Oleh Ummu Zamzam
(Aktivis, Pemerhati Keluarga)
Di tengah ledakan virus Corona yang kian memuncak ini, kebutuhan ekonomi seolah tidak ada habisnya dibicarakan karena menyangkut keberlangsungan hidup manusia. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri bagi para tenaga kesehatan (nakes) dan berbagai rumah sakit di setiap daerah. Karena anggaran dana dari pemerintah untuk rumah sakit dan tenaga kesehatan (nakes) di masa pandemi ini seret.
Dikutip dari tirto.id (26/6/2021), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan sedang berupaya menuntaskan tunggakan klaim rumah sakit rujukan Covid-19. Total tunggakan yang belum dibayarkan pada tahun anggaran 2020 mencapai Rp22,08 triliun.
Menurut keterangan Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan (Kemkes) Rita Rogayah, dari besaran Rp22,08 triliun tersebut, yang sudah selesai review oleh BPKP sekitar Rp2,5 triliun, yang sudah di bayarkan Rp5,6 triliun, sejumlah Rp5 triliun sedang berproses, dan sejumlah Rp1,186 triliun juga akan selesai.
Rita mengatakan tunggakan ini terjadi lantaran penyaluran anggaran melewati sejumlah proses di antaranya adalah review dengan BPKP. Review dengan BPKP ini kata dia dilakukan dengan sekitar 1.500 RS yang melakukan klaim Covid-19.
"Dari tunggakan ini kami berproses terus," kata Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan (Kemkes) Rita Rogayah, saat memberikan keterangan pers yang disiarkan melalui YouTube, Jumat (25/6/2021).
Tak pelak, birokrasi berbelit ternyata juga menjadi salah satu faktor penyebab anggaran kian “tersedak”, padahal kasus Covid-19 tidak kalah meledak. Prioritas kebijakan anggaran Ketika wabah meledak, sungguh disayangkan. Ketika di lapangan semua pihak (nakes, masyarakat) sudah babak belur berbulan-bulan dihantam Covid-19 akan, tapi baru beberapa hari yang lalu sang pemimpin negara menekankan bahwa kunci pemulihan ekonomi adalah penyelesaian masalah Covid-19. Menurutnya, ekonomi tidak akan pulih jika pandemi tak bisa dikendalikan. (tempo.co, 30/6/2021)
Belum lagi soal anggaran, yang dipastikan membuat penguasa harus terus putar otak. Anggaran terus membengkak, sementara tikus-tikus berdasi juga makin jauh dari empati. Dengan kata lain, korupsi masih menjadi rongrongan tersendiri.
Sebagai pejuang prajurit di garda terdepan untuk membantu masyarakat menyelesaikan pandemi Covid-19 para nakes memang sudah seharusnya diperhatikan dan dijamin segala kebutuhan mulai dari Intensif kesehatan, memudahkan urusan mereka dan menjamin kesejahteraanya serta keselamatanya.
Oleh karena itu, tingginya kasus di negeri ini tidak semata-mata karena kelemahan nakes tapi lebih kepada kelemahan pemimpin. Bukankah pemimpin dan negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas jaminan keselamatan nakes dan seluruh masyarakat? Lalu sejauh mana peran ini bekerja? Padahal pemimpin dan negara memiliki akses paling besar untuk memenuhi kebutuhan tersebut melalui dana negara yang bisa disalurkan. Tapi fakta yang ada, donasi atau bantuan dari masyarakat masih menjadi incaran untuk mengalihkan peran negara dalam menyelesaikan pandemi Covid-19.
Lagi-lagi masyarakat disuguhkan berita mengiris hati di tengah pandemi. Negara yang menganut sistem sekuler kapitalis memang tidak akan melahirkan kebijakan yang memberi kesejahteraan secara merata bagi rakyatnya. Tidak mengherankan, jika keluh kesah para dokter dan nakes dianggap sebagai angin lalu oleh penguasa. Bahwa hidup layak dan bahagia bagi rakyat hanyalah angan.
Sangat berbeda dengan sistem Islam yang sangat mengapresiasi sekecil apapun usaha dari nakes. Sistem Islam memberi penghargaan dan perhatian pada tenaga medis dan prajurit yang berada di garda depan melawan musuh Covid-19. Rasulullah saw. bersabda yang artinya: "Sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak yang harus kau penuhi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sejarah mencatat, pada masa Kekhalifahan Abbasiyah dibangun rumah sakit yang lengkap dan canggih pada masanya. Rumah sakit ini melayani rakyat dengan cuma-cuma alias gratis. Seorang dokter mendapatkan bayaran tinggi. Seorang dokter Kristen di masa kekuasaan Islam, Ibn Tirmidz, memiliki pendapatan tahunan yang jumlahnya lebih dari 20 ribu dinar. Al-Naqqasy seorang dokter di Mesir mendapatkan imbalan tiap bulan sebesar 15 dinar.
Apartemen lengkap dengan perabotannya, seperangkat pakaian mewah, dan seekor keledai terbaik juga diberikan sebagai imbalan dari khalifah.
Pemimpin dalam negara yang menganut sistem Islam memastikan setiap rumah sakit mempunyai pemeriksa kebersihan dan pengawas-pengawas keuangan. Seringkali khalifah atau amir datang untuk menjenguk sendiri para pasien. Khalifah juga mengawasi perlakuan dan pelayanan rumah sakit terhadap mereka. Rasulullah Saw. bersabda: “Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggung jawaban atas rakyat yang dia urus”. (HR. Bukhari dan Ahmad).
Sistem Islam menjamin sarana dan prasarana kesehatan terbaik dan berkualitas. Tujuan utamanya menjaga nyawa rakyat semata. Nabi saw. bersabda, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai & Tirmidzi). Sehingga dapat dipastikan fasilitas perlindungan diri seperti APD dan kebutuhan lainnya akan dipenuhi. Sehingga tidak akan ada tenaga medis yang dikorbankan, Tentunya pelayanan terbaik seperti ini yang patut kita rindukan. Sistem Islam dalam kehidupan. Nilai-nilai penerapannya tidak dibangun atas dasar untung-rugi.
Namun begerak karena ruhiyah (kesadaran bahwa manusia adalah seorang hamba-Nya yang butuh akan aturan dari Yang Maha Menciptakan kita).
Wallahu a'lam bisshawab