Ponorogo adalah kota agraris dengan lahan pertanian yang luas, namun sayangnya petani tidak sejahtera. Dana Desa (DD) dari pemerintah pusat harus bisa dimanfaatkan untuk membangun kekuatan ekonomi desa dengan tujuan menjadikan Ponorogo dan Indonesia menjadi maju.
Hal ini diungkapkan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republika Indonesia (DPD-RI) La Nyalla Mahmud Mattaliti saat mengunjungi Ponorogo dan melaksanakan pertemuan dengan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, Selasa (20/4/2021) di Pringgitan/Rumah Dinas Bupati Ponorogo.
“Dengan 281 desa yang ada, seharusnya Ponorogo dapat memanfaatkan Dana Desa untuk dapat membangun kekuatan ekonomi desa. Karena hanya dengan terobosan dalam memanfaatkan DD maka Ponorogo akan bisa mengejar ketertinggalan dari daerah-daerah lain di episentrum Jawa Timur,” ungkap La Nyalla. (Pemkab.go.id)
Apa yang terjadi sebenarnya ?
1. Dana desa sekilas bertujuan mulia namun ternyata ada udang dibalik batu, tujuannya tidak lain untuk meningkatkan indeks kemandirian fiskal yg artinya pajak menjadi target utama melalui ekonomi daerah.
2. Sistem kapitalis tidak pernah memberikan bantuan cuma2 selalu ada timbal baliknya sehingga jelas tujuan dana desa untuk pelepasan tanggungjawab pempus kepada pemda sekaligus pemda dituntut untuk membiayai pempus melalui pajak
3. Berbeda dg khilafah, khilafah merupakan periayah umat
4. Pos pemasukan baitul mal di sistem khilafah bukan berasal dari pajak layaknya kapitalisme
Embargo ekonomi ketika khilafah‘ala minhaj nubuwwah berdiri sudah hampir pasti dilakukan oleh negara-negara Kafir imperialis. Embargo ekonomi ini telah menjadi senjata yang mematikan, sebagaimana yang dilakukan terhadap Libya, Irak dan Iran. Sampai negara yang diembargo tersebut tunduk dan bisa dikontrol. Karena itu, khilafah yang baru berdiri harus mempunyai strategi untuk menghadapi embargo ini.
Empat sumber utama ekonomi negara khilafah :
Negara Khilafah, minimal mempunyai empat sumber ekonomi, yiatu pertanian, perdagangan, jasa, dan industri. Pertanian berbasis pada pengelolaan lahan pertanian, di mana tanah-tanah pertanian yang ada harus dikelola dengan baik dan maksimal untuk memenuhi hajat hidup rakyat.
Ini yang dikenal dengan kebijakan intensifikasi. Jika kurang, negara bisa mendorong masyarakat menghidupkan tanah-tanah mati, sebagai hak milik mereka, atau dengan memberikan insentif berupa modal, dan sebagainya. Ini yang dikenal dengan kebijakan ekstensifikasi. Dengan dua kebijakan ini, negara akan mampu memenuhi kebutuhan pangan di dalam negerinya.
Ditopang dengan perdagangan yang sehat, tidak ada monopoli, kartel, mafia, penipuan dan riba yang memang diharamkan dalam Islam, maka hasil pertanian akan terjaga. Produktivitas tetap tinggi, pada saat yang sama, harga terjangkau, sehingga negara bisa swasembada pangan.
Islam juga mengharamkan barang dan jasa yang haram untuk diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan di tengah masyarakat. Karena itu, hanya barang dan jasa yang halal saja yang boleh diproduksi, dikonsumsi, dan didistribusikan. Dengan begitu, industri sebagai bentuk aktivitas produksi hanya akan memproduksi barang yang halal. Islam juga menjadikan hukum industri mengikuti hukum barang yang diproduksi. Jika barang yang diproduksi haram, maka industri tersebut hukumnya haram.
Begitu juga jasa. Karena Islam hanya membolehkan jasa yang halal, maka tidak boleh ada jasa yang haram diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan di tengah-tengah masyarakat. Upah sebagai kompensasi jasa pun dikembalikan halal dan haramnya kepada jasa yang diproduksi. Jika jasanya haram, maka upahnya pun haram. Hukum memproduksi, mengkonsumsi dan mendistribusikannya pun haram. Dengan begitu, individu, masyarakat dan negara pun sehat.