Meneladani Spirit Nabi Ibrahim di Tengah Pandemi




Oleh : Ummu Hanif 
(Pemerhati Sosial dan Keluarga)

             Idul adha adalam moment besar bagi kaum muslimin. Dalam waktu yang bersamaan, kaum muslimin melaksanakan tiga ibadah secara bersamaan, yaitu ibadah haji, shalat idul adha, serta ibadah qurban. Ibadah ini mengingatkan kita kepada Nabiyullah Ibrahim AS. Terdapat banyak pelajaran yang dapat kita ambil  dari kisah perjuangan Nabi Ibrahim AS dalam bentuk ujian dan perjuangan dalam menghadapi kaumnya yang dhalim serta dalam mengawali ibadah qurban. Spirit inilah yang perlu kita pupuk untuk menghadapi badai pandemi seperti saat ini.

Keyakinan kepada Allah SWT tidak membuatnya ragu dalam berdakwah walaupun menghadapi tantangan  besar. Dakwah yang dijalankan Nabi Ibrahim AS, perlu didukung dengan pengetahun dan kemampuan untuk menjelaskan kebenaran atau kemampuan untuk beragumentasi. Selain itu, kita tidak boleh membenarkan sesuatu yang telah biasa kalau memang kebiasaan itu merupakan suatu yang keliru, tetapi sebaiknya kita harus membiasakan sesuatu yang benar. Sama dengan masa saat ini. Banyaknya kabar hoax yang beredar, ditambah dengan kurangnya daya literasi masyarakat, membuat banyak sekali pendapat seputar covid 19. Pro dan kontra terjadi, bahkan tidak sedikit kita dapati mengarah kepada tindakan anarki. Sebut saja kasus ambulance yang beberapa waktu lalu dilempari batu karena termakan kabar, bahwa ambulance lewat hanya untuk membuat kepanikan. Sementara di dalam ambulance nyata ada pasien yang sedang gawat.

Pada kisah nabi Ibrahim-Ismail mengandung makna dan pembelajaran bagi kita diantaranya bahwa keimanan kepada Allah SWT telah membuat mereka tidak ragu untuk melakukan apapun, termasuk melakukan tindakan yang menurut menurut pikiran orang biasa tidak masuk akal. Kesabaran dalam menghadapi ujian Allah SWT membuat merasa nyaman dan tidak berkeluh kesah dalam menjalaninya. Kecintaan dan kepasrahan terhadap Allah SWT mengalahkan kecintaan kepada siapa dan apapun yang ada dalam dunia ini. Kisah ini menjadi proses dialogis antara seorang bapak dan anak yang sangat bernilai pendidikan.

Hal ini bisa kita aplikasikan dalam kehidupan kita saat ini. Berdasarkan data 24 Juli 2020, penyerbaran Covid-19 saat ini sudah menimpa 215 Negara di dunia dengan jumlah kasus yang terkena sebanyak 15.651.601 orang, yang meninggal tercatat sebanyak 634.464 orang dan yang sembuh sebanyak 953.28 orang. Musibah ini telah memberikan dampak terhadap kehidupan pada bidang kesehatan, ekonomi, pendidikan, pariwisata, maupun berbagai bidang kehidupan lainya. Rasa ketakutan, putus asa, kejenuhan, serta tersiksa masih dirasakan sebagaian orang dalam kehidupan kita. Sebagai umat muslim  semoga kita bisa belajar dari pengalaman Nabi Ibrahim AS dalam setiap ujian, sehingga kita bisa siap menghadapi dan menyikapi pandemik Covid-19  dengan tepat dan wajar sesuai dengan ketentuan agama Islam.

Maka sangat penting mengambil makna dan hikmah dari berbagai kejadian saat ini. Kita bisa mengembangkan sikap hidup dan perilaku yang tepat, sehat dan proporsional dalam menghadapi pandemic Covid-19. Insyalloh kita akan hidup tenang dan tidak khawatir secara berlebihan karena umur itu sudah ada jatahnya masing-masing karena kematian itu sesuatu yang pasti terjadi bagi setiap yang bernyawa. Kita tidak boleh takabur dan menantang bahaya dengan hidup ceroboh karena semua amal kita akan kembali ke kita.  Kita wajib berikhtiar secara maksimal untuk menjemput qada dan qadar yang baik dari Allah SWT.
Wallahu a’lam bi ash showab.
[26/7 10:34] Bu Hanif Br: Persoalan Anak Kian Bertambah, Peringatan Hari Anak Nasional Unfaedah
Oleh : Ummu Hanif, Pengamat sosial Dan Keluarga

Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1984 tanggal 19 Juli 1984, Hari Anak Nasional diperingati setiap tanggal 23 Juli. Usul untuk menetapkan Hari Anak Nasional bermula usai disahkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak disahkan pada 23 Juli 1979. Pada 1984, Presiden Soeharto menggagas Hari Anak Nasional untuk ditetapkan sebagai salah satu hari penting. Saat itu, Soeharto menilai anak-anak merupakan aset kemajuan bangsa sehingga perlu diberi peringatan. Sejak saat itu perayaan anak-anak terus digelar untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang ramah anak.

Peringatan Hari Anak Nasional dimaknai sebagai tanda kepedulian seluruh bangsa terhadap optimalnya tumbuh kembang anak. Pemerintah juga membuat program untuk mendorong keluarga menjadi lembaga pertama dan utama dalam melindungi anak sehingga dapat melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya sehat tetapi juga cerdas dan berakhlak mulia.

Sementara itu untuk tahun ini, karena masih dalam situasi pandemi, peringatan Hari Anak Nasional (HAN) diselenggarakan melalui online. Seperti yang dilansir dalam laman www.detiknews.com, 23 juli 2021 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pesan di Hari Anak Nasional 2021 melalui media sosial Twitter dan Instagram pribadinya. Jokowi mengunggah ilustrasi anak-anak yang sedang berkegiatan di dalam rumah dengan tulisan 'Selamat Hari Anak Nasional. Presiden Joko Widodo'. Jokowi menyampaikan anak-anak bisa berkontribusi untuk menerapkan protokol kesehatan. Dia juga meminta anak-anak di Indonesia tetap semangat.

Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati, menyatakan peringatan HAN merupakan momentum penting untuk menggugah kepedulian dan partisipasi seluruh komponen bangsa Indonesia dalam menjamin pemenuhan hak anak atas hak hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Tema utama HAN 2021 ini adalah “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Tema ini ditetapkan karena selama pandemi Covid-19 di Indonesia, anak-anak termasuk kelompok yang sangat terdampak. Mereka mengalami berbagai persoalan, mulai dari pengasuhan bagi anak yang orang tuanya positif Covid-19, kurangnya kesempatan bermain dan belajar, serta meningkatnya kasus kekerasan selama pandemi sebagai akibat diterapkannya kebijakan jaga jarak maupun belajar dan bekerja di rumah.

Tantangan lain yang juga sedang dihadapi anak Indonesia saat ini adalah pandemi Covid-19 serta implikasinya terhadap kesehatan, pendidikan, perlindungan anak, serta berbagai dampak lainnya.
Menteri PPPA menyatakan bahwa peringatan HAN merupakan momentum penting untuk menggugah kepedulian dan partisipasi seluruh komponen bangsa Indonesia dalam menjamin pemenuhan hak anak atas hak hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi..

Meski peringatan HAN setiap tahun digelar, faktanya, hingga saat ini masih banyak persoalan yang dialami anak-anak. Persoalan yang kini menjadi perhatian adalah terkait kesehatan anak di tengah pandemi Covid-19. Ada sekitar 12,5% dari anak-anak terpapar Covid-19. Data IDAI juga menunjukkan tingkat kematian mencapai 3—5% dan menjadi tingkat kematian tertinggi di dunia. Suasana pandemi dan pembatasan fisik juga memicu buruknya kesehatan mental pada anak, seperti tingginya tingkat kecemasan yang bisa berpengaruh negatif bagi tumbuh kembang mereka. (www,kompas.com, 23/7/2021).

Selain soal kesehatan terhadap anak, problem lainnya yang tak kalah serius adalah kekerasan seksual maupun fisik pada anak-anak yang meningkat saat pandemi. Data yang dihimpun dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) dari 1 Januari—23 September 2020 menunjukkan bahwa kasus Kekerasan terhadap Anak (KtA) di Indonesia sebanyak 5.697 kasus dengan 6.315 korban. Sementara periode Januari—3 Juni 2021 terdapat 3.122 kasus KtA, yang mana kekerasan seksual masih mendominasi. Persoalan lain adalah masih adanya pekerja anak yang diperkirakan mencapai sekitar 6% dari estimasi jumlah anak usia 10—17 tahun dan meningkatnya perkawinan anak. (www.kompas.com, 22/7/2021)

Tentu ada banyak faktor yang menjadi penyebab anak Indonesia belum terlindungi. Pada masa pandemi, abainya rakyat terhadap protokol kesehatan jelas berdampak pada penularan terhadap anak. Keterbatasan layanan kesehatan juga berpengaruh terhadap tingginya angka kematian pada anak. Di sisi lain, situasi pandemi—dengan segala konsekuensinya, termasuk pembelajaran jarak jauh—memberikan tekanan terhadap mental anak.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa mayoritas tindak KTA terjadi pada keluarga dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah. Hal ini terjadi karena tekanan sosial ekonomi seperti terlilit utang, rendahnya kemampuan ekonomi, dan faktor lain yang menjadi penyebab tingginya tingkat stres pada orang tua. Sementara, putus sekolah terjadi di antaranya karena menikah, menunggak SPP, bekerja, atau kecanduan game online. Hal ini bisa dipahami karena pandemi memberikan dampak meningkatnya angka kemiskinan. Kemiskinan memang menjadi sebab mendasar berbagai persoalan. Inilah sekelumit raport merah perlindungan anak di negeri ini dengan atau tanpa pandemi. Berbeda dengan islam, Islam mewajibkan negara untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya termasuk anak, sehingga anak dapat hidup aman, dan tumbuh kembang sempurna. Wallahu a’lam bi ash showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak