Pengamat ekonomi Indef, Didik J. Rachbini memperkirakan, pada akhir periode, pemerintahan Jokowi akan mewariskan utang lebih dari Rp10.000 triliun dolar kepada presiden berikutnya. Ini merupakan warisan utang terbesar kepada presiden berikutnya dalam sejarah Nusantara. Ekonom Senior ini meminta pemerintahan berikutnya agar mempersiapkan diri untuk membayar utang yang disebabkan periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo. (www. m. bisnis.coom, 27/4/2021)
Di tengah-tengah bencana Pandemi , kondisi rakyat kian terpuruk. Tak beroleh manfaat dari utang, rakyat malah terbebani oleh tingginya pajak tinggi. Itu terjadi akibat defisitnya anggaran karena terpangkas untuk membayar cicilan utang. Sebuah gambaran dari perekonomian bangsa yang buram.
_Sumber Daya Alam Melimpah, Utang pun Melimpah_
Merujuk pada caratan Kementerian Keuangan , utang pemerintah mencapai Rp6.527,29 triliun pada April 2021. Angka ini setara 41,18 % produk domestik bruto (PDB). Komposisi utang pemerintah didominasi oleh surat berharga negara (SBN) domestik, yakni sebesar Rp4.392,96 triliun. (databoks.katadata.co.id, 10/6/2021).
Adapun Surat Berharga Negara ( SBN) valuta asing tercatat sebesar Rp1.268,58 triliun. Di samping itu, masih terdapat utang pemerintah berupa pinjaman yang didominasi oleh pinjaman dari luar negeri sebesar Rp865,74 triliun. Bila utang itu ditambahkan dengan utang BUMN, perbankan dan nonperbankan yang akan ditanggung negara jika gagal bayar sebesar Rp2.143 triliun, maka total utang publik sekarang akan mencapai Rp8.504 triliun.
Utang terus bertambah dengan alasan, negara membutuhkan uang dalam menjalankan roda pemerintahannya, terlebih pada masa pandemi. Ditambah dengan penerimaan negara yang menyusut akibat melambatnya ekonomi nasional.
Tak urung sebuah tanda tanya besar muncul, mengapa utang terus membengkak sementara sumber daya alamnya melimpah ruah? Bukankah pasal 33 UUD 45 mengabarkan tentang bumi dan air serta kekayaan alam digunakan sebesar-besarnya untuk membuat rakyat sejahtera?
_Hilangnya Potensi SDA karena Salah Tata Kelola_
_Gemah ripah loh jinawi_ merupakan peribahasa bagi bumi Nusantara, yang menggambarkan negeri yang tenteram dan makmur, serta sangat subur tanahnya. Secara fakta memang negeri ini dikarunia
SDA secara melimpah. Ironisnya, kemiskinan semakin meluas. Jumlah penduduk miskin Indonesia pada periode September 2020 mencapai 27,55 juta orang, bertambah 2,76 juta orang bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. (kompas.com, 16/02/2021).
Dibukanya investasi Asing secara luas, membuat sebagian besar SDA negeri diserahkan pengelolaannya kepada korporasi Asing. Terlebih setelah ketok palu Omnibus Law UU Cipta Kerja yang membuat Asing bisa berinvestasi lebih luas. Padahal bila dikelola secara mandiri akan mampu menutupi besarnya anggaran belanja pemerintah, tak perlu lagi APBN bertumpu pada utang.
Mantan Menteri Kelautan Rokhmin Dahuri dalam orasi ilmiah di acara Peringatan Hari Maritim Nasional ke-56 tahun 2020. Ia mengatakan, Indonesia memiliki potensi ekonomi kelautan mencapai USD1,4 triliun per tahun. Artinya, potensi laut Indonesia setara dengan lima kali APBN negara kita saat ini. (liputan6.com 23/09/2020).
Mengapa Indonesia membiarkan SDA-nya dicaplok asing sehingga sumber APBN harus mengambil dari pajak dan utang? Jawabannya, karena tata kelola ekonomi kapitalisme yang melegalkan korporasi besar untuk bisa memiliki SDA tanpa batasan.
Sistem ekonomi kapitalis pula yang membuat negara hanya sebatas regulator. Negara bukannya melindungi SDA dan rakyatnya. Bahkan negara menjadi jembatan yang memuluskan kepentingan asing atas negeri ini. Miris sekali!
Naiknya utang bukanlah semata dari menurunnya sumber pendapatan APBN atau banyaknya belanja negara akibat pandemi. Namun, lebih disebabkan karena tata kelola ekonominya yang keliru, yaitu bercorak kapitalisme neoliberal.
_Penjajahan Lewat Utang Luar Negeri ( ULN)_
Utang Indonesia telah menjadi barang warisan, bahkan berlangsung sejak negara ini merdeka. Presiden Soekarno mewariskan utang pada Presiden Soeharto sebesar 2,3 miliar dolar. Soeharto yang menjabat kepemimpinan negara selama 32 tahun , meninggalkan utang sebesar Rp1.500 triliun pada presiden selanjutnya. Prwarisan utanng itu terus seperti itu hingga kini. (law-justice.co, 8/6/2021).
Utang bisa abadi karena dipelihara oleh pemberi utang. Karena hakikatnya, utang merupakan alat penjajahan negara makmur terhadap negara berkembang. Objek penjajahan dibuat sedemikian rupa agar negara ini terus berutang. Dengan hegemoni penjajahan ini kebijakan negara berkembang dapat disetir sesuai kepentingan negara pengutang.
Abdurrahman al-Maliki dalam buku Politik Ekonomi Islam menuliskan, utang luar negeri untuk pendanaan proyek adalah cara yang paling berbahaya terhadap eksistensi negeri muslim. Sebab, seluruh kebijakannya akan disetir oleh negara debitur.
Selain sebagai sarana imperialisme, ULN senantiasa membuat umat menderita akibat bencana yang ditimbulkannya. Sebesar apa pun utang yang dibuka oleh negeri muslim, hanya akan menambah angka kemelaratan.
Pasalnya, untuk menjaga agar negara berkembang tetap dengan kemiskinannya, utang-utang tersebut diarahkan untuk proyek-proyek konsumtif dan pelayanan umum serta dihalangi untuk pembelanjaan produktif. Mengambil utang tidak akan membawa pada peningkatan kekayaan. Justru yang terjadi adalah ketundukan terhadap dominasi negara penjajah.
Bila demikian, mengapa ULN pembawa bencana ini terus diadakan? Cukuplah pernyataan hakim mahkamah agung Amerika, Wiliam Douglas pada tahun 1962 menjawabya sesuai dengan realitas. Ia mengatakan mengenai alasan negeri-negeri berkembang tetap berutang pada Amerika walau pada kenyataannya utang tersebut semakin memiskinkan negaranya, yaitu karena pejabat-pejabatnya mendapatkan manfaat dari ULN. Realitas besarnya kekayaan para pejabat yang makin tinggi di tengah binasanya rakyat karena kelaparan, cukup membenarkan pernyataan itu.
_APBN Sehat Berbasis Baitulmal_
Utang Luar Negeri ini pada faktanya berbasis riba (interest). Padahal telah jelas dalam Al-Qur’an tentang keharaman aktivitas riba itu. Adalah haram untuk mengambil ULN, apa pun alasannya.
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah: 275)
Seharusnya, pendanaan negara merujuk pada apa-apa yang telah ditetapkan syariat. Karenanya, jika negeri-negeri muslim ingin keluar dari penjajahan negara-negara makmur, mendesak untuk segera menegakkan Islam secara total dan sistemik, yaitu negara khilafah Islamiyah.
APBN dalam sistem Khilafah yang berbasis Baitulmal, telah terbukti sehat, tanpa kekuranga dan membuahkan kesejahteraan. APBN jenis ini kuat dan stabil selama berabad abad. Pendanaan proyek-proyek pembangunan dalam Khilafah tidak bersumber dari utang dan pajak, melainkan dari tiga pos penerimaan yang sudah ditetapkan syariat, yaitu pos Fa'i dan Kharaj, pos Kepemilikan Umum, dan pos Sedekah.
Inilah sistem Islam yang datang dari Allah, Tuhan seluruh alam. Aturan itu bersifat paripurna yang ditujukan untuk menyelesaikan seluruh problematika umat manusia. _Wallahu a'lamu bishshowab._