Oleh : Emmy Emmalya
(Pegiat Literasi)
Tingkat kekerasan terhadap perempuan di tengah pandemi saat ini semakin meningkat, seiring dengan semakin hebatnya tekanan kehidupan yang melanda perekonomian dunia saat ini.
Isu kekerasan terhadap perempuan ini ternyata tidak hanya kasusnya saja yang meningkat tapi juga eksplanasi perbuatan pelaku yang melakukan kekerasan terhadap korban semakin tidak manusiawi.
Menurut data Komnas Perempuan, kekerasan yang terjadi pada perempuan selama 12 tahun terakhir ini meningkat hampir 8 kali lipat dan semakin meningkat lagi di masa pandemi covid-19 hingga mencapai 63% (Mediaindonesia, 20/12/20).
Jumlah ini yang terlaporkan, belum lagi yang tidak terlaporkan. Pasti jumlah kekerasan yang menimpa perempuan lebih banyak lagi, demikian tutur Staf Ahli Bidang Pembangunan Berkelanjutan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Ghafur Dharmaputra dalam keterangan resmi, Jumat (12/12).
Lalu merujuk pada pelaporan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak, di tahun 2020 hingga 3 Juni 2021 ini terdapat 3.122 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dari data tersebut, angka kekerasan seksual masih mendominasi. (antaranews.com, 8/7/2021)
Banyak pihak yang membenarkan hal ini salah satunya dari Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa'ad yang mengutarakan bahwa kekerasan terhadap perempuan erat kaitannya dengan masalah kemiskinan. Kekerasan bisa terjadi karena dipicu oleh kondisi ekonomi dalam rumah tangga yang kurang baik.
Sungguh disayangkan penyelesaian kekerasan yang menimpa perempuan saat ini tidak melihat dari akar permasalahan yang sebenarnya terjadi. Permasalahan kekerasan terhadap perempuan selalu diarahkan pada permasalahan gender dan berupaya untuk menyelesaikannya melalui RUU P-KS yang diharapkan bisa dituntaskan pembahasannya di tahun 2021 ini menjadi sebuah Undang-Undang.
Mereka bersikeras untuk menjadikan sebuah Undang- Undang dengan alasan karena kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi ini semakin memprihatinkan.
Tapi benarkah permasalahan kekerasan terhadap perempuan bisa terselesaikan dengan sebuah Undang-Undang yang mengandung bias gender di dalamnya?
Padahal kekerasan terhadap perempuan yang terjadi saat ini, sejatinya tidak ada hubungan sama sekali dengan gender. Karena yang terimbas pandemi tidak hanya kaum perempuan saja tapi kaum laki-laki pun ikut merasakan.
Jika mau jujur, sebenarnya kekerasan terhadap perempuan bukan karena permasalahan gender tapi karena sistem yang terapkan hari ini yaitu sistem kapitalisalah yang telah memobilisasi perempuan untuk berperan sama dengan laki-laki.
Sistem kapitalis telah menjadikan perempuan sebagai mesin pencetak uang sekaligus sebagai pasar bagi para kapital. Keadaan ini menyebabkan perempuan terpaksa harus bekerja mencari nafkah demi memenuhi tuntutan hidup yang hedonis dan konsumeris.
Kapitalisme telah membuat perempuan, keluarga dan generasi mengalami penderitaan. Sistem inilah yang sejatinya telah membuat perempuan berada dalam lingkaran penderitaan.
Lalu bagaimana Islam mensikapi hal tersebut?
Dalam Islam perempuan sangat dimuliakan. Perempuan bagaikan mutiara yang harus dijaga dan dilindungi.
Posisi perempuan dalam Islam sangat strategis, yaitu :
Pertama, sebagai istri sekaligus sahabat bagi suaminya
Kedua, sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya.
Ketiga, sebagai tiang negara. Baik perempuannya maka akan baik negaranya.
Karena peran perempuan itu sangat strategis maka hukum asal perempuan adalah sebagai ibu dan pengatur urusan rumah tangga dan ia adalah kehormatan yang harus dijaga.
Pahala bagi seorang perempuan ketika sudah menjadi seorang ibu itu sangatlah besar sebagaimana sabda Rasulullah Saw, yang artinya :
" Apakah tidak rela seorang dari kamu wahai perempuan, bahwa jika ia hamil dan suaminya ridla, maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala orang berpuasa yang aktif berjihad di jalan Allah.
Lalu sabda Rasulullah Saw berikutnya yang artinya :
"Apabila dia (ibu) merasa sakit (akan melahirkan), maka penduduk langit dan bumi belum pernah melihat pahala yang disediakan padanya dari pandangan mata (sangat menyenangkan). Maka ketika ia telah melahirkan, tiadalah keluar seteguk susu dan anaknya menyusu seteguk melainkan setiap teguk itu berpahala satu kebaikan. Dan jika ia tidak tidur semalam maka ia mendapatkan pahala seperti pahala memerdekakan tujuh puluh budak di jalan Allah dengan ikhlas." (HR al Hasan bin Sufyan, Thabrani dan Ibnu Asakir)
Selain berlimpahnya pahala yang akan diberikan kepada seorang ibu, Islam memberikan jaminan bagi terlaksananya fungsi keibuan, yaitu ;
Pertama, adanya rukhshoh (keringanan) bagi Ibu hamil dan menyusui
Kedua, ibu tidak wajib shalat berjamaah di mesjid, bekerja, berjihad
Ketiga, ibu mendapatkan hak nafkah dari suaminya
Keempat, ibu berhak dilakukan secara baik
Oleh karena itu, Islam mengharuskan para ayah untuk memperlakukan kaum ibu dengan baik. Nabi Saw bersabda, yang artinya :
"Sesungguhnya orang yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik perlakuannya terhadap istrinya. Aku adalah yang terbaik perlakuannya terhadap istri di antara kalian." (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Dengan demikian maka jelas kekerasan yang kerap terjadi baik ketika pandemi maupun sebelum pandemi, itu bukan disebabkan adanya isu gender tapi karena sistem yang melingkupinya tidak memuliakan perempuan sebagaimana kodratnya.
Oleh karena itu satu-satunya jalan agar perempuan terbebas dari segala bentuk kekerasan baik fisik maupun psikis adalah kembali pada sistem Islam yang memiliki aturan paripurna. Wallahu'alam bishowab
Tags
Opini