Oleh Desi Umma Rifqy, Pemerhati sosial
Pandemi Covid-19 telah dimulai sejak
Desember 2019 di Tiongkok, namun hal ini kurang dianggap serius oleh pemerintah
Indonesia. Hal ini tercermin dari
masuknya 796 ribu wisatawan mancanegara di 31 bandara (Hidayat, 2020).
Pengecekan serius baru dilakukan setelah ada dua kasus positif pada 2 Maret
2019, namun nampaknya terdapat beberapa kasus positif yang tidak terekam oleh
pemerintah Indonesia (CNN indonesia) Imbasnya, konflik sosial terjadi di
mana-mana. Mulai dari panic buying terhadap
produk yang dianggap ‘obat’ Corona hingga pemulangan paksa jenazah pasien
terpapar Covid19.
Lebih dari itu, konflik dapat muncul
baik dari karakteristik individu/kelompok/masyarakat, interaksi sosial hingga
karena terjadinya kelangkaan dan ketimpangan.
Sehingga akan menimbulkan kegelisahan” (anxiety) masyarakat yang dapat
menjadi justifikasi/pembenaran suatu pihak melakukan suatu tindakan antagonistis.
Apabila perasaan frustrasi atau ketidakpuasan sosial ini berkembang dan meluas
maka faktor internal dapat memberikan motif perilaku antagonis yang mungkin
dapat diperkuat oleh faktor lain.
Permasalahan yang dihadapi di
akar rumput utamanya, sangat terkait dengan “urusan perut”. Lambannya proses pendataan dan
pendistribusian bantuan pada akhirnya akan mengarah pada meningkatnya “rasa frustrasi”
dan “ketidak senangan sosial” khususnya di kalangan masyarakat yang tergolong
miskin dan rentan miskin. Masalah semakin tajam jika dalam proses distribusi
terjadi ketidakadilan atau tebang pilih. Pada kondisi yang berlarut-larut
dengan kondisi perut yang lelah menahan lapar yang menyebar dan dirasakan oleh
kelompok yang pada awalnya memiliki persediaan. Maka satu percikan api atau
satu gejolak kecil dari kegelisahan yang telah terpendam dapat berbuah menjadi
konflik.
Di sisi lain semakin jelas
bahwa kebijakan dikendalikan oleh ideologi kapitalisme, bukan didasarkan
pertimbangan kemaslahatan publik yang didukung sains dan suara publik, akan
tetapi demi kepentingan para penguasa kapitalis-sekuler yang usahanya terkena
dampak di tengah-tengah pandemi ini.
Ditambah lagi, dalam menangani wabah
pun, selalu menggunakan metode yang lebih mementingkan aspek ekonomi. Menjaga
dan memelihara nyawa manusia seperti dinomorduakan dan seolah hanya hitungan
angka. Kebijakan Adaptasi Kebiasaan Baru atau New Normal, merupakan salah satu
contoh bahwa ada pihak lebih mementingkan aspek ekonomi dibanding kesehatan
atau bahkan nyawa rakyat.
Seharusnya umat mulai menyadari
bahwa lambannya penanganan virus Corona bukan semata-mata problem teknis, namun
problem sistemis. Maka, penyelesaiannya pun harus sistemis pula. Saatnya Kapitalisme-demokrasi
yang tidak mengutamakan nyawa manusia,
diganti dengan sistem yang berasal dari Pencipta manusia, alam semesta
dan Kehidupan.
Nabi saw. bersabda,
“Sungguh lenyapnya dunia ini lebih
ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim.” (HR An Nasai, At-Tirmidzi
dan Al-Baihaqi).
Adapun solusi Islam dalam mengatasi
masalah wabah adalah dengan melakukan isolasi/karantina wilayah.
Rasul saw. bersabda,
“Jika kalian mendengar wabah di
suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Jika terjadi wabah di
tempat kalian berada, janganlah kalian keluar dari wilayah itu.” (HR
al-Bukhari)
Tindakan isolasi/karantina atas
wilayah yang terkena wabah tentu dimaksudkan agar wabah tidak meluas ke daerah
lain. Realitasnya, karena isolasi atau karantina tidak dilakukan dengan cepat,
maka hari ini virus sudah menyebar ke penjuru
negeri. Padahal ketika negara melakukan isolasi maka dapat melihat
pergerakan virus di setiap daerah. Inilah fungsi dari penetapan zona. Agar bisa
ditentukan penanganan yang tepat. Mana yang harus isolasi, dan mana yang tidak
harus isolasi.
Selain itu, penguasa juga wajib
untuk menyuplai berbagai kebutuhan untuk daerah yang diisolasi. Tindakan cepat isolasi/karantina cukup
dilakukan di daerah terjangkit saja. Daerah lain yang tidak terjangkit bisa
tetap berjalan normal dan tetap produktif. Daerah-daerah produktif itu bisa
menopang daerah yang terjangkit baik dalam pemenuhan kebutuhan maupun
penanggulangan wabah. Dengan begitu perekonomian secara keseluruhan tidak terganggu.
Dalam Islam, tes akan dilakukan
dengan akurat secara cepat, masif, dan luas. Tidak ada biaya sedikit pun. Lalu
dilakukan tracing kontak orang yang positif dan dilakukan penanganan lebih
lanjut. Yang positif dirawat secara gratis ditanggung negara. Termasuk
kebutuhan diri dan keluarganya selama masa perawatan pun menjadi tanggung jawab
negara. Di mana negara mendapatkan pemasukan dari semua pendapatan SDA yang
melimpah dan bisa juga dari aset-aset negara lainnya, tanpa bergantung pajak
dan utang luar negeri.
Dengan langkah itu bisa dipisahkan
antara orang yang sakit dan yang sehat. Mereka yang sehat tetap bisa
menjalankan aktivitas kesehariannya. Tanpa dibayang-bayangi virus corona.
Aktivitas ekonomi pun tetap produktif sekalipun menurun.
Mari kembali kepada syariah secara Kaffah, agar dampak pandemi
Covid-19 tidak semakin parah. Dunia pun bisa bernafas lega sebagaimana sebelum
adanya virus. Wallahualam.