Oleh : Anisa Rahmawati
Aktivis Dakwah Kampus
Beberapa waktu lalu kasus Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta menjadi sorotan publik usai menyunat hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara.
Padahal Pinangki sebagai aparat penegak hukum menjadi makelar kasus (markus) dengan terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang.
Mirisnya lagi penyunat vonis Pinangki dilakukan oleh lima hakim tinggi secara bulat. Mereka adalah Muhammad Yusuf, Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik.
Dilansir dari detik.com, Minggu (20/6/2021), nama-nama hakim tinggi itu tercatat kerap menyunat hukuman para terdakwa korupsi.
Salah satunya pembobol Jiwasraya, Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Asuransi Jiwasraya, Syahmirwan.
Selain itu Majelis Pinangki juga diketahui menyunat hukuman Syahmirwan dari seumur hidup menjadi 18 tahun penjara yakni Haryono, Lafat Akbar, dan Reny Helida Ilham Malik.
Kasus Pinangki ini merupakan satu dari beberapa kasus yang secara nyata mempertontonkan dan mencederai rasa keadilan.
Bagaimana keadilan dibuat degelan bagi sang mafia peradilan, sedangkan bagi mereka yang biasa dan tak punya kuasa dibungkam dengan hukum yang telah dibuat sesuai pesanan.
Inilah lemahnya sistem buatan manusia yang kerap kali tersirat akan pesanan dan lahirkan mafia peradilan.
Tak ayal kita dapati revisi atau pemotongan masa tahanan yang tak masuk di nalar menjadi track record kelam peradilan di sistem demokrasi.
Hukum yang tebang pilih tak akan melahirkan efek jera bagi pelaku kriminal dan kejahatan kemanusiaan, bahkan menumbuh suburkan kejahatan yang tersistematis.
Keadilan yang terbukti berabad abad hanya kita dapati di Sistem islam yakni Khilafah ala minhaj Nubuwah.
Sistem yang lahir dari sang pemilik kerajaan langit dan bumi telah terbukti menciptakan sistem yang Rahmatan Lilalamin.
Karena bersumber dari Alquran dan syariat islam maka terpancar kemaslahatan salah satunya dalam praktik bidang hukum dan peradilan.
Hal ini sangatlah jauh berbeda penerapan sistem demokrasi dengan sistem Khilafah.
Seperti contoh praktik tegas hukum dalam islam dilihat dari buku The Great Leader of Umar bin Al Khathab, Ibnul Jauzi merawikan bahwa Amr Bin al-Ash pernah menerapkan sanksi hukum (had) minum khamr terhadap Abdurrahman bin Umar (Putra Khalifah Umar).
Saat itu, Amr bin Al-Ash menjabat sebagai gubernur Mesir. Biasanya, pelaksanaan sanksi hukum semacam ini diselenggarakan di sebuah lapangan umum di pusat kota. Tujuannya agar penerapan sanksi semacam ini memberikan efek jera bagi masyarakat.
Namun. Amr bin al-Ash menerapkan hukuman terhadap putra Khalifah, yakni Abdurrahman bin Umar, justru bukan seperti tuntunan syariah yang ada, tetapi dilaksanakan di dalam sebuah rumah.
Ketika informasi ini sampai kepada Umar, ia langsung melayangkan sepucuk surat kepada Amr bin al-Ash.
Surat tersebut berbunyi: Dari hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin, ditujukan kepada si pendurhaka, putra al-Ash. Aku heran terhadap tindakan Anda, wahai putra al-Ash. Aku juga heran terhadap kelancangan Anda terhadapku dan pengingkaran Anda terhadap perjanjianku.
Aku telah mengangkat sebagai penggantimu dari orang-orang yang pernah ikut dalam Perang Badar. Mereka lebih baik dari Anda. Apakah Aku memilihmu untuk membangkangku? Aku perhatikan Anda telah menodai kepercayaanku.
Aku berpendapat lebih baik mencopot jabatanmu. Anda telah mencambuk Abdurrahman bin Umar didalam rumahmu, sedangkan Anda sudah mengerti bahwa tindakan semacam ini menyalahi aturanku. Abdurrahman itu tidak lain adalah bagian dari rakyatmu. Anda harus memperlakukan dia sebagaimana Anda memperlakukan Muslim lainnya.
Akan tetapi, Anda katakana, “Dia adalah putra Amirul Mukminin.” Anda sendiri sudah tahu bahwa tidak ada perbedaan manusia di mataku dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak yang harus bagi Allah.
Bila Anda telah menerima suratku ini maka suruh dia (Abdurrahman) mengenakan mantel yang lebar hingga dia tahu bahwa keburukan perbuatan yang telah dia lakukan.1
Setelah itu Abdurrahman digiring ke sebuah lapangan di pusat kota. Amr bin al-Ash lalu mencambuk Abdurrahman di depan publik. Riwayat ini juga dirawikan bin Saad dari bin az-Zubair, juga dirawikan Abd ar-Razzaq dengan sanad yang statusnya shahih dari Ibnu Umar
Begitulah sikap Khalifah Umar. Dengan berpegang pada syariah Islam, beliau mengimplementasikan bahwa setiap masyarakat mempunyai persamaan di hadapan hukum Islam. Tidak peduli dia putra Khalifah ataukah bukan.
Ketika putranya sendiri melakukan kesalahan maka hukum Islam ditegakkan dan dilaksanakan. Tidak ada nepotisme dan intervensi hukum untuk menghapuskan permasalahan hukumnya apalagi meringankannya.
Si tersangka (putra Amirul Mukminin) tetap mendapatkan hukuman sebagaimana kadar hukuman yang ada. Tidak berkurang sedikitpun. Lebih dahsyatnya lagi, Umar juga menghukum pejabat yang main mata dalam hukum.
Amr bin al-Ash mendapat teguran keras dan hukuman yang setimpal atas kecerobohan dan kelalaian tindakannya tersebut.
Syariah Islam tidak memberikan peluang sedikitpun nepotisme dan intervensi hukum atas nama keluarga pejabat atau pejabat pendukung rezim.
Hal ini juga yang dilakukan Rasulullah dalam menegakkan keadilan, Rasul selalu tegas dan tak kenal pandang bulu dalam memberlakukan hukum.
Seperti sabda Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!”. (HR. Muslim 2577).
Maka sepantasnya rasa adil harus berimbang dengan penegakan hukum, siapapun yang berbuat salah maka wajib di adili sesuai dengan kadar Kesalahannya itulah adil menurut islam.
Tak ada deskrimasi penegakan hukum dalam islam semuanya punya hak yang sama dimata hukum baik si miskin dan si kaya, ataupun seorang pejabat dan rakyat jelata.