Ironi Hukum di Negeri Demokrasi, Ke Mana Rakyat Mencari Keadilan?


sumber gbr: google



Oleh: Mustika Lestari
(Aktivis Muslimah)

Harus diakui, penegakan hukum di negeri ini tengah dalam ironi. Realitanya, hukum ibarat drama settingan, dimana yang salah bisa jadi benar dan yang benar bisa jadi salah.

Wujud keadilan hanya berlaku kepada konglomerat berduit, sementara bagi rakyat kecil keadilan itu kian terkoyak. Alhasil, prinsip equality before the law (kesamaan dihadapan hukum) sekadar formalitas belaka.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan vonis 4 tahun penjara kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) dalam kasus berita bohong, mengakibatkan keonaran terkait hasil swab-nya di Rumah Sakit Ummi. Forum Rakyat pun melihat vonis tersebut melukai rasa keadilan.

Koordinator Forum Rakyat Lieus Sungkharisma menanggapi, bagaimana mungkin seorang yang hanya didakwa menyebarkan kebohongan melalui YouTube dan memicu keonaran mendapat vonis lebih berat daripada kebanyakan koruptor. (http://rmolbanten.com, 25/6/2021)

Sekularisme Menghianati Keadilan

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Hidayat Nur Wahid (HNW) mengkritisi vonis tersebut. Menurutnya, hal itu jauh dari rasa keadilan dan tidak sesuai dengan fakta persidangan. Ia menyatakan, pertimbangan majelis hakim yang menyatakan bahwa sang ulama terbukti berbohong atas swab antigen sehingga menimbulkan keonaran adalah keliru.

Apalagi, terdapat keterangan saksi ahli di persidangan yang menyatakan pernyataan HRS bukanlah kebohongan. Begitu pula ungkapan yang menyatakan dirinya sehat, tak terbukti menimbulkan keonaran.

HNW menambahkan, jika memang hakim menilai kasus HRS menimbulkan keonaran, seharusnya hakim juga memberikan sanksi hukum kepada sejumlah pejabat yang di awal masa pandemi Covid-19 menyampaikan beberapa hal yang justru tidak sesuai dengan kebenaran sehingga menyebabkan penanganan Covid-19 tidak terstruktur dan terprogram sejak awal. Inilah yang menyebabkan keonaran nasional, menimbulkan banyak korban jiwa, ekonomi hingga sosial. (http://.www.pikiran-rakyat.com, 25/6/2021)

Dari laman berbeda, m.jpnn.com (25/6/2021), HNW menyatakan bahwa selain tidak memenuhi rasa keadilan, vonis 4 tahun perjara itu juga penuh kejanggalan. Di antaranya, adanya opsi yang diberikan kepada HRS untuk mengajukan grasi.

Menurutnya, opsi pengampunan itu memang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan dan ada kewenangan presiden memberikan grasi. Namun, itu bisa dilakukan jika tersangka menerima vonis hakim. Olehnya, penyebutan alternatif pengampunan atau grasi itu menjadi sangat tidak lazim, apalagi HRS menolak vonis hakim dan masih ada berbagai upaya hukum yang tersedia, seperti banding ke Pengadilan Tinggi, kasasi hingga peninjauan kembali (PK).

Hukum negeri ini yang terkesan memaksa atau mengada-ada bukanlah fenomena baru bagi publik. Masyarakat sudah terbiasa dengan tontonan ketidakadilan penegakan hukum yang “dibumbui” masalah politis. Lihat saja, bagaimana para pejabat yang melakukan pelanggaran didiamkan seolah tak terjadi apa-apa, sedangkan rakyat kecil langsung dihakimi atas nama hukum. 

Tentu, kita pun tidak melupakan kasus mega korupsi Bank Century, Asabri, Pelindo II, BLBI, kasus suap dan sejenisnya yang menguap tanpa jelas kemana larinya, sebut saja kasus Anton Tantular dan Harun Masiku. 

Demikian pula melihat hukuman bagi “penjahat” negara, seperti Djoko Tjandra yang hanya dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp.100 juta subsider 6 bulan oleh Majelis Hakim Tipikor. Hal ini atas kasus suap kepada sejumlah penegak hukum terkait pengecekan status red notice, penghapusan namanya dari DPO dan pengurusan fatwa MA.
 
Pasalnya, putusan ini dengan memperhatikan sejumlah hal, seperti hal yang memberatkan yakni tidak mendukung pemerintah dalam mencegah KKN, sementara yang meringankannya karena dinilai bersikap sopan selama persidangan dan sudah berusia lanjut. Sayangnya, dalih semacam ini tidak lebih dari alasan klasik untuk melindungi kejahatan orang yang berduit. 

Padahal, tujuan hukum adalah memberikan keadilan dan efek jera, dimana pemberlakuannya sama atas seluruh rakyat sesuai apa yang dilakukannya. Tentu, tanpa memperhatikan status sosial, baik itu pejabat maupun rakyat biasa.

Mencermati lebih mendalam, tajamnya hukum negeri ini memang hanya diperuntukkan kepada rakyat yang terlihat berbeda pandangan atau kritis terhadap penguasa. Hukum tak ubahnya menjadi alat pukul kekuasaan untuk membungkam suara rakyat. Maka tak berlebihan jika dikatakan bahwa penegakan hukum bukan lagi berdasar keadilan, melainkan kepentingan yang tajam ke lawan, tumpul ke kawan. 

Inilah persoalan serius sistem hukum di negeri hukum, Indonesia yang merujuk keadilan itu kepada ketetapan manusia. Bagaimana standarnya? Tentu saja berdasar pada kehendak nafsu dan tidak sedikit adalah pesanan, sehingga penuh kejanggalan yang tak memuaskan akal sehat.

Situasi ini tak lepas dari sistem demokrasi-sekular yang rentan menjadikan hukum sebagai alat kepentingan kekuasaan. Akibatnya, aneka kezaliman semakin terdepan dan mustahil mendapatkan keadilan yang sama. Istilah demokrasi yang berkeadilan sosial pun hanya mimpi kosong. 

Jika sudah begini, mustahil membersihkan lantai kotor dengan sapu kotor. Sistem yang gagal akan terus menghianati keadilan itu sendiri tanpa menghadirkan perbaikan. Karena itu dibutuhkan perubahan paradigma kehidupan, kemudian mencari alternatif yang merujuk sesuatu yang benar dan teruji.

Keadilan Hakiki dengan Islam

Agama Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia secara individual maupun masyarakat dengan hukum-hukumnya yang ideal. Hukum Islam tidak  membedakan keadaan sosial masyarakat, apapun perkaranya akan dihukumi sesuai syariat Islam. 

Perintah berbuat adil dan menegakan kebenaran sebagaimana dalam firman-Nya, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (Q.S. An-Nisa [4]: 58)

Dalam sistem pemerintahan Islam, hukum harus merujuk pada al-Qur’an dan as-Sunnah, sehingga manusia tidak bisa megubahnya sesuai kehendak. Gambaran keadilan yang terpancar dari syariat Islam adalah tidak adanya istilah kebal hukum, semua diperlakukan sama sebagai warga negara. 

Begitu pula ketika melakukan pelanggaran syariat secara nyata, sanksi diberlakukan sama tanpa memandang kawan atau lawan. Sanksi ini memberi efek jera bagi  pelaku pelanggaran, sehingga tidak timbul kekacauan di tengah masyarakat akibat kecemburuan sosial maupun hal lainnya.

Penegakan keadilan adalah keharusan yang wajib dilaksanakan, bukan berbuat dzalim seenaknya. Keadilan Islam menciptakan kedamaian dan kebahagiaan hingga kebaikan senantiasa menyertai kehidupan manusia. 

Untuk itu, sudah saatnya kita memperjuangkan Islam agar tidak lagi merasakan ketidakadilan produk manusia yang tidak amanah. Dengan tegaknya Islam, akan tercipta kedamaian dan kesejahteraan yang sempurna. Wallahu a’lam bi shawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak