Oleh: Ilmi Mumtahanah
(Pemerhati Kebijakan Publik)
Jelang Hari Raya Idul Adha 1442H, harga sejumlah bumbu dapur mulai mengalami kenaikan. Seperti yang terjadi di Pasar Raya Mekongga, Kecamatan Kolaka, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Beberapa jenis bumbu dapur sudah mengalami kenaikan harga seperti cabai besar, cabai keriting, bawang merah serta bawang putih (Telisik.id, 14/07/2021).
Untuk cabai besar dan cabai keriting yang sebelumnya seharga Rp 30 ribu - 35 ribu per kilo, kini naik menjadi Rp 35 ribu - 40 ribu per kilonya. Kemudian bawang putih dan bawang merah sebelumnya dibanderol dengan harga Rp 30 ribu per kilo, naik sebesar Rp 35 ribu per kilonya. Sementara untuk cabai rawit terjadi penurunan harga dari bulan lalu.
Cabai rawit yang sebelumnya Rp 75 - 80 ribu per kilo, kini turun menjadi Rp 60 - 70 ribu per kilonya. Untuk tomat, tidak mengalami perubahan harga dari bulan sebelumnya yaitu kisaran Rp 13 ribu - 15 ribu per kilonya.
Sepekan jelang lebaran haji saja sudah ada lonjakan, terlebih 2 atau 3 hari menjelang Idul Adha, biasanya akan terjadi lonjakan harga yang sangat signifikan.
Para pedagang mengungkapkan, kenaikan tersebut disebabkan karena mayoritas bumbu dapur tersebut didatangkan dari luar Kabupaten Kolaka tepatnya berasal dari daerah Enrekang dan Malino, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel).
Alasan lainnya dikarenakan intensitas curah hujan yang tinggi beberapa pekan terakhir, sehingga ikut menyebabkan perubahan harga bumbu dapur.
Sementara bagi para pembeli di Pasar Raya Mekongga, kenaikan harga bumbu dapur itu sudah biasa terjadi dan dialami setiap tahunnya, terlebih ketika ada momen hari besar Islam. Setiap tahun jelang lebaran Idul Adha, Idul Fitri, pasti terjadi kenaikan harga. Mau tidak dibeli tapi kebutuhan. Serba salah.
Menyikapi hal ini, kebijakan praktis pragmatis tidak bisa mengurai problem karena jauh dari akar persoalan yang ada. Pada dasarnya, harga pangan yang melonjak sehingga sulit dijangkau rakyat, berpangkal dari lemahnya fungsi negara dalam mengatur sektor pertanian pangan akibat paradigma kapitalisme neoliberal. Sistem ini telah memandulkan peran pemerintah tidak lebih dari sekadar regulator dan fasilitator, bukan sebagai penanggung jawab urusan rakyat.
Pengelolaan dan pemenuhan kebutuhan rakyat justru diserahkan kepada korporasi, sehingga menjadi proyek bancakan untuk mengejar keuntungan. Berbagai aturan yang dibuat pemerintah malah memfasilitasi masuknya para pemodal dalam bisnis hajat asasi ini.
Korporatisasi yang begitu masif di sektor ini menyebabkan stabilitas harga tidak pernah terwujud, bahkan ketahanan dan kedaulatan pangan makin jauh dari kenyataan. Penguasaan korporasi di aspek produksi menyebabkan mayoritas stok pangan berada di tangan swasta, bukan dalam kendali negara.
Maka, wajar bila Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian (BKP Kementan) menyatakan sulit bagi pemerintah untuk menstabilkan harga, sebab pemerintah tidak dapat menguasai 100 persen produksi pangan. Padahal, bagaimana mungkin pemerintah bisa menstabilkan harga jika negara tidak menguasai stok pangan? Bahkan sebaliknya, menjadikan pemerintah bergantung pada korporasi.
Begitu pula ketika negara absen dalam pengaturan rantai tata niaga pangan, memfasilitasi tumbuh suburnya spekulan/mafia pangan yang notabene sebagiannya korporasi pangan itu sendiri.
Praktik spekulasi dan kartel pangan sukar dihilangkan karena korporasi lebih berkuasa daripada pemerintah. Penahanan/penimbunan bahan pangan yang berakibat melambungnya harga, sangat sulit ditertibkan.
Sementara, ketika negara hadir melalui BUMN atau BUMD untuk stabilisasi harga, kehadirannya seperti korporasi yang bertujuan mencari untung. Dalam berbagai proyek pengurusan pangan rakyat, BUMN tidak semata-mata melayani hajat rakyat, akan tetapi ikut mengejar profit.
Disertai pula faktor lemahnya penegakan sanksi yang makin meleluasakan para pelaku kejahatan pangan untuk beroperasi. Sanksi yang dijatuhkan tidak memberikan efek jera dan sifatnya pun tebang pilih. Hukum hanya menjerat pelaku kecil, tetapi para kartel dan mafia kelas kakap sangat sulit ditindak.
Berbeda dengan Islam, mekanisme pasar merupakan interaksi antara permintaan dan penawaran. Sehingga, menentukan terjadinya suatu harga tertentu terhadap barang atau jasa. Adanya interaksi permintaan dan penawaran mengakibatkan perpindahan suatu barang atau jasa di antara pelaku ekonomi, yaitu produsen/supplier, konsumen, dan pemerintah. Jadi, syarat terjadinya mekanisme pasar adalah adanya kegiatan transfer suatu barang atau jasa yang dilakukan oleh pelaku ekonomi (produsen/supplier, konsumen, dan pemerintah) melalui kegiatan perdagangan.
Islam menempatkan pasar dalam posisi yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian. Pada masa Rasulullah dan masa sahabat, menunjukan adanya peranan pasar yang besar terhadap kegiatan ekonomi umat. Rasulullah sangat menghargai harga yang dibentuk di pasar sebagai harga yang adil. Rasul menolak adanya intervensi pasar sehingga mempengaruhi harga jika harga tersebut terjadi secara alamiah berdasarkan hukum permintaan dan penawaran. Namun harga yang dibentuk oleh pasar mengharuskan adanya prinsip moralitas (fair play), kejujuran (honesty), keterbukaan (transparancy) dan keadilan (justice).
Sehingga, untuk menjaga stabilitas harga di pasaran, dapat ditempuh dengan dua cara. Pertama, menghilangkan mekanisme pasar yang tidak sesuai dengan syariah seperti penimbunan, intervensi harga, dan sebagainya. Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar harganya naik. Abu Umamah al-Bahili berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang penimbunan makanan.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).
Jika pedagang, importir atau siapa pun yang menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar. Jika efeknya besar, maka pelakunya juga bisa dijatuhi sanksi tambahan sesuai kebijakan pemerintah dengan mempertimbangkan dampak dari kejahatan yang dilakukannya.
Kedua, Islam tidak membenarkan adanya intervensi terhadap harga. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak.” (HR Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Adanya importir, pedagang, dan lainya, jika menghasilkan kesepakatan harga, maka, itu termasuk intervensi dan dilarang. Jika terjadi ketidakseimbangan (harga naik/turun drastis), negara melalui lembaga pengendali seperti Bulog, segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang dari daerah lain.
Dengan demikian, kekhawatiran terhadap lonjakan harga jelang hari raya bisa diminimalisir. Wallahu 'alam.