbindonesia.com, 9/7/2021)
Banyaknya nakes yang berguguran di tengah laju penyebaran covid 19 yang semakin mengganas adalah ancaman kolapsnya pelayanan kesehatan dalam jangka pendek. Pasalnya, wafatnya para tenaga kesehatan di negeri ini adalah bentuk kerugian negara atas hilangnya aset sumber daya manusia dalam pelayanan kesehatan. SDM berharga yang terampil dan garda terdepan dalam pelayanan kesehatan publik. Kian berkurangnya kuantitas tenaga kesehatan, jelas akan berpengaruh pada merosotnya pelayanan negara terhadap kesehatan masyarakat.
Di sisi lain, kasus aktif Covid 19 yang masih mengganas kendati PPKM darurat telah berjalan satu minggu. Data dari Satgas Covid-19 mencatat misalnya kasus aktif per 10 Juli 2021 bertambah menjadi 373.440.
Dan yang paling disesalkan lagi adalah lemahnya pengetatan di pintu masuk mancanegara hingga saat ini. Sangat tidak adil jika mudik lebaran beberapa waktu lalu malah dijadikan kambing hitam atas lonjakan kasus yang terjadi. Pasalnya, penularan virus ini terjadi akibat "imported case" yang disebabkan oleh mereka yang memiliki riwayat perjalanan dari luar negeri. Begitupun dengan kasus penularan varian Delta yang berasal dari warga India yang masuk ke wilayah Indonesia.
Jika dicermati, kasus terus meningkat namun masa inkubasi WNA hanya 8 hari. Salah satu penyebab petaka ini adalah kegagalan pemerintah dalam memperketat pintu masuk bagi warga asing maupun tenaga kerja asing sejak awal hingga berlangsung pandemi, bahkan sampai hari ini. Indonesia akan tetap rawan kebobolan kasus impor sepanjang tidak ada perhatian serius terhadap pintu perbatasan. Jadi, tidak sepenuhnya benar jika ledakan kasus Covid-19 belakang ini akibat mudik lebaran.
Pemerintah harus segera melakukan misi penyelamatan nyawa warga negara. Salah satunya dengan mengkarantina wilayah total. Menomorduakan menyelamatkan ekonomi dan fokus penyelamatan nyawa masyarakat. Salah kaprah pemerintah dalam mengidentifikasi masalah covid 19 telah berakibat fatal dalam rumusan kebijakannya yang setelah hati selama ini. Kebijakan yang serba tanggung akhirnya berimplikasi pada molornya waktu penanganan dan melonjaknya angka korban jiwa yang berjatuhan.
Kini publik bisa menyaksikan bahkan mengalami kondisi yang mengerikan. Rumah sakit kian sesak, banyak pasien yang antre, ambulans tak memadai untuk menjemput para pasien Covid-19, serta persediaan kamar atau ruangan di RS tak mencukupi. Masihkah para pembuat kebijakan lalai atasi pandemi ini?
Akhirnya gelombang kedua Covid-19 tak bisa dikendalikan. Sejumlah RS telah mengumumkan tak mampu menampung para pasien. Hingga terjadi penolakan pasien di beberapa RS di Indonesia. Apalagi fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang telah kolaps akibat dihantam lonjakan pasien. Dampaknya, sebagian pasien tidak tertangani dengan baik hingga ajal menjemput.
Tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan eksisting telah mengalami functional collapse. Mereka masih bertahan namun secara fungsi pelayanannya tidak maksimal akibat nakes yang sakit, wafat, hingga persediaan obat-obatan yang mulai langka. Pada akhirnya, masalah ini berakibat fatal pada pasien. Melihat kondisi ini pemerintah perlu mendirikan lebih banyak rumah sakit darurat Covid dan karantina wilayah total.
Inilah bukti halusinasi kesejahteraan Kapitalisme. Jargon Menjamin kehidupan rakyat akan sejahtera dan sentosa, hanya isapan jempol. Menjamin melindungi segenap jiwa raga rakyat bagaikan punguk merindukan bulan yang tidak akan pernah terjadi. Menjamin akan memenuhi segala fasilitas publik, seperti kesehatan, pendidikan dan infrastruktur masyarakat adalah harga mahal yang harus ditebus. Hingga saat ini, semua itu tak terbukti bisa dipenuhi dan halusinasi kesejahteraan.
Pemerintah ala Kapitalisme, sejatinya mereka tak mampu me-riayah masyarakat dan menunjukkan tak ada lagi wibawa kepemimpinan mereka di mata rakyatnya. Kepemimpinan kapitalistik sejak awal telah salah langkah. Mengkambinghitamkan masyarakat dalam lonjakan pandemi terjadi karena ketidakpatuhan rakyat terhadap prokes dan membuka pintu masuk warga negara asing sebagai "imported case" penularan virus.
Penguasa ala Kapitalisme sibuk menggenjot perekonomian mengabaikan kesehatan dan keselamatan jiwa rakyat. Diperparah dengan penerapan kebijakan-kebijakan yang kian menjauhkan jarak antara mereka dengan rakyatnya. Kebijakan yang serba tanggung akhirnya berimplikasi pada molornya waktu penanganan dan melonjaknya angka korban jiwa yang berjatuhan.
Berbeda dengan pada zaman Pertengahan dimana kekuasaan Islam masih berlangsung. Hampir semua kota besar daulah Khilafah memiliki rumah sakit. Di Cairo, rumah sakit Qalaqun dapat menampung hingga 8000 pasien. Rumah sakit ini juga sudah digunakan untuk pendidikan universitas serta untuk riset. Rumah Sakit ini juga tidak hanya untuk yang sakit fisik, namun juga sakit jiwa. Di Eropa, rumah sakit semacam ini baru didirikan oleh veteran Perang Salib yang menyaksikan kehebatan sistem kesehatan di Timur Tengah. Sebelumnya pasien jiwa hanya diisolir dan paling jauh dicoba diterapi dengan ruqyah.
Negara membangun rumah sakit di hampir semua kota di Daulah Khilafah. Ini adalah rumah-rumah sakit dalam pengertian modern. Rumah sakit ini dibuat untuk mempercepat penyembuhan pasien di bawah pengawasan tenaga kesehatan yang terlatih serta untuk mencegah penularan kepada masyarakat.
Semua rumah sakit di Dunia Islam dilengkapi dengan tes-tes kompetensi bagi setiap dokter dan perawatnya, aturan kemurnian obat, kebersihan dan kesegaran udara, sampai pemisahan pasien penyakit-penyakit tertentu. Tenaga kesehatan dipersiapkan dengan lengkap dengan mendirikan pusat-pusat penelitian dan sekolah-sekolah kesehatan tanpa membebani biaya sekolah. Negara akan mencetak banyak tenaga kesehatan terampil yang dibiayai oleh negara.
Rumah-rumah sakit Daulah Khilafah bahkan menjadi favorit para pelancong asing yang ingin mencicipi sedikit kemewahan tanpa biaya, karena seluruh rumah sakit di Daulah Khilafah bebas biaya. Namun, pada hari keempat, bila terbukti mereka tidak sakit, mereka akan disuruh pergi, karena kewajiban menjamu musafir hanya tiga hari.
Banyak individu yang ingin berkontribusi dalam amal ini. Negara memfasilitasi dengan membentuk lembaga wakaf (charitable trust) yang menjadikan makin banyak madrasah dan fasilitas kesehatan bebas biaya. Model ini pada saat itu adalah yang pertama di dunia. Inilah bukti kegemilangan Islam dalam dunia kesehatan. Khilafah menghargai tenaga kesehatan sebagai aset berharga dalam pelayanan kesehatan publik.
Rindunya dengan kegemilangan Islam dalam mengurus segala kebutuhan rakyat. Maka, dibutuhkan perubahan sistem politik ala kapitalisme menuju politik Islam yang berbasis kesadaran ideologi pada umat menuju tegaknya khilafah Islam.
Tags
Opini