Covid Meroket, Ada Apa dengan Lockdown?




Oleh : Eri*


Penurunan kasus harian covid-19, membuat Indonesia lengah. Merasa kondisi terkendali, pelbagai aturan dan prokes mulai disepelekan. Bahkan kerumunan tak terhindari lagi, akibat kebijakan pemerintah yang membuka kembali pasar, mall dan tempat pariwisata. Tak heran, 'tsunami' covid-19 pun menghantam Indonesia. 

Ledakan covid-19 mendongkrak Indonesia masuk dalam empat besar peringkat di dunia dengan kasus aktif 542.236 (databoks.katadata.co.id 19/7/21). Akibatnya, sektor kesehatan mengalami kolaps. Kapasitas rumah sakit yang overload, kelangkaan oksigen dan diperparah dengan tingginya jumlah tenaga medis yang terpapar virus, menambah daftar panjang buruknya situasi saat ini.

Berbagai upaya dan usaha dilakukan dimulai dari kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM)  Darurat, program vaksinasi massal, ditunjang testing, tracing, treatment (3T) yang mumpuni dan penerapan protokol kesehatan 5M yang ketat. Hingga kebijakan PPKM yang berakhir tanggal 20 Juli diperpanjang selama lima hari. 

Faktanya, baik program atau kebijakan yang dicanangkan pemerintah menuai polemik. PPKM dinilai gagal, kemacetan di jalan menjadi bukti mobilitas masyarakat di lapangan tidak berkurang. Masih banyak warga yang berkerumun, seperti di cafe atau restoran bahkan pedagang kaki lima yang masih berjualan. Ketidakpatuhan masyarakat dipicu masalah perut yang tidak terpenuhi oleh pemerintah. 

Di satu sisi, kebijakan tersebut mendiskriminasikan rakyat kecil. Aktivitas mereka di ruang publik dibatasi bahkan dilarang tanpa ada jaminan kebutuhan mereka terpenuhi. Sehingga, mereka hampir tidak merasakan hasilnya dari kebijakan tersebut. Maka wajar, masyarakat semakin malas menaati kebijakan pemerintah yang berubah-ubah.

Rakyat tidak butuh gonta-ganti istilah tapi solusi tuntas. Sejak awal pandemi, pemerintah enggan mengeluarkan kebijakan karantina wilayah atau lockdown. Keengganan pemerintah untuk lockdown, lagi-lagi terbentur dengan kepentingan ekonomi. Demi menyelamatkan ekonomi yang kian suram, rakyat jadi tumbal.

Ironisnya, ekonomi bukan satu-satunya alasan. Ada kewajiban yang harus dilaksanakan pemerintah bila lockdown diterapkan, yaitu menjamin kebutuhan rakyat terpenuhi. Sesuai pasal 8 UU 6/2018, pemerintah wajib memenuhi kebutuhan dasar seperti medis, pangan dan kebutuhan sehari-hari selama karantina. Sedangkan pemerintah tidak sanggup jika harus menanggung seluruh kebutuhan rakyat, sebab anggaran negara yang defisit ditambah beban utang mencapai 6.000 triliun.

Karut-marut kebijakan yang terjadi tidak terlepas dari sistem pemerintahan yang diemban negara. Sistem kapitalis yang berasaskan materi (untung-rugi), wajar bila mengutamakan sektor ekonomi daripada keselamatan rakyat. 

Sungguh miris, kebijakan negara yang zalim hanya menambah panjang penderitaan umat. Seandainya negara menghentikan sejenak aktivitas ekonomi, maka tidak banyak umat yang terinfeksi virus. Sistem kapitalis telah menghilangkan peran negara yang meriayah umat. 

Berbeda dengan Islam, yang sigap menangani wabah. Bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wassalam menunjukkan cara pengendalian pandemi yang melekat dalam praktik Islam.

Hakikatnya, lockdown merupakan langkah strategis dalam menangani pandemi, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, “Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat, maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu, maka janganlah keluar darinya.” (HR Muslim)

Selain itu, Khalifah Umar bin Khattab memberikan contoh cara mengatasi wabah seperti wabah tha'un di negeri Syam. Khalifah Umar membatalkan rencananya ke Syam setelah mendapat saran dari sesepuh Quraisy yang hijrah saat penaklukan Makkah. 

Amr bin Ash yang menjabat sebagai wali saat itu, berhasil merumuskan metode memutus mata rantai penyebaran wabah. Beliau melakukan isolasi wilayah, tidak mengizinkan penduduk yang tinggal di daerah wabah untuk keluar dan larangan orang-orang memasuki daerah tersebut. Hal ini dilakukan setelah beliau memisahkan orang sakit dengan yang sehat. 

Tentunya, negara menjamin kebutuhan hidup umat selama karantina. Negara juga wajib mengedukasi umat tentang bahaya wabah ini dan bagaimana sikap seorang muslim serta solusi paripurna untuk menyelesaikan wabah. 

Demikianlah, cara Islam ketika menghadapi wabah dengan solusi lockdown syar'i. Semua urusan umat dikelola oleh negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah. Niscaya, pandemi yang meroket akan segera berakhir.

Waallahu a'lam bis shawwab.


*(Pemerhati Masyarakat)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak