Oleh: Dian Mayasari
Pemerintah Arab Saudi menggelar ibadah haji 2021 hanya 60 ribu orang, dan hanya untuk warga domestik yakni penduduk lokal dan ekspantrian yang telah berada di negara tersebut. Raja Salman kembali menutup akses haji bagi jamaah Internasional untuk tahun yang kedua kalinya sejak 2020 secara global karena virus corona, (CNNIndonesia.com. 13/06/2021).
Jumlah jemaah haji sebelum pademi mencapai kuota 2,5 juta orang. Karena momentum ini adalah momentum yang sangat sakral bagi umat muslim di dunia. Dalam kitab al Mausu’ah Al Fiqhiyah : “Haji termasuk ibadah syiar-syiar Allah (Sya’airallah) yaitu ibadah sebagai tanda eksistensi agama Islam dalam rangka ketaatan kepada Allah SWT. Selain haji yang termasuk Sya’airallah seperti, Sholat berjamaah, Adzan, Iqomat, Sholat Idul Fitri, Sholat Idul Adha, Sholat Jum’at dan dalam kitab tersebut dijelaskan wajib hukumnya atas kaum muslim untuk menegakkan syiar-syiar Islam yang bersifat dzahir, dan juga wajib menampakkannya (ditengah masyarakat) baik syiar itu sendiri hukumnya wajib maupun yang hukumnya sunah.
Kewajiban menampakkan syiar Islam tersebut dalam firman Allah SWT: “Barang siapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya timbul dari ketakwaan hati” ( TQS. Al Hajj (22) : 32 )
Oleh karena itu, agar syariat ini dapat terlaksana sebagaimana mestinya, Islam menetapkan Imam/khalifah untuk mengurus pelaksanaan ibadah haji dan keperluan jemaah haji. Sebab, Imam/khalifah adalah Ra’in atau Pengurus rakyat. Sabda Nabi Saw: Imam (Khalifah) adalah pengurus Rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus. (HR. Al Bukhari)
Pemahaman ini sudah maklumun atau dipahami secara luas bahwa pemimpin-pemimpin islam terdahulu, jika dilihat dari catatan sejarah. Bahwa, mereka (rakyat) dilayani sebagai tamu-tamu Allah. Dan pelayanan ini dilakukan tanpa ada unsur bisnis, investasi, atau mengambil keuntungan dari pelaksanaan ibadah haji. Karena semua merupakan kewajiban.
Dan bisa dilihat bagaimana para khalifah sejak masa Khulafaur Rashidin sangat memperhatikan urusan penyelenggaraan ibadah haji dengan sebak-baiknya. Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Bani Umayah beliau mengangkat para pekerja yang ditunjuk untuk bekerja di Mesjid dan melayani para peziarah.
Khalifah Abu Ja’far Al Mansur dari Bani Abasyiah beliau memperluar Masjidil Haram, dan mengganti ubin lantai dengan marmer. Membangun dinding disekitar sumur zamzam untuk melindungi orang supaya tidak jatuh. Serta menambahkan beberapa fasilitas lain di mesjid. Khalifah Al Mahdi membuat deretan tiang-tiang yang mengelilingi Ka’bah kemudian ditutup dengan atap. Kawasan antara Ka’bah dengan Masy’a yakni tempat penziarah melakukan sai dihubungkan dan dibangun pula beberapa negara dan disekeliling Ka’bah dipasangkan pilar-pilar kecil untuk lampu penerangan.
Khalifah Abdul Hamid II dari bani Utsmaniyah adalah seorang pelayan terbaik. Beliau marah besar karena rakyat Aceh mengadu tidak bisa melakukan ibadah Haji karena dihalangi oleh penjajah Belanda. Sehingga mereka tidak bisa pergi untuk melaksanakan ibadah haji. Meski kaum muslim yang ada di wilayah Aceh jauh dari ibu kota Khilafah dan daulah Khilafah Islamiyah dalam kondisi kritis tidak lantas membuat Sultan Abdul Hamid II menyerah begitu saja. Beliau tetap melindungi kaum muslim. Inilah karakter pemimpin dalam Islam yang sangat begitu memperhatikan agar ibadah kaum muslim dapat terlaksana.
Sangat berbeda dengan kondisi saat ini yang begitu mudah mengingkari tugasnya sebagai Ra’in (pengurus). Racun Sekuler Kapitalis yang ada dibenak dan pemikiran pemimpin muslim saat ini. Membuat mereka terorientasi pada tolak ukur untung rugi bukan lagi terlaksanakan amalan ibadah. Memang pademi Covid 19 membawa kaum muslim dalam kondisi buruk. Ditambah tidak diterapkannya sistem Islam yang terbukti mampu mengatasi wabah semakin memparah kondisi.
Kapitalis yang hanya berpacu pada materi membuat penanganan pademi menjadi semakin kritis karena kesehatan menjadi barang komersial. Kebijakan yang dibuatpun lebih mengutamakan aspek ekonomi daripada nyawa manusia. Maka tidak heran untuk kedua kalinya ibadah haji yang merupakan ibadah Sya’airullah terhalang syiarnya karena kebijakan pembatasan jumlah jama’ah. Padahal ibadah terkategori syiar-syiar Allah, wajib hukumnya ditampakkan ke tengah-tengah masyarakat.
Jika kepemimpinan saat ini menggunakan paradigma Islam dalam mengurus umat dengan aturan Allah tentunya hal-hal yang dilakukan khalifah adalah upaya yang dapat menjamin kesehatan dan keselamatan dan keamanan seluruh kaum Muslimin bukan terbatas kepada jama’ah domestik saja sehingga kaum muslim seluruhnya dapat melaksanakan ibadah haji.
Upaya ini bisa dilakukan dengan memastikan setiap jama’ah yang akan berhaji dalam kondisi sehat. Pemastian ini dapat dilakukan dengan swab test maupu rapid test. Kondisi jama’ah selama dipenginapan pun juga akan dimonitoring. Vaksin bagi seluruh jamaah juga dilakukan. Semua ini akan dilakukan oleh negara dan dalam sistem Islam. Pelayanan ini biisa terwujud sebab sumber pendanaan dari pos kepemilikan negara dan kepemilikan umum batul mal.
Sistem Islam yang disebut Khilafah sangat mampu mendominasi. Sehingga kaum muslim dapat menikmati pelayanan ini secara gratis. Tidak ada kepemimpinan yang begitu memperhatikan kebutuhan umat Islam kecuali Khilafah Islam. Sayangnya sislem ini hanya dapat diterapkan jika aturan Islam diambil secara menyeluruh oleh kaum muslimin termasuk pemimpin mereka.
Wallahua’alam bi shawab.
Tags
Opini