MEMIMPIKAN KEADILAN HUKUM DARI HUKUM MANUSIA




 Oleh: Ummu Ikhsan


Lebih dari 16.600 orang ramai-ramai menandatangani petisi menolak putusan Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas kasus Jaksa Pinangki. Petisi itu mereka sampaikan melalui situs kampanye perubahan, change.org.Mereka rupanya kecewa. Karena, alih-alih memberi hukuman berat, Majelis Hakim di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta malah memberi diskon kurungan bagi seorang penegak hukum yang telah terbukti berbuat jahat dengan alasan yang mengada-ada.

Sebagaimana diketahui, pada 8/2/2021 lalu Pengadilan Tipikor telah memvonis Jaksa Pinangki dengan hukuman 10 tahun penjara. Vonis ini dijatuhkan lantaran ia terbukti melakukan beberapa kejahatan dalam penanganan kasus buronan korupsi perbankan, Joe Chan alias Djoko Soegiarto Candra (Djoker).Selain menerima gratifikasi sebesar 500.000 USD, ia pun terbukti telah melakukan pencucian uang dan pemufakatan jahat. Dialah yang menyiapkan action plan untuk memberikan uang 10 juta USD kepada pejabat Kejagung dan MA, demi mendapatkan fatwa pembebasan Djoker.

Namun ironisnya, pada pengadilan banding tertanggal 14 Juni 2021, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru memangkas hukuman Pinangki menjadi empat tahun saja. Padahal, saat ia diganjar hukuman 10 tahun penjara, ICW melihat putusan itu tak akan memberi efek jera. Menurut ICW Pinangki justru pantas diganjar dengan hukuman penjara 20 tahun, bahkan seumur hidup!

Ada beberapa alasan mengapa majelis hakim memangkas hukuman tersebut. Pertama, karena Pinangki telah mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya. Kedua, karena ia siap menerima dengan ikhlas pemecatan dirinya sebagai jaksa.Berikutnya, hakim mempertimbangkan posisinya sebagai ibu dari seorang anak berumur empat tahun yang masih butuh pengasuhan. Juga posisinya sebagai  wanita yang butuh mendapat perhatian dan perlindungan, serta perbuatannya yang dipandang tak lepas dari keterlibatan pihak lain.

Tak  hanya ICW yang berang melihat kejanggalan ini. Beberapa pakar hukum pun melihat semua alasan hakim sangat tak masuk akal dan mencederai rasa keadilan masyarakat.Mereka membandingkan apa yang terjadi antara Pinangki dengan kasus lainnya. Seperti kasus Angelia Sondakh dan Baiq Nuril yang justru tetap dihukum berat meski mereka seorang ibu dan perempuan. Ada pula kasus perempuan-perempuan lainnya yang tetap  mendekam di penjara berlama-lama, sambil menyusui dan mengasuh anaknya.Terlebih posisi Pinangki adalah seorang jaksa yang semestinya memberi keteladanan dalam penegakan hukum. Ia malah mencoreng institusinya dengan  tindak kejahatan luar biasa.palagi dalam persidangan terbukti bahwa kejahatan seperti ini bukan kali pertama ia lakukan. Ia ternyata sering berperan sebagai makelar kasus yang melibatkan Kejagung dan MA. Di antaranya kasus Gubernur Riau yang diketahui hukumannya juga mendapat korting.

Wajar jika berbagai pihak bertanya-tanya, siapa di belakang Pinangki hingga ia memperoleh privilese luar biasa. Tak hanya soal hukumannya, tapi jalur aksesnya hingga bisa tembus pada lembaga tinggi negara, dan bermain dengan kasus-kasus kelas kakap yang tak mampu ditangani oleh negara.

 Kasus Pinangki hanya satu dari sekian banyak kasus yang menunjukkan buruknya penegakan hukum di Indonesia. Pinangki tak mungkin bekerja sendiri, sehingga kasusnya mencerminkan gambaran kuatnya mafia peradilan dan parahnya budaya korupsi, termasuk gratifikasi, dalam tubuh lembaga penegak hukum di negeri ini.Wajar jika dari tahun ke tahun kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara tidak berkurang. Pada Januari 2021,  Transparency International Indonesia (TII) misalnya, mengungkapkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020 berada di skor 37.Angka ini turun sebanyak tiga poin dari tahun sebelumnya. Dari sisi peringkat IPK, Indonesia berada di peringkat 102 dari 180 negara yang dilibatkan. Sementara di level ASEAN, Indonesia ada di peringkat 5. Artinya Indonesia termasuk dalam katagori negara yang korupsinya sangat parah.

Yang menyedihkan, perang negara terhadap korupsi tampak hanya lips service saja. Berbagai kebijakan pembangunan dan sistem birokrasi yang diterapkan justru membuka lebar celah penyelewengan. Sementara semua lembaga penegak dan perangkat hukumnya tampak mandul tak berdaya.Kita lihat, undang-undang yang diterapkan banyak berisi pasal karet yang sulit menjerat pelaku kejahatan. Perangkat hukum pun banyak yang turut bermain curang. Sementara lembaga pemberantasan korupsi makin tak punya gigi, dan malah sibuk menjadi alat menyerang lawan dengan tes kebangsaan.Begitu pun dengan sistem peradilan bertingkat yang diterapkan. Alih-alih bisa memberi rasa keadilan sempurna bagi semua pihak, sistem ini malah memberi ruang bagi pelaku kejahatan mendapatkan celah kebebasan.Tak heran jika ICW pernah melaporkan juga, bahwa tren pemantauan persidangan yang dilakukannya menunjukkan rata-rata hukuman koruptor sepanjang tahun 2020 hanya 3 tahun 1 bulan penjara saja. Bagaimana bisa jera?

Alhasil , melihat tren kejahatan, perkembangan modus, dan penanganannya, wajar jika masyarakat kian pesimis negeri ini mampu menumpas korupsi hingga ke akar. Bahkan bukan hanya korupsi, semua  bentuk kejahatan yang terjadi tampaknya tak mungkin bisa diselesaikan dengan sistem hukum yang diterapkan.Adapun problemnya memang sangat mendasar. Berawal dari paradigma yang digunakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan ujungnya memengaruhi suprasistem yang diterapkan sebagai aturan dalam menyelesaikan seluruh problem kehidupan. Termasuk di antaranya sistem hukum dan sanksi.

Dalam paradigma sekuler kapitalistik demokrasi yang diadopsi negara hari ini, sistem hukum dan sanksi termasuk dalam salah satu wewenang kelembagaan dari tiga lembaga kekuasaan yang ada. Yakni kekuasaan yudikatif yang menyertai kekuasaan eksekutif dan legislatif.Fungsinya adalah memastikan seluruh undang-undang yang ditetapkan lembaga kekuasaan legislatif bersama eksekutif, serta kebijakan implementatif yang dilakukan oleh eksekutif, bisa berjalan sebagaimana mestinya.Dengan cara ini diharapkan bisa mencegah penyelewengan dan absolutisme karena adanya pengawasan oleh legislatif dan penegakan hukum oleh lembaga yudikatif.

Masalahnya , teori yang manis itu mustahil mewujud dalam kenyataan. Karena dalam sistem demokrasi, semua aturan berujung pada manusia yang membuatnya. Hingga dalam sistem demokrasi, lazim terjadi perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha yang melahirkan aturan yang pro kepentingan mereka.

Maka, bagaimana bisa dengan paradigma  yang begitu mengagungkan buah pikir manusia ini akan lahir aturan yang nirkepentingan dan bisa memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak?Yang ada, hukum justru menjadi alat kepentingan segelintir orang. Sekaligus menjadi senjata untuk menelikung lawan politik sebagaimana yang kerap terjadi di dunia nyata. Walhasil terciptanya keadilan  di sistem rusak ini hanya sekadar jadi impian.

Satu satunya yang layak menjadi tumpuan harapan umat hanyalah sistem hukum yang berasal dari Zat Pencipta Alam Semesta, Manusia, dan Kehidupan. Itulah sistem hukum Islam.Sistem ini lahir dari keyakinan yang lurus bahwa tugas manusia di dunia hanyalah beribadah kepada Allah dan untuk memakmurkan bumi. Dan misi ini hanya bisa disempurnakan dengan menerapkan risalah Islam yang sudah Allah turunkan secara kafah.

Risalah Islam adalah risalah yang sempurna. Tak hanya mengatur urusan peribadatan tapi mengatur seluruh aspek kehidupan. Mulai dari urusan manusia dengan Tuhannya, urusan manusia dengan dirinya, dan urusan manusia dengan sesamanya.Semua aturan ini bukan hanya berisi konsep-konsep saja, tapi mengatur tata cara penegakannya. Yakni melalui keberadaan negara dan penerapan sistem sanksi yang sangat tegas yang juga ditegakkan oleh negara.Penerapan seluruh aturan Islam oleh negara inilah yang dipastikan akan menjadi penjagaan berlapis untuk meminimalkan penyimpangan dalam bentuk apa pun.sistem ekonominya akan menjamin kesejahteraan. Sistem politiknya menjamin keadilan dan kedaulatan. Sistem sosialnya, termasuk sistem pendidikan dan penyiaran, akan menjamin kebersihan dan lurusnya budaya dan gaya hidup masyarakat.

Semua ini diperkuat dengan penerapan sistem hukum Islam yang menjamin tegaknya seluruh aturan. Karena dalam Islam, setiap penyimpangan terhadap syariat—sekecil apa pun—dipandang sebagai jarimah (kejahatan) yang akan dicegah sejak dini dengan sanksi yang tegas dan menjerakan. Bahkan menjadi tebusan dosa di akhirat.

Maka untuk menyelesaikan kasus korupsi misalnya, Islam tak hanya mengandalkan pada sistem hukum saja. Karena faktanya, banyak faktor yang menjadi sebab hal ini marak terjadi. Mulai dari faktor politik, faktor ekonomi, faktor pergaulan dan gaya hidup, faktor lemahnya sistem birokrasi, serta lemahnya sistem hukum yang diterapkan di negeri ini.

Sehingga, berharap korupsi tuntas dengan tetap loyal pada sistem sekuler neolib kapitalis demokrasi, ibarat ingin menegakkan benang basah. Mustahil. Justru satu-satunya cara untuk mewujudkannya adalah dengan menerapkan seluruh aturan Islam di atas landasan iman dalam sistem politik yang bersesuaian.

Dan sistem ini hanya akan tegak di atas tiga pilar yang harus diwujudkan. Yakni individu-individu yang bertakwa, masyarakat yang kuat mengamalkan amar makruf nahi mungkar, serta negara yang siap menegakkan seluruh aturan Islam. Negara seperti ini, tentu bukan negara sekuler demokrasi kapitalis neoliberal. Melainkan sistem Khilafah Islamiah.

Allah Swt. berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allâh dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allâh membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS Al-Anfâl [8]:24)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak