Oleh: Rindoe Arrayah
Kembali, masyarakat dikejutkan dengan adanya berita tentang kebocoran data pribadi yang seharusnya tidak perlu terjadi. Peristiwa ini tentunyan meresahkan dan merugikan.
Dilansir dari KOMPAS.com (21/5/2021), Wakil Ketua Komisi IIIDPR Ahmad Sahroni menilai, perlindungan data pribadi di Indonesia belum disikapi secara serius berkaca dari kasus dugaan kebocoran data 279 juta warga negara Indonesia. Dan isu kebocoran data pribadi penduduk ini bukan yang pertama kali terjadi setelah sebelumnya muncul isu kebocoran data pasien Covid-19.
Sahroni juga menyatakan, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia belum serius untuk melindungi data pribadi, berbeda dengan negara-negara lain yang justru sangat serius memikirkan perlindungan data pribadi warganya.
Bima Haria Wibisana (Kepala Badan Kepegawaian Negara) menyebutkan terdapat sebanyak 97.000 ditemukan data ASN misterius. Negara terus memberikan gaji tiap bulan tapi orang yang dituju tidak ada (fiktif). (nasional.kompas.com, 24/05/2021).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Diantaranya, kurangnya informasi PUPNS (Pendaftaran Ulang Pegawai Negeri Sipil), kesulitan akses PUPNS, status mutasi, meninggal dan berhenti tidak dilaporkan ke instansi BKN, pendataan masih manual, kelalaian biro SDM di instansi dalam mengurus data kepegawaian. (m.merdeka.com, 27/05/2021).
Hal tersebut nenunjukkan bahwa sistem pendataan begitu lemah. Sehingga hampir seratus ribu data yang ditemukan adalah misterius. Namun, Almas Sjafrina (ketua Peneliti Indonesian Corruption Watch) menduga kuat bahwa adanya mafia yang terlibat dalam kasus ini. tak mungkin hanya kesalahan sistem. (nasional.okezone.com, 29/05/2021).
Sungguh memprihatinkan, jika kita melihat fakta di atas. Hampir tujuh tahun berjalan, mereka terus mendapatkan dana atau uang yang tak seharusnya diterima. Bahkan, bisa dikatakan nilainya begitu fantastis. Berapa banyak uang negara yang digunakan? Pastinya tidak sedikit.
Tentunya, hal ini bukanlah sesuatu yang dapat dikatakan sebagai kelalaian. Namun, lebih tepatnya adalah ada unsur kesengajaan dan merupakan sebuah tindak kriminal atau kejahatan karena negara mengalami kerugian yang sangat besar akan hal tersebut.
Seharusnya yang dilakukan negara adalah menjaga data pribadi rakyatnya. Tidak bisa dimungkiri, negara yang menganut sistem Kapitalisme-Sekularisme telah menghalalkan berbagai cara untuk mengumpulkan pundi-pundi harta. Data pribadi ini sangatlah urgen untuk tidak diketahui orang lain. Namun, dengan kebocoran ini menjadikan pihak-pihak tertentu secara otomatis dengan mudah menggunakannya.
Berbeda halnya dengan sistem kehidupan yang diatur dengan Islam yang menerapkan pendataan yang jelas. sehingga seseorang yang bekerja akan diupah sesuai dengan kapasitasnya. Bahkan, bersegera memberikan upah adalah hal yang diperintahkan. Maka, kesejahteraan pun terjamin bagi seluruh warga negara. Rasulullah Saw mengatakan, "Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)
Saat syari’at Islam diterapkan dalam bentuk institusi Khilafah akan menjamin warga negaranya. Sehingga, sangat sedikit kemungkinan untuk melakukan kecurangan dalam mendapatkan upah/gaji. Pertama, setiap warga negara mendapatkan penjagaan dalam hal akidahnya, sehingga apapun yang dilakukan akan berpedoman pada hukum syara'. Kedua, penguasa yang adil. Orientasi daripada para penguasa yang ada dalam Islam adalah ri'ayah asy syuun al ummah atau mengurusi urusan umat. Sehingga, penguasa memposisikan dirinya sebagai pelayan bagi umat. Ketiga, kontrol dari semua pihak baik yang ada dalam tatanan struktur kenegaraan, ataupun lapisan masyarakat lainnya yang menjadi bagian dari warga negaranya.
Oleh karenanya, sudah saatnya sistem Kapitalisme-Sekularisme dicampakkan dari muka bumi dan digantikan dengan risalah Islam yang telah mendunia dalam kurun waktu 14 lamanya dalam naungan Khilafah Islamiyah.
Wallahu a’lam bishshowab.