Sekian Lama Menunggu, 563 Calon Haji di Kendari Batal ke Tanah Suci





Oleh : Rayani Umma Aqila

Pemberangkatan haji tahun ini terancam batal dikarenakan pemerintah melalui Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas memastikan pada 2021 ini tidak akan ada pemberangkatan calon jemaah haji ke Tanah Suci. Melalui Kemenag telah menerbitkan Keputusan Menteri Agama Nomor 660 Tahun 2021 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Pemberangkatan Ibadah Haji 1442 H/2021 M. Hal inipun berimbas pada seluruh daerah yang sudah setahun lalu tertunda keberangkatannya, dan dari wilayah Sultra sebanyak 563 Calon Jemaah Haji (CJH) Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), kembali batal berangkat ke Tanah Suci. 

Kepala Seksi Penyelenggara Haji dan Umrah, Kemenag Kota Kendari, H Sunardin mengatakan, pembatalan haji tahun ini menjadi tahun kedua bagi 563 CJH Kota Kendari, setelah tahun lalu (2020) juga dibatalkan karena pandemi COVID-19, yang mau berangkat ini sudah mati 10 tahun, karena mereka mereka mendaftar 2012," kata Sunardin. Telisik, id (04/ 6/2021). Sebelum pemerintah Indonesia mengumumkan pembatalan haji, kata Sunardin, 563 CJH tersebut sudah siap untuk diberangkatan jika tahun 2021 diizinkan untuk berangkat. Persiapan yang dilakukan mulai dari dokumen paspor hingga persyaratan vaksinasi COVID-19. Sebelumnya, Menag Yaqut mengungkapkan, kebijakan pembatalan pemberangkatan Ibadah Haji diputuskan dengan mempertimbangkan kesehatan dan keselamatan jemaah ibadah Haji.

Informasi pembatalan telah disampaikan Mentri Agama (Menag) RI, Yaqut Cholil Qoumas di Jakarta,  Kamis (4/6/2021). Dikarenakan, wabah COVID-19 beserta varian barunya masih melanda hampir seluruh negara belahan di dunia, termasuk Indonesia dan Arab Saudi. Yaqut menjelaskan, pemerintah mengambil keputusan ini sebagai jalan terbaik untuk seluruh calon jemaah haji Indonesia. Mengingat pandemi Covid-19 masih terjadi di seluruh dunia. 

Ketidak berangkatan calon jemaah haji ke Tanah Suci ini pun menuai beragam tanggapan, bagaimana tidak haji adalah kewajiban seorang hamba maka penyelenggaraan haji memerlukan pengaturan negara semata untuk memfasilitasi seseorang beribadah dalam rangka mengoptimalkan ibadah haji. Selain sarana dan prasarana pemerintah harus mempertimbangkan pengaturan kuota haji dan umrah, sehingga keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para jamaah haji dan umrah, pengaturan kuota bisa berdasarkan dalil bahwa kewajiban haji dan umrah hanya sekali seumur hidup. Negara juga harusnya bisa memprioritaskan jamaah yang belum pernah pergi ke Makkah. 
Fenomena pembatalan haji yang terjadi secara berulang semakin memperlihatkan  bahwa penerapan sekularisme-kapitalisme merupakan biang dari semua kesulitan hidup. Oleh karena itu polemik pembatalan keberangkatan haji berasal dari asas yang sekuler dalam tata kelolanya sebab hal ini dilihat penyelenggaraan haji hanya dari aspek persiapan di ranah ekonomi saja bukan pelayanan penguasa dalam beribadah. Lebih dari itu adanya keputusan penundaan atau penghentian ibadah haji bisa menyebabkan syiar-syiar Islam terhapus yang hukumnya wajib untuk ditampakkan di tengah masyarakat, sebab ibadah haji adalah salah satu ibadah yang menjadi bagian dari syiar Islam.

Ini menunjukkan pemerintah memiliki kebijakan yang tidak tetap dan selalu berubah-ubah, jemaah haji ditunda keberangkatannya atau dilarang berangkat namun kedatangan TKA asing diberikan keleluasaan di masa pandemi. Tanpa menghiraukan penyebaran virus tersebut. Di dalam negeri sendiri dibukanya pariwisata dan perdagangan sebagai upaya untuk mendongkrak ekonomi. Jelang lebaran  rakyat dibuat tunduk pada aturan larangan mudik dan menunda berkunjung pada orang tua dan kerabat. Namun faktanya  tempat-tempat wisata justru dibuka yang mengundang kerumunan masa. 

Dalam Islam, negara adalah penanggung jawab berbagai urusan rakyatnya. Khilafah memudahkan rakyat melaksanakan ibadah. Demikian pula dalam masalah ibadah haji, termasuk tanggung jawab negara untuk membantu, memfasilitasi, memudahkan, dan menghilangkan berbagai kendala. Rasulullah ﷺ mengabarkan pada kita melalui sabdanya: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Negara akan menunaikannya secara sempurna dan penuh kesungguhan supaya mendapatkan kebaikan dari doa Rasulullah ﷺ dan terhindar dari keburukannya:

"Ya Allah, siapa saja yang memimpin (mengurus) urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah dia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia." (HR. Muslim No 1828). Kemampuan atau kesanggupan bahkan merupakan syarat yang harus terpenuhi untuk menunaikan kewajiban haji, sebagaimana firman Allah SWT, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS Ali Imran [03]: 97).

Ketika Khilafah tegak, maka semua masalah rakyat akan mendapatkan pengurusan yang baik oleh negara. Termasuk pengaturan ibadah haji di masa Khilafah adapun diantaranya, membentuk departemen khusus yang mengurus urusan haji dan umrah, dari pusat hingga ke daerah. Ini terkait dengan masalah administrasi. Pelaksanaannya harus memenuhi prinsip memudahkan, sederhana, terselenggara dengan cepat dan baik (basathah fi an-nizham, sur’ah fi al-injaz) dan ditangani oleh orang yang profesional. Biaya yang dikenakan kepada jemaah sesuai dengan kebutuhan dan jauh dari tujuan bisnis, serta tidak mempersoalkan aspek untung dan rugi. Bahkan boleh jadi negara justru akan mengeluarkan dana dalam rangka memberikan kemudahan kepada jemaah.

Seperti yang dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid II. Khilafah saat itu membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, Khalifah Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah - Madinah). Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal. Seluruh jemaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah - Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau Paspor.

Begitu juga pengaturan kuota haji dan umrah. Khalifah berhak untuk mengatur masalah ini, sehingga keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jemaah haji dan umrah. Dalam hal ini, Khalifah harus memperhatikan: Pertama, kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup. Kedua, kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jemaah yang belum pernah haji dan umrah, sementara sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, mereka akan diprioritaskan. Seluruh kebijakan haji yang dibuat oleh Khilafah akan menjamin pelaksanaan ibadah tersebut terjadi secara sempurna dan menjadi hak bagi setiap Muslim yang sudah memenuhi syarat-syaratnya.

Tak ketinggalan dengan sarana dan prasarana dibuat untuk jalur haji semata demi kemaslahatan mempermudah jamaah haji bukan mencari keuntungan. Bentuk tanggung jawab negara yang seperti ini dalam rangka memberikan pelayanan terbaik rakyatnya, agar mereka dapat beribadah sekaligus menyiarkan agama Islam dan ini hanya didapat dan dilakukan oleh penguasa bermindset syari'at Islam kaffah. Juga menjadi pengingat bahwa hanya dalam sistem Islamlah ketaatan pada syariah secara sempurna bisa terwujud. Wallahu a’lam Bisshowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak