Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Wakil Presiden ( Wapres ) Ma'ruf Amin pada acara bedah buku Darul Mitsaq: Indonesia Negara Kesepakatan, Pandangan KH Ma’ruf Amin mengatakan, hubungan antara Islam dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada dasarnya sudah selesai diperdebatkan oleh para pendiri bangsa (founding fathers) yang di antaranya adalah ulama dan tokoh Islam. Pada saat itu pun para tokoh Islam sudah memberikan argumentasi tentang penerimaan mereka terhadap NKRI yang berideologi Pancasila.
Untuk memperkuat penjelasan tersebut, Ma'ruf mengeluarkan gagasan Darul Mitsaq (negara kesepakatan) sebagai legitimasi hubungan antara Islam dan NKRI. "Gagasan saya tentang Darul Mitsaq memang didorong untuk memberikan legitimasi keagamaan (Islam) terhadap ideologi dan sistem NKRI, karena mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim," katanya dikutip dari rilis Biro Pers Setwapres.
Makruf menambahkan, hal ini dilakukan agar gerakan-gerakan intoleran dapat dihindari. Salah satunya dengan pendekatan wasathiyyah, yakni konsep Islam moderat yang mengandung arti jalan tengah di antara dua sisi atau dua bentuk pemahaman. Menurutnya, pemahaman Islam wasathiyyah adalah pemahaman yang tidak tekstual dan tidak pula liberal, tidak berlebihan (ifrâth) tetapi juga tidak gegabah (tafrîth), dan tidak pula memperberat (tasyaddud) tetapi juga tidak mempermudah (tasâhul).
Adapun implentasi wasathiyyah atau moderasi beragama dalam bingkai Darul Mitsaq di Indonesia, menurut Wapres meliputi empat hal, yakni toleransi, antikekerasan, komitmen kebangsaan, dan akomodatif terhadap budaya lokal dan perkembangan zaman (sindonews.com, 7/6/2021).
Hal ini berkaitan dengan polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai KPK yang salah satu pertanyaannya membandingkan antara Pancasila dan Agama, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis, meminta untuk tidak meminggirkan Al-Qur'an menjadi wilayah privat dan Pancasila ke dalam wilayah publik.
Menurut Cholil Nafis, keduanya bisa diamalkan secara bersamaan, baik privat maupun publik. Di mana salah satunya diminta memilih Pancasila atau Al-Qur'an."Nilai pancasila spiritnya al-Qur'an. Berarti al-Qur'an ya inspirasi dan aspirasi. Pacasila bukan agama tapi isinya dijuwai agama," tulis Cholil Nafis di akun Twitter pribadinya (Sindonews.com, 4/6/2021).
Memang Pancasila bukan agama juga bukan ideologi, sebab tidak masuk dalam kriteria agama maupun ideologi, pancasila tak mengajarkan hukum atau aturan berikut juga tak memberikan sanksi bagi pelanggar sila-silanya. Pancasila justru menjadi alat gebuk rezim kepada rakyat atau pihak manapun yang dianggap berseberangan dengan kebijakan rezim. Sehingga yang muncul adalah kezaliman bukan keadilan sebab kebenaran adalah apa kata rezim, tak ada dalil bakunya.
Sementara Islam begitu tegas membedakan mana halal dan haram. Benar dan salah. "Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui (QS Al Baqarah: 256).
Begitu gamblang Allah menjelaskan perbedaan benar dan salah. Sekaligus juga memberitahu cara bagaimana agar senantiasa berada di jalan kebenaran dan keteguhan. Lantas, jika penguasa yang notabene punya kekuasaan kemudian memerintahkan kita untuk mengambil Islam legitimasi saja, apakah itu bisa dibenarkan secara akidah?
Islam diambil secara jalan tengah, mengikuti kearifan budaya lokal jika syariat memberatkan atau tertinggal zaman. Jelas ini menyalahi kesepakatan founding father itu sendiri. Mereka menghendaki Islam mengatur kehidupan bernegara, meskipun 7 kata dalam pembukaan UUD 1945 telah dihilangkan namun sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa tetap ada. Artinya, kewajiban berketuhanan yang satu itu legal di negara Indonesia. Lantas, mengapa masih perlu dipertanyakan pilih Alquran atau Pancasila?
Akidah bagi seorang Muslim jelas harga mati, kalimat ila haillahu itu fatal jika diingkari, semestinya negara memfasilitasi ini, sebagaimana negara membolehkan agama lain hidup berdampingan dengan Islam meski mereka faktanya tidak menuhankan Tuhan yang Esa. Faktanya, mengapa hanya Islam yang dipersoalkan, siapa yang benci Islam? Mungkinkan sesama Islam, jelas bukan. Tapi kafir.
Maka, moderasi Islam, ini adalah salah satu upaya kafir menghabisi Islam. Kini tak harus mulut dan tangan mereka yang bergerak, namun melalui orang Islam sendiri, yang telah terkooptasi sehingga rela menggadaikan agama dan akidah sendiri demi kepuasaan sesaat. Mereka lalai, beranggapan tak ada siksa neraka akibat kebodohan mereka hari ini. Tunggu saja!
TWK ini benar-benar bermuara pada upaya melencengkan akidah dan menghilangkan agama, terutama Islam, sebab tak ada pertanyaan pilih Pancasila atau Alkitab, Weda, Tripitaka dan sebagainya. Sebagai umat Muslim kita perlu meningkatkan kewaspadaan dan menambah kedekatan kita dengan Allah SWT, agar kita dikuatkan, tak goyah dengan upaya busuk dan propaganda sesat mereka yang hendak memisahkan kita dengan Islam.
Jelas apa yang mereka gagas tak ada dalil yang mendukung, justru jika kita termakan begitu saja kita akan merugi dunia akhirat. Mereka bisa sejauh ini sebab sistem politik demokrasi melindungi mereka, salah satunya melalui kebebasan berpendapat, meskipun pendapat itu menyesatkan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Wajib menjadi pedoman, bahwa Islam adalah agama yang sempurna, sebagaimana janji Allah, barangsiapa berpegang teguh dengan Islam akan mendapatkan keberuntungan. Wallahu a'lam bish showab.
Tags
Opini