Ketidakadilan di Tengah Hantaman Tsunami Covid-19




Oleh : Sera alfi Hayunda
(Aktifis Muslimah Millenial Ponorogo)

Indonesia kembali di timpa tsunami Covid-19. Tapi kali ini meningkatnya berpuluh-puluh kali. Di mana-mana rumah sakit penuh, nakes kelelahan dan kabarnya insentif bulanan tak kunjung datang. 

Imbas tsunami Covid-19 kali ini tidak main-main. Selain banyaknya jumlah kasus perhari, juga meningkat pula umlah kematian per hari akibat Covid-19 ini. Tentunya hal ini membuat pemerintah bergerak. Salah satu wujud gerak pemerintah akibat tsunamu Covid-19 ini adalah dengan menetapkan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) mulai 3 Juli hinggal 20 Juli mendatang. (Tribun.news, Senin 12 Juli 2021) 

Yang karena ketetapan inilah beberapa sarana publik dan sektor pekerjaan termasuk aktifitas di tempat-tempat ibadah dibatasi. Bahkan Kemenag telah memutuskan untuk meniadakan pelaksanaan sholat Idul Adha 1442 H baik di masjid maupun di lapangan terbuka di zona penetapan PPKM darurat. Alasan peniadaan sholat Idul Adha itu untuk menghindari kerumunan masyarakat yang bisa berpotensi menyebarkan virus Covid-19. (CNN, jum’at 2 Juli 2021) 

Tapi berbeda dengan masalah proyek kontruksi. Sebab Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan tetap mengijinkan proyek konstruksi berjalan 100% dengan catatan semua kegiatan dilakukan dengan memperhatikan prokes. (Sindo.news, Selasa 29 Juni 2021) 

Fakta inipun menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat, terutama umat Islam. Bahkan beberapa kalangan dan juga ulama ada yang menolak keputusan Kemenag yang meniadakan sholat Idul Adha tersebut. Keputusan tersebut menurut sebagian kalangan umat Islam dinilai tidak adil. Jika kegiatan yang lain tetap bisa dilakukan asalkan dengan prokes, seharusnya pada kegiatan-kegiatan ibadah pun bisa dilakukan dengan ketentuan yang sama yakni dengan pelaksanaan prokes. Apalagi ibadah seperti sholat Idul Adha, maupun haji yang tahun ini juga ditiadakan merupakan syiar-syiar Islam yang seharusnya tetap ada. 

Memang sejak awal penanganan pandemi, kebijakan penguasa di negeri ini banyak menampakkan ketidakadilan. Pada saat di tengah masyarakat ada pembatasan, pemerintah justru membuka gerbang pintu masuk dari luar negeri, sehingga banyak WNA yang leluasa masuk. Dengan alasan pembatasan tersebut penguasa tak segan untuk menjatuhkan sanksi kepada masyarakat yang melanggar ketentuan. 

Sementara dengan masuknya WNA ke dalam negeri, masyarakat harus terpapar varian baru Covid 19 yang dibawa oleh WNA dan menimbulkan gelombang pandemi baru yang semakin parah. Penutupan atau pembatasan tempat-tempat umum pun tampak pilih-pilih. Masjid dan tempat ibadah diinstruksikan untuk tutup sementara mall, tempat wisata, tempat hiburan masih bisa beroperasi.

Inilah karakter asli penguasa yang kapitalistik. Dalam membuat kebijakan keuntungan materilah yang menjadi pertimbangan utama. Termasuk dalam penangan pandemi saat ini. Terbukti bukan keselamatan rakyat yang menjadi prioritas utama, penguasa tetap hitung-hitungan keuntungan dalam pengambilan kebijakan. Akibatnya, kebijakan apapun yang dibuat tidak bisa menyelesaikan masalah tetapi melahirkan banyak masalah baru. 

Selama kapitalisme yang menjadi dasar penguasa dalam mengatur urusan rakyat, maka ketidakadilan atau kedzoliman akan terus terjadi. Jadi, jika masyarakat dan umat Islam ingin agar pandemi ini bisa segera selesai dan bisa menjalankan ibadah kembali secara normal, maka tidak ada pilihan lain harus kembali pada aturan-aturan yang haq yakni aturan yang berasal dari Pencipta alam dan seisinya. Itulah syariat Islam yang dijalankan oleh penguasa bertaqwa, amanah dan bertanggungjawab. 

Penguasa di dalam Islam adalah ra'in atau pengatur urusan rakyat. Penguasalah yang paling bertanggungjawab dalam seluruh urusan rakyat. Semua pelaksanaan pengaturan tersebut semata-mata didasarkan pada keimanan kepada Sang Pencipta yakni Allah SWT. Karena aqidah Islam mengajarkan bahwa kepemimpinan yang telah dijalankan kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di yaumil hisab. Sehingga seorang penguasa muslim tidak boleh sewenang-wenang dalam mengatur urusan rakyat. Segala peraturan dan kebijakan yang dibuat harus distandarkan dengan ketentuan yang telah ada di dalam alquran dan as-sunnah.

Begitu pula dalam penanganan pandemi, Islam telah memberikan tuntunan yang jelas. Dalam Islam ditegaskan bahwa nyawa seorang manusia apalagi nyawa seorang muslim sangat tinggi kedudukannya di sisi Allah. Sehingga ketika terjadi pandemi, Islam memerintahkan agar keselamatan manusia yang harus diprioritaskan. Hal itu telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan juga para khalifah setelah beliau. Pertama kali yang harus dilakukan adalah melakukan karantina/lockdown terhadap wilayah yang sedang terjadi wabah. Tujuannya agar wabah tidak tersebar semakin luas. Ketika dilakukan lockdown tersebut tidak dibolehkan ada masyarakat yang keluar atau masuk ke wilayah tersebut. Rakyat yang terpapar penyakit akan segera dipisahkan dari yang sehat, kemudian diobati dengan fasilitas kesehatan yang terbaik dan gratis. Penguasa akan menjamin semua kebutuhan rakyat yang sedang dikarantina secara penuh, tanpa mempertimbangkan lagi untung rugi secara ekonomi. Masyarakat yang tinggal di wilayah yang tidak terkena wabah tetap bisa menjalankan aktifitasnya termasuk ibadah secara normal. 

Begitulah gambaran singkat bagaimana Islam menyelesaikan masalah pandemi tanpa menimbulkan masalah yang baru. Sudah saatnya para penguasa saat ini mau mendengarkan masukan dan saran dari para ahli dan rakyat untuk mengambil kebijakan yang tepat, adil dan efektif yakni lockdown sesuai dengan yang dicontohkan dalam Islam. Meski sudah terlambat, namun dengan seizin Allah, pandemi akan segera berakhir dengan menerapkan aturan-aturanNya. Wallahu a'lam bish-showwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak