Oleh : Dinda Kusuma W T
Bukan rahasia lagi bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang paling rajin berhutang. Diungkapkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, selepas pengakuan kemerdekaan pada Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, pemerintahan yang baru terbentuk sudah menanggung utang warisan kolonial Belanda. Saat itu, nilai utang sebesar US$1,13 miliar sebagai nilai kerusakan perang serta investasi yang dibekukan oleh Belanda di Indonesia. Kemudian di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, rasio utang sempat mencapai 57,7 persen terhadap keseluruhan PDB. Pada 1998 lalu saat terjadi krisis moneter, utang pemerintah berada di angka Rp551,4 triliun. Lanjut di era pemerintahan Habibie, ambruknya ekonomi pada 1997-1998 membuat pemerintah harus menarik utang dalam jumlah besar mencapai Rp938,8 triliun. Padahal PDB (Produk Domestik Bruto) nasional saat itu sebesar Rp1.099 triliun. Artinya, rasio utang saat itu mencapai 85,4 persen. Selanjutnya rasio utang mulai membaik namun tetap saja Indonesia bukan negara bebas hutang. Berdasarkan rilis Kementerian Keuangan, rasio utang pemerintah hingga Juni 2021 mencapai Rp6.418 triliun. Rasio utang pemerintah saat ini mencapai 40,49 persen terhadap PDB. Intinya, Indonesia tidak pernah menjadi negara yang bebas dari hutang.
Kondisi krisis atau berbagai kebutuhan negara bisa saja menjadi alasan pemerintah untuk terus menambah hutang. Untuk saat ini, menurut pemerintah, utang diambil untuk membiayai berbagai pembangunan infrastruktur dan belanja lain dalam kebijakan fiskal yang ekspansif. Artinya, belanja negara memang lebih besar daripada pendapatannya. Pendapatan negara memang dianggap belum cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan pembangunan sehingga memunculkan defisit. Untuk menutupnya, dilakukan utang. Namun pemerintah mengklaim bahwa utang yang ditarik saat ini aman karena digunakan untuk belanja produktif. Seharusnya hutang menjadi pilihan terakhir dikala kondisi ekonomi sedang mendesak. Pilihan terakhir inipun sejatinya tidak boleh diambil begitu saja demi stabilitas ekonomi dan politik dalam negeri. Pemerintah harus mencari cara lain demi menghindar dari hutang. Namun, sistem demokrasi yang digabung dengan kapitalisme ini menumbuhkan suburkan hutang negara dimana yang diuntungkan hanya segelintir pihak sedangkan yang harus menanggung beban hutang dan akibat lainnya hingga puluhan tahun ke depan tidak lain adalah rakyat.
Lebih-lebih pada kondisi pandemi seperti sekarang, pemerintah seolah disuguhi alasan kuat untuk menambah hutang luar negeri. Negara dalam kondisi lebih stabil dari sekarang saja, hutang tak henti-hentinya, apalagi pada masa krisis. Selain itu, selain hutang telah menjadi seperti kebiasaan, pemerintah memang tampaknya tidak punya cara lain untuk mengatasi kekurangan APBN selain dari pajak dan hutang luar negeri. Pergantian kekuasaan sebagaimana pada sistem demokrasi, juga membuat para pemimpin tidak segan membuat hutang baru sebab nantinya hutang itu akan diwariskan pada penguasa berikutnya tanpa beban rasa tanggung jawab. Inilah keburukan demokrasi kapitalis yang tidak akan bisa kita hindari.
Mirisnya, ketika pemerintah menyatakan bahwa hutang luar negeri diambil pada masa krisis ini adalah demi kepentingan rakyat, faktanya hutang diambil untuk membiayai proyek yang seharusnya bukan prioritas dimasa pandemi seperti sekarang. Salah satunya untuk biaya operasional awal Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB). Sebagaimana diberikatakan bahwa Kementerian BUMN mengatakan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) bakal mengalami cost deficiency (kekurangan biaya) operasi pada awal pengoperasiannya. Untuk itu, pemerintah tengah bernegosiasi dengan China agar mendapat bantuan pinjaman di awal operasi KCJB nanti. Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menyebut pinjaman bisa diperoleh dari China Development Bank (CDB) dengan jaminan oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI. (CNN Indonesia, 08/07/2021)
Jumlah hutang luar negeri Indonesia yang terus menjulang membuat banyak pihak merasa cemas. Pasalnya, kondisi ini sangat rentan bagi stabilitas ekonomi dan politik dalam negeri. Seperti yang kita ketahui bahwa hutang luar negeri tidak mungkin dicairkan tanpa kompensasi-kompensasi tertentu bagi negara pemberi hutang. Sangat dimungkinkan negara pemberi hutang akan ikut menentukan beberapa kebijakan atau aturan dalam negeri yang menguntungkan mereka sebagai kompensasi hutang yang telah diberikan. Proyek-proyek besar yang menarik banyak investasi biasanya juga akan menarik tenaga kerja asing masuk ke dalam Tanah Air. Gelombang pekerja asing akibat syarat mengalirnya investasi seperti yang terjadi di waktu belakang ini bisa mengancam kedaulatan kita dalam berbangsa dan bernegara. Ancaman-ancaman tersebut juga akan diperparah dengan pergeseran budaya sosial politik yang cenderung liberal. Yang mana kesemuanya itu, tanpa kita sadari, sudah berangsur-angsur terjadi pada saat ini. Bukan tidak mungkin, pada akhirnya negara Indonesia ini akan kehilangan kedaulatannya sebagai negara yang merdeka.
Pandangan Islam Terhadap Hutang Luar Negeri
Perihal utang negara yang melibatkan pihak asing jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hal itu bisa dilihat dari beberapa aspek. Pertama, utang yang didasarkan pada riba. Bunga utang jelas dilarang oleh Islam, apapun bentuknya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat ayat 278-279, yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Q.S. Al-Baqarah: 278-279)
Alasan kedua islam melarang hutang adalah karena hutang dapat merendahkan martabat suatu bangsa. Padahal Islam sangat menjunjung tinggi intregitas suatu bangsa. Selain itu nilai manfaat yang diterima oleh negara belum tentu berbanding dengan beban yang ia tanggung. Di sisi lain, bantuan luar negeri telah membuat negara-negara kafir mendominasi, mengeksploitasi, dan menguasai kaum muslimin dalam jeratan utangnya. Kaum muslimin tidak boleh membiarkan hal ini terjadi. Dengan demikian, islam tidak menganjurkan adanya utang luar negeri. Apabila terjadi krisis, negara bertanggung jawab mencari solusi permasalahannya tanpa harus berhutang kepada pihak luar.
Islam juga memungkinkan pengelolaan negara dimana kas negara tidak sampai kosong sehingga apabila terjadi keadaan darurat, negara tidak sampai berhutang kepada luar. Sumber pendapatan negara berasal dari berbagai potensi dan SDA dalam negeri negara islam yang dikelola sendiri sedemikian rupa sehingga hasilnya bisa dinikmati oleh seluruh rakyat. Bukan seperti yang terjadi saat ini, hampir seluruh SDA Indonesia dikelola oleh asing sehingga rakyat tidak bisa menikmati hasilnya, dan negara terus berhutang akibat defisit anggaran tiap tahunnya. Indonesia sebenarnya adalah negara yang kaya raya, baik dari segi SDA maupun SDM nya. Namun pengelolaan negara dengan menggunakan sistem demokrasi kapitalis membuat Indonesia menjadi negara sekarat yang tidak bisa menikmati kekayaannya. Selama kapitalisme terus diterapkan, Indonesia tidak akan pernah menjadi negara yang bebas dari hutang. Sistem kapitalisme harus segera ditinggalkan dan beralih kepada sistem islam yang sempurna dan merupakan rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a'lam bis'shawab.
Penulis : Dinda Kusuma W T
Tags
Opini