Oleh : Eri
Perlu atau tidaknya pendidikan seks, kembali menjadi pembahasan hangat. Setelah sikap publik figur yang memberikan izin kepada anak-anaknya untuk menonton film dewasa bahkan turut mendampingi. Hal tersebut menuai pro-kontra di masyarakat.
Alasannya, untuk memberikan edukasi seks dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Namun, psikolog keluarga dari Universitas Indonesia, Kasandra Putranto, tidak sependapat dengan hal itu. 'Kasandra tidak merekomendasikan orang tua untuk mengizinkan anak-anak menyaksikan konten pornografi. Karena, menyaksikan adegan vulgar akan menumbuhkan sifat adiktif atau kecanduan dan memunculkan rasa ingin tahu untuk mencoba'. (republika.co.id 27/6/21)
Dewasa ini, seks bukan lagi topik yang tabu dibicarakan. Pendidikan seks menjadi urgensi di era digital. Mengingat banyak konten negatif yang bertebaran di media sosial. Maka, tidak heran sebagian orang tua menganggap pentingnya melakukan pendidikan seks untuk meminimalisir seks bebas di kalangan remaja. Sehingga, cara mendidik publik figur tersebut dianggap mewakili orang tua yang progresif. Dengan mengajarkan keterbukaan komunikasi, kepercayaan dan dukungan positif kepada anak agar bisa mengarahkan orientasi seksual anak dengan 'benar'.
Pendidikan seks yang komprehensif bisa dimulai sejak dini. Mengajarkan anak-anak untuk memahami fakta-fakta dasar tubuh mereka, memberikan batasan mana yang tidak boleh dilihat atau dipegang orang lain. Mengenali perilaku tidak pantas atau mengindentifikasi pelecehan.
Jika menelisik lebih jauh, pendidikan seks sejatinya program global yang dikampanyekan kepada negeri-negeri muslim untuk diterapkan. Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menyarankan setiap negara di dunia untuk menerapkan pendidikan seksual yang komprehensif, termasuk Indonesia. Rekomendasi ini berdasarkan pada kajian terbaru dari Global Education Monitoring (GEM) Report, UNESCO.
GEM Report menyebut, pendidikan dapat membantu melindungi diri dari kehamilan yang tidak diinginkan, HIV, dan infeksi menular seksual lainnya, mempromosikan nilai-nilai toleransi, saling menghormati, dan tanpa kekerasan dalam hubungan. (cnnindonesia.com 14/6/21)
Program pendidikan seks ala Barat wujud perlindungan terhadap anak dan remaja dari pengetahuan seks yang menyesatkan. Bahkan, Barat sudah mengadopsi program ini secara sempurna. Negara-negara Eropa sudah menerapkan di sekolah dalam kurikulum pendidikan seks, dengan metode simulasi dan bermain peran. Selain itu, negara juga mengesahkan undang-undang untuk melindungi dari kekerasan seksual dan diskriminasi.
Namun, Hungaria memilih berbeda arah, dengan mengesahkan RUU yang terkait larangan seluruh materi dan program pendidikan anak-anak yang dianggap mempromosikan nilai L68TQ+ dan konsep seksualitas menyimpang. Jelas, tindakan ini mendapat kritikan keras dan kecaman dari Uni Eropa yang diwakili oleh Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen. Nampaknya, Barat sedang mengajarkan kepada dunia bahwa aktivitas seksual tersebut tidak tabu dan terus dikampanyekan melalui kurikulum. Selain itu, mereka turut menciptakan lingkungan yang kondusif, baik dalam dunia pendidikan maupun masyarakat secara umum.
Maraknya anggapan pendidikan seks sangat dibutuhkan, tidak terlepas dari keberhasilan kampanye Barat yang terus digencarkan kepada negeri-negeri Islam. Maka, tindakan publik figur relevan dengan pola asuh yang mengadopsi nilai kebebasan ala Barat. Dampak ini terjadi akibat kehidupan sekuler yang menjauhkan agama sebagai standar aturan. Generasi semakin terbawa arus budaya liberal yang menyesatkan.
Pendidikan, sejatinya hak setiap anak. Maka, wajib orang tua memberikan hak anak sesuai tuntutan syariat termasuk pendidikan. Tetapi, pola pendidikan Islam berbeda jauh dengan Barat. Akidah menjadi pelajaran pertama yang diterima anak-anak. Menjadikan Islam sebagai identitas setiap generasi Muslim. Lalu, pelajaran fiqih pergaulan dalam Islam dan hukum Syara' serta ilmu lainnya, akan diberikan sesuai perkembangan usia anak.
Salah kaprah, bila menjadikan pendidikan seks ala Barat sebagai pencegahan kejahatan seksual. Faktanya, kejahatan seksual semakin meningkat setiap tahun. Justru, pornografi faktor utama yang mendorong kejahatan seksual terjadi. Inilah konsep pemikiran Barat dalam menyelesaikan masalah tidak tuntas sampai akarnya. Masalah terus muncul akibat salah dalam memahami konsep naluri yang dimiliki manusia.
Islam jelas mengatur manusia untuk memenuhi setiap kebutuhan jasmani dan naluri sesuai tuntunan syari'at. Pernikahan solusi tepat untuk memenuhi naluri nau' dan menjauhkan manusia dari perbuatan keji, yaitu zina. Menutup peluang terjadinya kejahatan dengan memisahkan pergaulan laki-laki dengan perempuan. Negara wajib melindungi umat dari bahaya dan memberikan sanksi tegas bagi yang melanggar syari'atnya. Allah subhanallahu wa ta'ala berfirman :
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap satu dari keduanya dengan seratus kali dera. Dan janganlah kamu belas kasihan kepada keduanya di dalam menjalankan (ketentuan) agama Allah yaitu jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah (dalam melaksanakan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur: 2)
Sudah seharusnya, Muslim menerapkan aturan Islam dalam kehidupan. Tidak layak negeri-negeri Muslim mengadopsi cara pandang Barat bahkan aturannya yang jelas bertentangan dengan Islam. Perlindungan terhadap generasi akan terwujud bila menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah.
Waallahu a'lam bis shawwab.
*(Pemerhati Masyarakat)
Tags
Opini