Work From Bali Bukanlah Solusi




Oleh: Rindoe Arrayah

             Pandemi Covid-19 yang hingga kini belum berakhir menyebabkan beberapa daerah di negeri ini mengalami keterpurukan dalam aspek perekonomiannya, tak terkecuali di Bali yang tak kunjung membaik juga. Untuk itulah, Kemenko Marves mewacanakan rencana Work From Bali (WFB) dalam rangka mengembalikan perekonomian Bali seperti sedia kala pasca pandemi Covid-19 ini.

Keputusan itu disampaikan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dalam Weekly Press Briefing pada Senin (7/6/2021). “Kebijakan ini terus kita persiapkan, rencananya di kuartal ketiga akan kita luncurkan secara bertahap,” tutur dia di Gedung Sapta Pesona, Jakarta, mengutip Kompas.com, Senin (8/6/2021).

Harapannya, rencana ini bisa memberikan multiplier effect terhadap berbagai lapangan usaha. Seperti UMKM, transportasi, event organizer, destinasi wisata, souvenir, dan sektor pendukung pariwisata lainnya. Sehingga perekonomian di Bali bisa bangkit kembali.

Terdapat 25 persen ASN yang diwajibkan oleh pemerintah untuk WFB di tujuh kementerian/lembaga di bawah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi untuk bekerja dari Bali. Kuota ASN yang diwajibkan untuk bekerja di Bali akan mempertimbangkan kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini rencananya akan direalisasikan pada kuartal III 2021.

Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF),   menyatakan bahwa hal ini tidak akan berdampak signifikan untuk mendorong pemulihan ekonomi di Bali. Karena, perekonomi Bali sangat bergantung pada wisatawan mancanegara yang kini menurun hingga minus 100 persen per Maret 2021. Sedangkan, jumlah ASN yang diwajibkan untuk mengikuti WFB tidak sebanding dengan jumlah wisatawan mancanegara yang membanjiri Bali sebelumnya. Oleh karena itu, rencana WFB tidak dapat digunakan untuk meningkatkan perekonomia Bali secara signifikan.

Sementara, pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengutarakan bahwa negara masih memiliki banyak kebutuhan yang seharusnya diutamakan daripada menggunakan anggaran untuk memberangkatkan ASN ke Bali. Kebijakan ini juga dianggap sebagai pemborosan belanja negara dan berpotensi dalam penularan Covid-19.

Program WFB dapat menjadi salah satu pemicu penularan covid-19. Juru bicara vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan dr. Siti Nadia Tarmidzi juga menyampaikan vaksinasi bukan jaminan aman. Artinya, warga yang sudah di vaksin masih memiliki potensi untuk tertular. 

Kemenko Marves bekerjasama dengan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) dalam penyediaan akomodasi dan fasilitas hotel untuk program WFB sebagai pengelola kawasan pariwisata The Nusa Dua Bali. Perlu diketahui, kepemilikan hotel di Kawasan tersebut didominasi oleh pemodal asing. Berdasarkan data kantor Perwakilan Bank Indonesia Bali, porsi PMA ke sektor hotel dan restoran mencapai 52 persen. Sedangkan, PMDN sebesar 42 persen. PMDN sebesar 85 persen dikuasai oleh orang luar Bali. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang direncanakan sebagian besar manfaatnya bukan ditujukan untuk warga Bali sendiri melainkan kepada korporasi.

Jika memang benar kebijakan ini ditujukan untuk kepentingan rakyat haruslah kebijakan ini berpihak pada rakyat. Namun faktanya, manfaat yang dihasilkan dari kebijakan ini lebih besar dirasakan oleh korporasi dibandingkan rakyat sendiri. Selain berpihak pada korporasi, solusi yang diberikan pun mengakibatkan pemborosan pada anggaran belanja negara dan berpotensi penyebaran Covid-19. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang direncanakan tidak melalui pertimbangan yang matang. Solusi yang direncanakan seolah-olah hanya melihat bagaimana dapat memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya pada korporasi.

Fakta di atas menggambarkan sebuah kebobrokan, ketika sistem yang diterapkan saat ini adalah sistem Kapitalisme-Sekularisme yang dijadikan landasan dalam mengatur kehidupan. Sistem inilah yang melahirkan pemimpin yang berorientasi pada para pemodal. Maka, keberadaan  pemimpin pada sistem Kapitalisme bukanlah untuk memfasilitasi kepentingan rakyat melainkan memfasilitasi kepentingan korporasi.

Seandainya kepentinggan rakyat yang lebih diutamakan, tentunya kebijakan yang dibuat haruslah berpihak pada seluruh rakyat yang terdampak Covid-19, tidak hanya sebatas berpihak pada korporasi. Jika kebijakan pemerintah memang berpihak kepada rakyat, seharusnya dari awal munculnya pandemi Covid-19 pemerintah menerapkan kebijakan menutup lalu lintas ke luar maupun ke dalam negeri, serta memberlakukan lockdown secara menyeluruh dalam kurun waktu tertentu. Selama masa lockdown seharusnya pemerintah menghemat anggaran belanja negara dan mengalokasikannya untuk bantuan secara langsung kepada seluruh warga yang terdampak.

Akan tetapi, solusi efektif dan efisien yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat tidak akan pernah terealisasi dalam tatanan kehidupan Kapitalisme. Karena, pembuat serta pelaksana kebijakan pada sistem ini hanya akan berpihak pada kepentingan para pemodal.

Untuk itu, haruslah ada solusi pasti yang bisa menyelesaikan permasalahan ini. Sistem kehidupan seperti apakah itu? Yaitu, sistem kehidupan Islam. Mengapa harus tatanan kehidupan Islam? Hal ini dikarenakan, Islam mengatur bahwa pemimpin harus berpihak dan mengurusi rakyat dengan sebenar- benarnya. Sebagaimana tertuang dalam hadist riwayat Imam al-Bukhari yang berbunyi,  “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.”

Sistem kehidupan Islam membentuk pemimpin yang sadar betul bahwa segala sesuatu yang ia putuskan akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah. Hal inilah yang menjadikan kepemimpinan dalam Islam akan bertindak secara adil, amanah, dan memberikan yang terbaik untuk rakyatnya.

Oleh karenanya, mari bersama kita istikamah dalam memperjuankan tegaknya kembali syari’at Islam di muka bumi ini agar tercapai kehidupan yang rahmatan lil ‘alamiin.

Wallahu a’lam bishshowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak