Oleh Aas Asiyah
Lagi dan lagi Dana bantuan salah sasaran kembali terjadi. Dana yang seharusnya diterima oleh orang yang tepat malah diterima oleh orang yang tidak seharusnya karena kesalahan dalam penyaluran bantuan.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan pelaksanaan Program Indonesia Pintar (PIP) belum memadai. Hal ini disebabkan karena data yang digunakan sebagai sumber pengusulan calon penerima tidak handal. Adapun data yang digunakan adalah data pokok pendidikan (dapodik). Sedangkan, Nomor Induk Siswa Nasional dan Nomor Induk Kependudukan belum digunakan sebagai acuan untuk pemberian bantuan. (cnbcindonesia.com 22/07/2021)
Karena keteledoran tersebut, menyebabkan banyak siswa yang seharusnya menerima bantuan, tapi tidak menerimanya.
BPK mencatat, dana bantuan PIP sebesar Rp 2,86 triliun yang diberikan kepada sebanyak 5.364.986 siswa tidak tepat sasaran, karena diberikan kepada siswa yang tidak layak atau tidak diusulkan menerima. Selain itu, ada sebanyak 2.455.174 siswa pemilik KIP dan/atau yang berasal dari keluarga peserta PKH atau KKS kehilangan kesempatan karena tidak diusulkan dalam SK penerimaan bantuan PIP. (cnbcindonesia.com 22/06/2021)
Selain dana bantuan untuk siswa, dana bantuan BLT UMKM dalam rangka penanganan dampak Covid-19 pun mengalami kesalahan dalam penyaluran.
BPK mencatat sebanyak Rp1,18 triliun terdistribusi untuk 414.590 penerima bermasalah dan dana BPUM yang gagal disalurkan ke penerima belum dikembalikan ke kas negara sebesar Rp23,5 miliar dan double debet pada penerima BPUM ke rekening RPL pada 2 dan 8 Maret 2021 sebesar Rp43.200.000. Sampai dengan pemeriksaan berakhir, dana BPUM gagal salur sebesar Rp42.200.000. (Tirto.id 25/06/2021)
Para penerima bantuan yang salah sasaran ini beragam, ada penerima yang menerima lebih dari sekali bantuan BPUM, ada penerima yang tidak memiliki usaha mikro, penerima yang sedang memiliki kredit perbankan, penerima yang sudah meninggal, pindah ke luar negri dan masih banyak lagi penerima bantuan yang tidak seharusnya menerima bantuan BPUM ini.
Kesalahan penyaluran dana bantuan ini sungguh sangat fatal dan merugikan rakyat, karena rakyat yang seharusnya menerima bantuan akhirnya menjadi korban. Hal ini membuktikan buruknya kinerja rezim hari ini dalam menangani masalah penyaluran dana bantuan dan ketidak kompetenan dalam menangani dan melayani kebutuhan rakyat.
Dan bukannya tidak mungkin, data yang tidak jelas dan semrawut ini memberikan peluang untuk bertindak korupsi. Sebab dalam data penerima bantuan ini ada penerima-penerima yang belum jelas.
Tindakan ini menunjukan kedzaliman pemerintah kepada rakyatnya. Penguasa tidak melakukan sikap amanah yang diberikan rakyat untuk mereka yakni mengurusi keuangan negara. Padahal sumber dari keungan negara sebagian adalah dari rakyat itu sendiri.
Adanya kebocoran uang negara ini karena dalam hal pengawasan dan pengurusannya yang lemah. Dan inilah yang terjadi jika menjadikan sistem kapitalisme dan sistem pemerintahannya sebagai acuan.
Dalam sistem ini penguasa lahir karena adanya dukungan besar dari sebagian para pemodal bukan dari hasil kepercayaan rakyat karena itu tak heran jika saat adanya program bantuan untuk rakyat penerimaanya dipersulit dan administrasi yang dibutuhkan cukup berbelit.
Padahal pada hakikatnya pemimpinlah yang harus mengurusi kebutuhan rakyatnya sampai bisa terpenuhi semua haknya. Tapi pada fakta yang terjadi sekarang, kita harus menjadi miskin dulu untuk mendapatkan hak-hak yang dibutuhkan. Seharusnya seperti pendidikan ini merupakan kebutuhan publik tanpa memandang apakah orang itu kaya atau miskin. Pendidikan merupakan kebutuhan rakyat yang dimana pemerintah wajib mengadakannya dengan menggunakan anggaran APBN negara tanpa melalui pungutan dari rakyat.
Jadi, permasalahannya bukan sekadar perkara teknis, lebih dari itu, ini persoalan paradigmatis yang terjadi dalam sistem sekuler demokrasi.
Selain itu sistem sekuler kapitalisme ini menilai kemiskinan warga negara tidak diukur dengan batasan syariat, sehingga sangat subjektif. Masyarakat miskin menurut BPS (Badan Pusat Statistik) harus memenuhi 14 kriteria, salah satunya terkait besaran pendapatan. Menurut BPS sebuah keluarga harus memiliki penghasilan sebesar Rp3.192.800 per bulan agar tidak disebut rumah tangga miskin.
Sedangkan menurut standar WHO, bisa dua kali lipat ketentuannya dengan BPS ini, jadi banyak data yang keliru. Banyak orang akan terklasifikasi tidak miskin, padahal faktanya sangat membutuhkan. Mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan primernya secara layak dan manusiawi.
Lalu bagaiamana standar kemisikan dalam Islam? dalam Islam sendiri kemiskinan merupakan tidak terpenuhnya kebutuhan primer seperti tempat tinggal, pakaian dan pangan. Dalam Islam memenuhi setiap kebutuhan rakyat yang belum bisa memperoleh 3 aspek tadi adalah wajib.
Oleh karena itu dalam Islam, kemiskinan tidak dinilai dari seberapa pendapatan suatu individu tetapi mampukah individu tersebut memenuhi setiap kebutuhan primernya secara layak.
Negara tidak hanya memberikan bantuan kepada fakir miskin, tetapi juga memberikan solusi untuk menanggung kebutuhan fakir miskin dan mengeluarkannya dari kemiskinan.
Pada masa Rasulullah SAW yang memberikan contoh, bagaiaman beliau menjalankan amanah untuk mengurusi rakyatnya pada saat itu. Beliau langsung membagikan sepotong emas kepada rakyatnya ketika beliau ingat menyimpan sepotong emas.
Saat masa kekhalifahan pun, para khalifah melakukan hal sama seperti yang nabi contohkan. Seperti contohnya pada masa kekhalifahan umar bin khattab yang mendistribusikan harta rakyat sesuai data kependudukan yang benar adanya.
Dalam manajemen pendistribusian ini sudah dilakukan secara profesiaonal sejak masa kekhalifahan umar bin khattab, karena pada masa itu wilayah kekuasaan Islam sudah meluas hingga luar arab dan penduduk muslimnya pun semakin banyak.
Khalifah Umar juga mendistribuaikan harta rakyat melalui Baitul mal, pengelolaan Baitul mal ini dilengkapi dengan sistem administrasi yang tertata baik dengan membentuk diwan. Dalam pengelolaan Baitul mal khalifah Umar dan amilnya sebagai pemegang amanah. Pengelolaan Baitul mal ditingkat cabang dilakukan oleh pejabat setempat dan tidak bertanggung jawab pada gubernur. Pejabat-pejabat Baitul mal di cabang/provinsi mempunyai otoritas penuh dan bertanggung jawab pada pemerintahan pusat (khalifah).
Selain itu beliau juga membentuk al Diwan yaitu lembaga bagian dari Baitul mal yang mengurusi/mengatur pemasukan serta penyaluran dana untuk pengurus tunjangan serta jaminan sosial kepada yang berhak dengan ketentuan yang sudah ditetapkan sesuai yang tertulis dalam arsip-arsip (kumpulan buku) dan berisi daftar distribusi harta negara. Beliau menyuruh komite nassab untuk mendata setiap penduduk agar saat pendistribusian harta negara berlangsung dengan adil.
Rincian pengeluaran Bait al-mal di masa khalifah Umar pasukan dan veteran perang Badar adalah 5.000 dirham, orang yang datang setelah perang Badar sampai perjanjian Hudaibiyah sebesar 4.000 dirham, orang yang datang setelah perjanjian Hudaibiyah sampai akhir perang Riddah sebesar 3.000 dirham, orang yang ikut dalam penakhlukan Syam dan perang Qadasiyah sebesar 2.000 dirham, orang-orang yang bergabung setelah perang Qadasyiah di Irak dan perang Yarmuk di Syam sebesar 1.000 dirham dan yang turut hadir dalam perang Qadasiah dan perang Yarmuk namun tidak ikut perang sebesar 200-500 dirham. Untuk tunjangan kepala daerah, hakim dan pegawai perpajakan, Umar menetapkan upah harian, bulanan dan tahunan.
Selain melakukan pendistribusian yang adil, Khalifah Umar juga melakukan pengawasan terhadap harta baitul mal maupun para pegawainya. Pengawasan yang dilakukan merupakan pengawasan internal dan eksternal.
Pengawasan internal dalam hal ini adalah menunaikan amanah merupakan kewajiban setiap muslim, bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya, melakukan evaluasi sebelum dievaluasi orang lain dan meyakini Allah senantiasa mengawasi segala aktivitasnya.
Sedangkan pengawasan eksternal berupa melakukan pengecekan dan penghitungan harta pegawai yang akan diangkat terutama gubernursebelum dan setelah tugasnya selesai. Jika ditemukan adanya kelebihan harta setelah selesai menjabat, maka harta tersbut akan dikembalikan kepada Baitul mal.
Adapun cara yang dilakukan Umar dalam mengawasi pengeluaran harta Baitul mal adalah sebagai berikut.
Pertama, mensensus orang yang berhak mendapat gaji dan mendaftarkan namanya dalam buku tersebut untuk memastikan siapa yang sudah dan belum menerima haknya, sehingga tidak ada seorangpun yang luput untuk mendapatkan haknya disamping untuk menghindari memperoleh bagian yang lebih.
Kedua, khalifah Umar membatasi gaji dengan jumlah batasan pertahun yang tetap dimana ditetapkan bagi setiap orang jumlah gajinya dari Baitul mal sesuai dengan dasar ketentuan yang berlaku. Pendistribusiannya gaji diberikan kepada pemimpin wilayah/ gubernur kemudian mereka memberikannya kepada yang berhak dalam wilayahnya tersebut.
OpKetiga, untuk menjamin sampainya hak kepada pemiliknya, khalifah Umar memiliki aturan untuk memilih para pemimpin, dan penjaga Baitul mal. Dengan adanya diwan tersebut tidak bisa dipungkiri telah memberikan kemudahan dalam mengontrol arus kas, baik pemasukan maupun pengeluaran serta menjadikan sumber pemasukan lebih terkontrol begitu juga pengeluarannya yang dimudahkan dengan perhitungan tahunan.
Bagi yang melakukan peyelewengan dalam mengelola Baitul mal akan dikenakan sanksi. Seperti mengumpulkan harta kharaj dari kufah (Irak). Ketika hal ini diketahui oleh khalifah Umar, maka khalifah minta pendapat orang banyak tentang hukuman yang akan diberikan.
Selain pemenuhan kebutuhan pokok, Islam juga menjamin pendidikan gratis bagi seluruh warga negara muslim dan nonmuslim, kaya maupun miskin, untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) yang disediakan negara. Jadi kita tidak perlu menjadi miskin untuk mendapat bantuan pendidikan ini.
Sebagai masyarakat miskin, tidak perlu lagi untuk bersusah payah dalam mendapat haknya. Bagi yang kaya pun tidak perlu dibebankan pajak seumur hidupnya karena dalam sistem Islam pajak bukanlah satu-satunya pendapatan negara.
Pajak merupakan penapatan alternatif negara dan hanya akan dikenakan pajak saat kas baitul mal benar-benar kosong. Dan itupun tidak semua rakyat dikenakan pajak, hanya orang-orang tertentu saja.
Inilah bukti kecil betapa suksesnya ketika sistem Islam diterapkan. Semua urusan politik, ekonomi, keamanan, dan pendidikan sudah ditentukan dalam syariat Islam. Wallahu alam bishawab
Ilustrasi freepik
Tags
Opini