Oleh : Tita Rahayu Sulaeman
Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin inilah yang dirasakan oleh rakyat Indonesia saat ini. Rakyat yang tengah kesulitan akibat pandemi, harus mendengar kabar pahit. Pemerintah berencana memungut pajak bahan kebutuhan pokok dan sekolah. Rencana ini bakal tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam draft revusi UU no.6 pengenaan pajak diatur dalam pasal 4A (cnnindonesia.com 12/06).
Kementerian keuangan menampik tudingan bahwa kebijakan ini akan semakin mencekik rakyat. Dikutip dari halaman berita CNN Indonesia, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan menyatakan kebijakan ini adalah wacana ke depan yang melihat kondisi ekonomi Indonesia. Menurutnya, saat ini pemerintah sedang fokus menolong rakyat dengan pemulihan ekonomi dan penanganan pandemi Covid-19. Saat ini sembako menjadi salah satu objek yang disubsidi oleh pemerintah melalui dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Pajak dalam sistem perekonomian saat ini menjadi salah satu sumber utama pendapatan negara. Berbagai macam jenis pajak ditetapkan. Pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan, pajak kendaran, pajak bumi dan bangunan, dll. Alih-alih berusaha mensejahterakan rakyatnya, negara malah memberikan doktrin kepada rakyatnya bahwa membayar pajak sebagai sebuah kebanggaan. Membayar pajak berarti telah berkontribusi pada pembangunan negara. Sungguh logika yang terbalik. Saat ini rakyat dituntut untuk memenuhi kas negara. Padahal semestinya, negaralah yang mengurusi kebutuhan rakyatnya.
Inilah akibat dari penerapan sistem ekonomi kapitalis. Dimana dalam sistem ekonomi saat ini, kekayaan alam yang seharusnya menjadi sumber utama pendapatan negara, boleh dimiliki pihak swasta. Akibatnya, negara kehilangan sumber utama pendapatannya. Sumber pendapatan utama negara saat ini adalah pajak yang berasal dari rakyat. Selain pajak, sumber pendapatan negara lainnya berasal dari retribusi yaitu semacam pungutan berkaitan dengan jasa negara. Selain itu ada iuran, serta denda. Hasilnya tentu akan jauh berbeda bila negara mampu mengelola dan mengeksplorasi kekayaan alam yang berlimpah. Pendapatan yang diperoleh akan mencukupi kebutuhan rakyatnya. Tidak seperti saat ini. Rakyat harus berusaha keras mencukupi sendiri kebutuhan asasinya dan harus menanggung beban pajak.
Pajak dalam sistem kapitalis saat ini diterapkan pada objek barang. Barang-barang yang diperjualbelikan, penghasilan, serta transaksi barang-barang tertentu dibebankan pajak yang berbeda pula. Wacana penerapan pajak terhadap bahan pokok dan pendidikan tentu akan menambah beban rakyat. Padahal sejatinya, bahan pokok dan pendidikan adalah kebutuhan asasi rakyat yang harus dipenuhi oleh negara. Bukan malah menjadikannya sumber pendapatan negara.
Dalam sistem ekonomi Islam, tidak ada pungutan pajak terhadap rakyat. Adapun pemungutan dilakukan hanya dalam waktu tertentu dan dipungut hanya pada kalangan aghniya (kelebihan harta). Dilakukan hanya saat-saat tertentu ketika kas negara sedang kosong akibat krisis.
Sumber pendapatan negara dalam sistem ekonomi Islam diantaranya ada yang berasal dari umat yaitu zakat. Namun tentu amat berbeda dengan pajak. Zakat memiliki ketentuan syariat, yaitu nishob atau batas minimal harta yang harus dizakati serta haul atau jangka waktu kepemilikan harta. Orang yang tidak memenuhi ketentuan syariat ini tidak harus membayar zakat. Tidak akan ada objek lain yang harus dizakati, kecuali yang telah ditentukan syariat Islam. Dana zakat jelas peruntukannya. Syariat Islam telah menetapkan siapa-siapa saja yang berhak menerima zakat yaitu 8 golongan yang terhimpun dalam mustahik zakat. Dana zakat tidak bisa digunakan oleh negara untuk hal lain. Adapun untuk memenuhi kebutuhan rakyat lainnya, dialokasikan dari sumber pendapatan negara selain zakat.
Zakat dalam kehidupan Islam, adalah sebuah syariat yang telah Allah tetapkan. Menunaikan zakat berarti telah menunaikan kewajiban terhadap Allah SWT. Di mana ada pahala atas pelaksanaannya dan dosa bila ditinggalkan. Maka bagi orang-orang yang bertaqwa, menunaikan zakat bukanlah sebuah kebanggaan semu di dunia. Ia adalah amalan yang tercatat hingga ke negeri akhirat.
Islam juga mengatur kepemilikan kekayaan alam yang menjadi sumber pendapatan negara. Kekayaan alam seperti barang tambang dalam jumlah besar yang sangat dibutuhkan masyarakat seperti emas, perak, minyak, dll tidak boleh dimiliki swasta. Kekayaan alam pengelolaannya dilakukan negara, sementara sisi pemanfaatannya bisa dinikmati masyarakat umum. Negara sebatas mengelola dan mengaturnya untuk kepentingan masyarakat umum.
Pemerintah yang dijalankan dengan landasan aqidah Islam semata-mata menjalankan roda pemerintahannya untuk mengurus kepentingan rakyatnya. Akan ada hisab bila negara lalai terhadap kewajiban ini.
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Dari Aisyah radhiallahu’anha, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
“Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia membuat susah umatku, maka susahkanlah dia. Dan siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia sayang pada umatku, maka sayangilah ia.” (HR. Muslim)
Inilah pentingnya aqidah Islam dalam setiap aspek kehidupan, umat hingga tingkatan penguasa. Umat kokoh aqidahnya akan taat terhadap setiap syariat. Demikian juga ketaatan penguasa dan negara terhadap syariat tentu akan membawa maslahat bagi umat. Kehidupan yang jauh dari syariat Islam telah nyata membawa kesengsaraan. Saatnya umat kembali hanya pada Islam, agama yang sempurna mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Wallahu a’lam bishawab