Vonis Pinangki : Bukti Mustahilnya Terwujud Keadilan Hukum di Sistem Demokrasi



Oleh : Ummu Khaira

Vonis Pinangki Sirna Malasari disunat Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta dari 10 tahun penjara menjadi hanya 4 tahun. Pemotongan hukuman itu pun mendapatkan kecaman berbagai pihak.
Potongan itu diberikan lantaran Pinangki dinilai menyesali perbuatannya. Selain itu, hakim menilai Pinangki adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhannya.

Dituntut 4 Tahun

Ditilik ke belakang, pemotongan hukuman Pinangki itu sama dengan tuntutan jaksa. Dalam tuntutannya kala itu, jaksa hanya menuntut Pinangki dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.

"Menuntut majelis hakim Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta yang mengadili perkara ini memutuskan menyatakan terdakwa Pinangki Sirna Malasari telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam dakwaan subsider dan dakwaan kedua tentang TPPU, dan dakwaan ketiga subsider," kata jaksa Yanuar Utomo saat membacakan amar tuntutan di PN Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (11/1/2021).

Keadilan Hukum Milik Siapa?

Berbicara tentang vonis pinangki tentu tak bisa lepas dari karut marutnya  penyelesaian kasus hukum di negeri ini. Peradilan yang ada saat ini belum mampu  memberantas korupsi. Atau justru bisa jadi peradilan hukum saat inilah yang menjadikan korupsi maupun kriminalitas lainnya tetap tumbuh subur hari ini. 

Seperti yang kita ketahui bahwa vonis 10 tahun bagi jaksa pinangki disunat menjadi 4 tahun saja. Sontak kemudian keputusan ini menjadi polemik ditengah masyarat. Banyak kalangan memprotes karena hal itu dirasa tidak tepat.

Salah satunya dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang tak habis pikir dengan vonis untuk Pinangki tersebut.

"ICW menilai putusan banding PT DKI Jakarta terhadap Pinangki Sirna Malasari sudah benar-benar keterlaluan," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Selasa, 15 Juni 2021.

Menurut dia, ICW menilai Pinangki seharusnya menerima hukuman pidana seumur hidup. Sebab, kata Kurnia, saat melakukan tindak pidana, Pinangki merupakan seorang jaksa yang notabene merupakan penegak hukum. Hal tersebut seharusnya menjadi alasan utama pemberat vonis Pinangki. Terlebih lagi ia telah melakukan kejahatan sekaligus. Korupsi suap, pencucian uang (TPPU), pemufakatan jahat.  Liputan 6 (16/6/21) 

Kondisi ini kian diperparah dengan  lembaga KPK yang dulu digadang-gadang mampu menyesaikan kasus korupsi. Hari ini seolah kehilangan taji. Dengan UU KPK yang membonsai fungsi dan peranan KPK itu sendiri. Supervisi KPK semakin dikerdilkan. Alih-alih pemberantasan korupsi menjadi prioritas utama, petinggi KPK saat ini justru melemahkan KPK sendiri dari dalam dengan menyingkirkan para pegawai melalui tes wawasan kebangsaan (TWK).

Adapun mengenai salah satu alasan hakim memangkas vonis mantan jaksa pinangki atas dasar kemanusiaan karena ia masih mengurusi anaknya yang berusia 4 tahun. Lalu apakabar 
dengan seorang ibu di aceh yang harus dibui beserta bayinya yang berusia 6 bulan. Atau Rismaya seorang Ibu yang terpaksa mencuri karena tuntutan ekonomi yang membawa turut serta bayinya yang berusia 10 bulan di dalam penjara. Sedangan kan 4 anaknya yang lain terpaksa didititipkan di panti asuhan karena ayanhnya juga dipenjara karena kasus kecelakaan. Sungguh sangat mencederai rasa keadilan.

Inilah ironi hukum di negeri yang menganut sistem demokrasi. Saat keadilan bisa dibeli.  Bukan milik rakyat jelata,
tapi keadilan hanya milik mereka yang status sosialnya tinggi. 
Tak ada asas kemanusiaan, yang ada selamanya adalah asas kepentingan. 

Inilah gambaran bobroknya penegakkan hukum Sistem Demokrasi. Yang tidak akan pernah serius berkomitmen memberantas korupsi di negeri ini.

Islam Memandang

Islam dengan kesempurnaan aturannya, akan mampu memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Perbuatan korupsi sendiri (al fasad al mali) disebut perbuatan kriminal sekalipun ulama berbeda pendapat dalam hal ini. sebagian ulama berpendapat bahwa korupsi berbeda dengan mencuri (syariqat). Sebab perbuatan mencuri memiliki ketentuan-ketentuan (Khat) seperti dikenainya sanksi atau hukuman ketika pencurian tersebut telah sampai nisab (1/4 Dinar) atau tidak ada hukuman bagi yang mencuri karena kelaparan (QS 5:3).

Sekalipun berbeda dengan perbuatan mencuri (syariqat), korupsi (al fasad al mali) tetaplah perbuatan kriminal atau jarimah. selayaknya jarimah maka akan mendapatkan sanksi atau hukuman sesuai ketentuan syara. Didalam Islam hukum tidak mengenal gender apalagi kasta. Sebagai mana disebutkan dalam salah satu firman Allah: 

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al Maidah: 38).

Adapun sanksi  bagi pelaku korupsi yang biasanya dilakukan oleh pejabat negara akan diserahkan kepada Qadhi Mazhalim. Apakah akan dikenai hukum potong tangan seperti pencuri ataukah hukuman mati.

Dengan hukum Islam yang tegas ini. Bukan mustahil kasus kriminalitas dapat dibasmi. Keadilan tak akan bisa ditawar-tawar apalagi diperjual belikan. Kaya miskin, rakyat atau pejabat semua sama di mata syara. 

Dalam hal pertimbangan kemanusian. Tak diperlu diragukan. Kita bisa berkaca dari sepenggal  kisah seorang wanita dari kabilah Al ghamidiyah di masa Rasulullah Shalallahu 'alayhi wasallam yang mendatangi beliau kemudian mengaku telah melakukan zina mukhsan dan meminta untuk disucikan. 

Pada waktu itu beliau sebagai pemimpin tidak lantas mempercayai ucapan wanita tersebut karena tidak mampu mendatangkan seorangpun saksi sekalipun membawa pasangan zinanya. beliau menolak permintaan wanita tersebut untuk segera menjatuhkan hukuman. Ketika wanita itu mengaku telah mengandungpun Rasul tetap menolaknya. 

Beliau menangguhkan hukuman bagi wanita tersebut sampai ia melahirkan dan menggenapkan masa menyusui bayinya sampai 2 tahun penuh. Hingga waktunya tiba wanita tersebut mendapat sanksi untuk menebus perbuatan zinanya di dunia. Tapi kelak di akhirat dia tidak ada ditanyai lagi tentang dosanya.

Demikian Keagungan Dan keadilan hukum hanya ada dalam Islam. Hukum yang diturunkan dari zat yang menciptakan manusia dan alam semesta. Sejarah telah membuktikan. 13 bukanlah waktu yang singkat. Selama itulah hukum Islam yang agung diterapkan. 
Berharap adanya keadilan di berbagai lini kehidupan di sistem demokrasi adalah mimpi.   Jika kita bersungguh-sungguh menginginkan keadilan yang hakiki maka kita harus kembali pada aturan dari Zat yang Maha adil itu sendiri.

Wallahu 'alam Bishshawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak