Oleh Rianny Puspitasari
Pendidik
Pandemi menggila, kebijakan PPKM darurat berlanjut PPKM level 3 dan 4 pun diterapkan. Di tengah kasus positif yang kian terus merangkak, kebijakan rakyat agar tak beranjak dari rumah pun diambil. Namun nyatanya, tak sedikit rakyat kalangan bawah yang tidak bisa berdiam diri, bukan karena tak ingin, tapi harus mengais rezeki demi secuil nasi. Berikutnya, masalah baru muncul, razia, pembubaran dan pengusiran dipertontonkan oleh aparat yang bertugas untuk mengamankan berjalannya kebijakan. Harapan untuk mengurangi mobilitas masyarakat menjadi tujuan digelarnya PPKM ini. Hanya saja tentu ini menjadi kebijakan yang dilematis kala satu sisi ingin menekan pergerakan masyarakat, namun rakyat bingung karena tidak ada solusi bagi perut mereka yang membutuhkan pemenuhan dan tidak bisa ditunda.
Sebenarnya rencana pemerintah untuk mengimbangi masalah ini adalah dengan memberikan bantuan sosial (bansos) bagi rakyat miskin dan membutuhkan. Namun, hingga PPKM hampir berakhir, penyaluran bansos tidak juga berjalan lancar, tersendat, bahkan parahnya salah sasaran. Data yang tidak akurat dan lambannya gerak penyaluran bansos ini tentu menuai kekecewaan banyak pihak, sekali lagi rakyat miskin yang menjadi korban. Hal ini kemudian menuai tuntutan dari Anis Byarwati, Anggota Komisi XI DPR F-PKS, “Karena itu saya mendesak pemerintah agar segera menyalurkan bantuan sosial tunai maupun non-tunai kepada masyarakat miskin dan rentan miskin dengan data yang akurat dan valid agar bantuan tepat sasaran”. (Liputan6.com, 13/07/21)
Ini yang terjadi di kalangan akar rumput. Bila kita tengok di kalangan elite, maka yang sedang terjadi adalah persetujuan PMN tahun anggaran 2022 sebesar 72, 449 triliun rupiah oleh DPR atas usulan pemerintah. Penyertaan Modal Negara ini rencananya diperuntukkan bagi 12 perusahaan pelat merah, yaitu: PT Hutama Karya, PT Aviasi Pariwisata Indonesia, PT PLN, PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT KAI, PT Waskita Karya Tbk, PT BPUI, PT Adhi Karya, PT Perumnas, PT Bank Tabungan Negara, PT RNI dan PT Damri. (Kontan.co.id, 14/07/21)
Jika dicermati, tentu rasanya ada keganjilan. Satu sisi yang saat ini mendesak adalah pemenuhan kebutuhan pokok masayarakat yang terdampak akibat pandemi, juga perlunya kebijakan yang selaras dengan penyelesaian pandemi yang sedang kita hadapi. Tapi di sisi lain, sayangnya pemerintah malah mengalokasikan anggaran yang tidak efektif mengantisipasi dampak Covid-19. Selain anggaran PMN juga ada anggaran untuk bantuan pra-kerja, alokasi dana desa yang sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan pandemi virus yang sedang dihadapi saat ini.
Inilah watak kapitalisme. Kapitalisme telah melahirkan rezim yang hanya mementingkan kepentingan para kapitalis dan korporasi sekalipun di masa pandemi. Ironis memang, ketika rakyat sedang mengalami kelaparan namun rezim malah mengeluarkan kebijakan yang menyakiti hati rakyat. Rakyat seolah hanya dijadikan ‘medium pencitraan’ demi mempertahankan kekuasaan dan jabatan. Tidak benar-benar diperhatikan dan dipedulikan. Hal ini nampak dari bantuan sosial yang dikeluarkan pemerintah selama ini hanya bersifat sementara, pun tidak menjamin semua kebutuhan primer lain seperti pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain-lain. Kebutuhan asasi tersebut tetap harus rakyat bayar sendiri, terlebih untuk mendapat kualitas yang baik. Sangat khas sistem hidup kapitalisme.
Jauh berbeda dengan sistem Islam di bawah pengelolaan Daulah Khilafah. Kebutuhan pokok rakyat harus dipenuhi dan dijamin pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Daulah harus memastikan untuk kebutuhan pangan, papan dan sandang dipenuhi oleh kepala keluarga atau yang bertanggung jawab terhadap anggota keluarganya (wali). Tanggung jawab daulah adalah menyediakan lapangan kerja bagi para laki-laki dewasa. Seandainya tidak ada pihak keluarga yang menanggung atau tidak mampu karena suatu hal, maka menjadi tanggungan negara. Adapun pendidikan, kesehatan, dan keamanan menjadi tangung jawab negara dengan memberikan fasilitas terbaik secara gratis atau biaya sangat terjangkau, baik bagi muslim maupun non-muslim.
Ini terjadi dalam situasi normal. Terlebih jika dalam masa pandemi, daulah akan dengan sigap memisahkan wilayah yang terinfeksi dengan yang tidak. Daulah akan menanggung semua kebutuhan rakyat yang berada di wilayah karantina, menyalurkan bantuan sosial secara langsung dan masif tanpa perlu administrasi birokrasi yang rumit. Sedangkan wilayah yang tidak terinfeksi bebas menjalankan aktivitas seperti biasa. Dengan demikian pandemi tidak akan berkepanjangan dan mampu terkendali.
Penguasa dalam Islam, menjadikan rakyat sebagai pihak yang harus diurus dan dilayani, bukan sebagai konsumen atau pihak yang diambil keuntungan darinya. Jabatan penguasa adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan, sehingga itu menjadi faktor pendorong untuk senantiasa memberikan yang terbaik dalam pelayanan. Perintah Allah swt. melalui teladan Rasulullah saw. menjadi spirit ruhiyah yang akan membuat penguasa takut berbuat dzalim dan senantiasa merasa diawasi sehingga terjaga dari perbuatan maksiat yang membuat rakyat menderita.
Demikian luar biasanya sistem Islam dalam mengelola negara, rapih, detail dan tidak main-main. Sistem yang berasal dari Sang Pencipta manusia tentu akan bisa mengantarkan umat pada kebaikan dunia akhirat. Oleh karena itu, apa lagi yang kita ragukan untuk segera kembali pada pangkuan Islam dengan menerapkan seluruh aturannya dalam kehidupan?
Wallahu ‘alam bishshowab.