Oleh : Alin FM
Praktisi multimedia dan penulis
Sebagai seorang muslim, kita mengetahui bahwa Covid 19 ini mewabah dengan izin Allah SWT. Allah SWT menurunkan musibah untuk menguji hamba-Nya siapa yang taat dan bertaubat. Bukan menjauh dari syariat-Nya dan memilih hukum lain. Hukum buatan manusia, manusia yang merasa dirinya hebat dan paling tahu untuk mengatur undang-undang.
Kini, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat dilaksanakan maka mobilitas dan interaksi masyarakat dibatasi lebih ketat. Mall dan tempat wisata ditutup, Sampai-sampai masjid dan mushola dibatasi bahkan ada yang ditutup. Alasannya kondisi darurat dengan tingkat keterpaparan Covid 19 yang semakin meningkat. Hanya ironinya Bandara internasional tetap dibuka. Miris!
Lebih ironi lagi proyek nasional dan konstruksi juga seratus persen masih berjalan. Pembangunan infrastuktur nasional dan perjanjian OBOR dengan pemerintah China menjadi alasan TKA tetap bisa masuk ke tanah air. Sebab jika dilihat dengan seksama, sumber virus Covid-19 itu adalah arus WNA dan TKA dari luar negeri dengan membawa virus Covid-19 dan menyebarkan ke warga negara Indonesia. Hilir mudik tenaga kerja asing ke Indonesia yang berpotensi membawa virus covid 19 varian baru.
Kacaunya lagi pelanggar PPKM menurut Kepolisian akan dikenakan pidana berdasar UU No 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Lucu sekali melanggar Intruksi Mendagri diberi sanksi pidana atas dasar Undang-Undang padahal PPKM Darurat itu tidak ada dalam nomenklatur Undang-Undang. Bagaimana rumusan deliknya?
Lagi pula Menteri yang berwenang dalam urusan kedua Undang-Undang tersebut adalah Menteri Kesehatan bukan Menteri Dalam Negeri. Bacalah dengan baik Ketentuan Umum baik UU No. 4 tahun 1984 maupun UU No. 6 tahun 2018. Memang nyata tendensi sikap otoritarian melalui pemaksaan hukum.
Pemerintah dengan PPKM Darurat ini sebenarnya bersiasat licik dengan menghindar dari kewajiban yang ditetapkan Undang-Undang. PPKM Darurat substansinya adalah Karantina Wilayah. Pasal 55 ayat (1) UU No 6 tahun 2018 menegaskan kewajiban Pemerintah untuk menyediakan kebutuhan dasar orang dan makanan hewan.
Tanggungjawab ini yang justru ditakuti dan dihindari Pemerintah hingga harus lari-lari atau sembunyi dibalik nomenklatur yang diada-adakan sebagaimana PPKM Darurat tersebut. Inilah pemerintah ala Kapitalisme. Membuat kebijakan setengah hati.
Bukankah Darurat itu adalah keadaan yang harus berdasar hukum. Penetapan status darurat semestinya berlandaskan Undang-Undang atau sekurangnya Perppu yang kemudian menjadi Undang-Undang. Sementara PPKM Darurat saat ini dinyatakan hanya berdasarkan Instruksi Mendagri No 15 tahun 2021. Sungguh seenaknya kebijakan yang mempermainkan hukum.
Publik kini menunggu, Kapan Pasal 55 ayat (1) UU No 6 tahun 2018 berlaku?. Untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Rakyat sudah menahan derita akibat pandemi. Korban berjatuhan. Anak-anak bahkan lansia dalam ancaman pandemi. Akankah kita memilih hukum Allah agar makhluk Allah itupun segera diangkat oleh Allah SWT. Saatnya Muhasabah!
Tags
Opini