Oleh : Ummu Hanif
(Pemerhati Sosial dan Keluarga)
Kementerian BUMN mengatakan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) bakal mengalami cost deficiency (kekurangan biaya) operasi pada awal pengoperasiannya. Untuk itu, pemerintah tengah bernegosiasi dengan China agar mendapat bantuan pinjaman di awal operasi KCJB nanti. Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menyebut pinjaman bisa diperoleh dari China Development Bank (CDB) dengan jaminan oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI. (www.ccnindonesia.com, 18 juli 2021)
Agar itu bisa terwujud, PT KAI nantinya akan diusulkan untuk mendapatkan jaminan dari pemerintah dengan pembentukan singking fund. "Untuk kelangsungan usaha dalam konteks operasional cash flow negatif yang akan terjadi di awal-awal operasi ini, kita sedang skemakan dengan pembiayaan dari bank. Dalam hal ini China Development Bank," ujarnya dalam rapat di Komisi VI DPR, Kamis (8/7).
Selain cost deficiency, Kartika juga mengatakan proyek tersebut juga berpotensi mengalami pembengkakan konstruksi (cost overrun) sampai dengan US$1,4 miliar-US$1,9 miliar. Karena itu, pemerintah tengah bernegosiasi dengan China untuk menambal pembengkakan itu. Ia menambahkan pembengkakan terjadi akibat keterlambatan pembebasan lahan dan perencanaan yang terlalu optimis di awal.
Proyek Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) tersebut pun ditarget rampung sebelum 2022. Saat ini proses konstruksi terus dilakukan. Dalam prosesnya, PT KAI (Persero) akan membentuk sinking fund atau saluran dana yang wajib masuk dalam daftar perencanaan keuangan. Sinking fund tersebut harus memperoleh jaminan dari negara. Dengan begitu, pengajuan pinjaman sendiri dijamin manajemen KAI. (www.Sindonews.com, 8 juli 2021)
Masih menjadi logika yang sulit dipahami. Pandemi masih tak terkendali, bahkan kini Indonesia menempati urutan pertama di dunia dalam penambahan kasus harian Covid-19, serta menempati urutan kedua setelah Brazil dalam penambahan kasus kematian hariannya. (tempo.com, 16/7/2021)
Namun, Alih-alih seluruh perhatian pemerintah berfokus pada terselesaikannya pandemi, Pemerintah malah bernegosiasi dengan Cina untuk menambah utang. Mirisnya, pengajuan utang luar negeri ini bukan untuk membiayai kebutuhan penanggulangan pandemi, tapi untuk membiayai infrastruktur kereta cepat yang hingga kini belum rampung.
Padahal, segudang polemik pembangunan KCJB dari mulai manajemen proyeknya yang buruk hingga polemik pembebasan lahan, masih belum terselesaikan. Banyak warga yang berdemo menuntut hak ganti rugi, karena mereka harus rela kehilangan mata pencahariannya lantaran sawah tergusur. Apalagi jika melihat manfaat proyek KCJB tentu bukan untuk masyarakat umum. Mereka pengguna KCJB pastilah penduduk kota yang memiliki mobilitas tinggi terhadap kedua kota tersebut. Sedangkan rakyat di luar itu yang jumlahnya jauh lebih banyak, hanya bisa gigit jari menyaksikan haknya terampas tanpa menyisakan manfaat bagi mereka.
Menilai hal ini, banyak pengamat menyatakan bahwa pemerintah kita telah gagal fokus dalam menjalankan amanah masyarakat. Dukungan penuh pemerintah terhadap berjalannya proyek KCJB di masa PPKM Darurat ini pun seperti sedang dan telah mengonfirmasi bahwa pemerintah lebih mementingkan ekonomi korporasi daripada keselamatan rakyat, karena potensi penularan di area proyek sangatlah besar.
Di sisi lain, para pedagang kecil dipaksa mengikuti aturan PPKM yang sangat merugikan mereka. Padahal, mereka hanya mencoba untuk bertahan hidup di masa pandemi. Jangan disalahkan jika masyarakat menilai bahwa kebijakan pemerintah tidak konsisten dan menzalimi rakyat. Andai saja pemerintah menerapkan karantina wilayah atau lockdown, lalu memenuhi seluruh kebutuhan rakyat, rakyat pun akan patuh tak keluar rumah dan pandemi pun akan cepat berakhir. Namun, defisitnya anggaran menjadi alasan pemerintah untuk tidak mau mengurusi kebutuhan umat.
Atas nama liberalisasi ekonomi, kepemilikan SDA tidak dibatasi, sehingga SDA yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan umat, malah dikuasai oleh segelintir orang. Deregulasi pun terus dilakukan sesuai dengan perjanjian-perjanjian internasional, agar penerapan sistem neoliberal menjadi sempurna. Padahal, ketergantungan utang adalah jebakan yang dibuat negara-negara pemberi utang terhadap negara yang berutang. Dengan begitu, negara makmur yang menggelontorkan dananya akan mampu menyetir kebijakan dalam negeri negara berkembang. Inilah yang menjadi alasan logis mengapa pemerintah malah mengurusi pembangunan KCJB di tengah pandemi yang makin menggila.
Dalam sistem pemerintahan Islam, penguasa wajib mengurusi seluruh kebutuhan umat termasuk pembangunan infrastruktur. Pembangunannya akan berfokus pada kemaslahatan umat dan memprioritaskan pada penjagaan atas jiwa manusia. Penanggulangan pandemi tentu akan lebih diprioritaskan daripada pembuatan alat transportasi sekunder, apalagi jika dananya terbatas. Dikatakan sekunder karena tanpa adanya alat transportasi tersebut, rakyat tetap masih bisa memenuhi kebutuhannya.
Maka, pembangunan KCJB tentu bukanlah prioritas utama karena telah ada alat transportasi lain yang beroperasi antara Jakarta—Bandung. Terlebih dalam pengerjaan proyeknya, berpotensi besar menjadi titik penularan wabah. Wallahu a’lam bi ash showab.