Oleh : Ummu Hanif, Pengamat Sosial Dan Keluarga
Pandemi kali ini memang telah menerjang siapa saja. Segala sektor kehidupan juga ikut limbung karenanya. Masyarakat banyak yang tidak bisa berpikir jernih. Terlebih daya literasi masyarakat Indonesia memang tergolong rendah. Jadi, adalah hal yang wajar jika banyak masyarakat yang termakan berita hoaks seputar wabah, bahkan muncul sikap meremehkan. Bahkan, ketika kasus harian hampir tembus 40 ribu dan menjadikan Indonesia penyumbang kasus Covid-19 terbesar kedua di dunia, ternyata masih banyak masyarakat yang tidak percaya Corona itu ada.
Kalau kita perhatikan, sikap masyarakat ini tak lepas dari sikap penguasanya. Pada awal pandemi, penguasa telah bersikap meremehkan terhadap virus ini. Pejabat-pejabat publik membuat pernyataan yang bernada meremehkan, misalnya menyatakan Corona tidak akan masuk ke Indonesia, bahkan penggunaan masker dianggap tidak perlu.
Ketika virus Corona telah masuk ke Indonesia pun, sikap penguasa masih terkesan meremehkan. Demi mengejar pemasukan dari sektor pariwisata, wisatawan asing dibiarkan masuk. Tenaga kerja asing juga dibiarkan masuk. Pusat perbelanjaan dan tempat wisata tetap buka, demi alasan ekonomi. Jadi, adalah hal wajar jika akibat sikap abai penguasa ini, rakyat pun ikut abai.
Hal ini tercermin dalam berbagai kejadian yang tentu sangat bisa disaksikan. Kerumunan tetap terjadi, seolah Covid-19 sudah hengkang dari negeri ini. Hajatan digelar besar-besaran, dan dilakukan juga oleh para pejabat. PPKM sudah diberlakukan, tapi di berbagai wilayah tampak jalanan ramai hilir mudik masyarakat, seperti hari-hari biasa. Prokes pun banyak dilanggar dan diabaikan.
Sistem kesehatan di Indonesia benar-benar sempoyongan menghadapi pandemi Covid-19. Setelah mendapat sorotan dunia akibat lonjakan pasien, kian menipisnya stok oksigen, serta membludaknya antrean pasien Covid-19, bahkan antrean di tempat pemakaman umum.
Demikianlah, masyarakat telah mengalami distrust akut pada penguasa, sementara penguasa tak mampu tampil gagah merumuskan kebijakan yang mampu menghentikan laju penularan virus. Jauh-jauh hari, para ahli sudah ramai memperingatkan akan serangan gelombang kedua kasus corona di Indonesia. Warning ini bukan tanpa alasan, mengingat hubungan masyarakat dan penguasa yang kian tak harmonis selama wabah terjadi.
Warning keras para ahli beberapa bulan lalu kini terbukti. Kasus Covid-19 terus melonjak. Rumah sakit disesaki pasien Corona, angka kematian akibat Covid melonjak, tenaga kesehatan kian kewalahan, masyarakat pun masih ada saja yang tak acuh dengan prokes, belum lagi hoaks seputar vaksin dan obat Corona yang kian memorak-porandakan aspek kuratif rehabilitatif pelayanan kesehatan di negeri ini.
Penguasa seharusnya mampu menjembatani buah pikir para ahli untuk menangani pandemi. Penguasa juga harus mampu merebut kepercayaan masyarakat untuk menaati seluruh prokes yang mampu menjauhkan mereka dari penularan virus corona. Penguasa juga harus berani memutuskan kebijakan yang dapat memutus mata rantai penyebaran virus corona.
Secara umum, mekanisme yang harus dilaksanakan untuk memutus mata rantai penularan virus dimulai dari kedisiplinan individu menjalankan protokol kesehatan. Pemerintah harus mengerahkan upaya untuk melakukan edukasi mengenai prokes secara berkelanjutan dan mengontrol pelaksanaannya. Demikian juga pelaksanaan testing, tracing dan treatment tidak boleh kendur. Kedisiplinan menjalankan prokes, upaya 3T meski vaksinasi sudah digalakkan, adalah rangkaian upaya yang harus terus dilakukan untuk menekan laju penularan virus.
Pada masa Islam berjaya, wabah bukannya tak pernah terjadi. Namun, Rasulullah saw. telah membangun fondasi yang kokoh bagi terwujudnya upaya preventif dan kuratif yang kurang lebih sama dengan pola penanganan wabah saat ini. Upaya preventif seperti mewujudkan pola emosi yang sehat, pola makan yang sehat, aktivitas yang sehat, serta upaya menjaga kebersihan. Adapun upaya kuratif yang dilakukan sebagaimana disarankan oleh Rasulullah Muhammad saw. adalah berobat.
Baik upaya preventif maupun kuratif rehabilitatif, wajib diselenggarakan oleh negara melalui pembiayaan yang bersumber dari baitulmal. Dengan biaya dari baitulmal ini, Khilafah juga membangun berbagai rumah sakit, klinik, laboratorium medis, apotek, menyelenggarakan pendidikan yang menghasilkan output berupa tenaga medis profesional yang dipersiapkan sebagai tenaga siap pakai untuk mengatasi kedaruratan masalah kesehatan masyarakat.
Wallahu a’lam bi ash showab.