Oleh Zulia Adi K,SE
(Pemerhati masalah sosial).
Kegaduhan masyarakat terkait polemik RUU KUHP pasal penghinaan presiden masih ramai menjadi perdebatan berbagai pihak.Disebutkan dalam pasal 218 ayat 1 berbunyi:
"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV".
Ancaman hukuman penjara naik satu tahun apabila dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik lainnya. Lalu apakah kritik ke pemerintah termasuk delik pidana? Dalam penjelasan RUU KUHP, hal itu dinyatakan tegas bukan delik pidana.
"Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah," demikian bunyi penjelasan draf RUU KUHP (detikcom, 6/6/2021).
Padahal, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Ketua Bidang Hukum DPP KNPI Medya Rischa Lubis mengatakan bahwa perkembangan di era digitalisasi ini, ketentuan pidana penghinaan dalam UU ITE seringkali membuat gaduh di kalangan masyarakat karena dianggap seperti pasal karet yang banyak disalahgunakan untuk membedakan hinaan dan kritik.
Hal sama juga diungkapkan Ketua Umum DPP KNPI Haris Pratama yang menolak keras apabila disahkan RKUHP dalam pasal 218 dan 220 mengenai penghinaan terhadap presiden, wakil presiden bahkan anggota DPR karena hanya akan membuat gaduh masyarakat dan berpotensi kembali menjadi pasal karet dengan tujuan membungkam kritik terhadap kinerja penguasa.
Jadi jelas disini RKUHP pasal 218 dan 220 hanya sebagai alat bagi pemerintah untuk membungkam kritik dari masyarakat terhadap kebijakan yang telah dibuatnya.Karena sebenarnya UU ITE yang mengatur pidana penghinaan melalui media sosial sudah ada yaitu dalam pasal 27 UU ITE jadi buat apalagi membuat RKUHP terkait masalah itu.Padahal UU ITE pasal 27 ayat 3 tersebut juga potensial dikhawatirkan bisa digunakan untuk membungkam suara-suara kritis.
Di dalam Islam Mengoreksi Penguasa adalah sebuah kewajiban.Salah satu hadits yang mendorong untuk mengoreksi penguasa, menasihati mereka, adalah hadis dari Tamim al radhiyaLlâhu ’anhu, bahwa Nabi Muhammad shallaLlâhu ’alayhi wa salam bersabda:
«الدِّينُ النَّصِيحَةُ»
“Agama itu adalah nasihat”
Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi saw. bersabda:
«لِلّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ، وَعَامَتِهِمْ»
“Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum Muslimin pada umumnya.”(HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim).
Dan Rasulullah saw. pun secara khusus juga memuji aktivitas mengoreksi penguasa zalim, untuk mengoreksi kesalahannya dan menyampaikan kebenaran kepadanya:
«أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»
“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya)
«سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ»
“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath).
Lantas bagaimana Islam memandang ketika mengoreksi penguasa dilakukan di muka umum atau bisa dianalogikan saat ini lewat media sosial ataukah harus secara sembunyi-sembunyi atau hanya empat mata?
Sebenarnya mengoreksi penguasa sebagai bagian kewajiban muslim untuk melakukan amar makruf nahi mungkar harus dilakukan secara terang-terangan, dan tidak boleh disembunyikan. Ini adalah pendapat mu’tabar dan perilaku generasi salafunâ al-shâlih. Namun, sebagian orang berpendapat bahwa menasihati seorang penguasa haruslah dengan cara sembunyi-sembunyi (empat mata).
Menurut mereka, seorang Muslim dilarang menasihati penguasa secara terang-terangan di depan umum, mengungkap kesalahan mereka di muka publik, karena ada dalil yang mengkhususkan. Pendapat semacam ini adalah pendapat batil, dan bertentangan dengan realitas muhâsabah li al-hukkâm yang dilakukan oleh Nabi saw., para sahabat dan generasi-generasi al-salaf al-shâlih sesudah mereka.
Mengoreksi penguasa secara terang-terangan telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. yang mengoreksi pejabatnya terang-terangan
Perilaku Rasulullah saw. dalam mengoreksi pejabat yang diserahi tugas mengatur urusan rakyat (pemerintahan). Beliau saw. tidak segan-segan mengumumkan perbuatan buruk yang dilakukan oleh pejabatnya di depan kaum muslim, dengan tujuan agar pelakunya bertaubat dan agar pejabat-pejabat lain tidak melakukan perbuatan serupa.
Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Humaid Al-Sa’idi bahwasanya ia berkata: “Rasulullah saw. mengangkat seorang laki-laki menjadi amil untuk menarik zakat dari Bani Sulaim. Laki-laki itu dipanggil dengan nama Ibnu Luthbiyyah. Tatkala tugasnya telah usai, ia bergegas menghadap Nabi saw; dan Nabi Muhammad menanyakan tugas-tugas yang telah didelegasikan kepadanya. Ibnu Lutbiyah menjawab, ”Bagian ini kuserahkan kepada anda, sedangkan yang ini adalah hadiah yang telah diberikan orang-orang (Bani Sulaim) kepadaku.”
Rasulullah saw. berkata: ”Jika engkau memang jujur, mengapa tidak sebaiknya engkau duduk-duduk di rumah ayah dan ibumu, hingga hadiah itu datang sendiri kepadamu”. Beliau shallaLlâhu ’alayhi wa sallam pun berdiri, lalu berkhutbah di hadapan khalayak ramai. Setelah memuji dan menyanjung Allah Swt, beliau bersabda,”Amma ba’du. Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian untuk menjadi amil dalam berbagai urusan yang diserahkan kepadaku.
Lalu, ia datang dan berkata, ”Bagian ini adalah untukmu, sedangkan bagian ini adalah milikku yang telah dihadiahkan kepadaku. Apakah tidak sebaiknya ia duduk di rumah ayah dan ibunya, sampai hadiahnya datang sendiri kepadanya, jika ia memang benar-benar jujur? Demi Allah, salah seorang di antara kalian tidak akan memperoleh sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia akan menghadap kepada Allah swt dengan membawanya.
Ketahuilah, aku benar-benar tahu ada seseorang yang datang menghadap Allah swt dengan membawa onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik. Lalu, Nabi saw. mengangkat kedua tangannya memohon kepada Allah Swt, hingga aku (perawi) melihat putih ketiaknya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadis di atas adalah dalil shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw. pernah menasihati salah seorang pejabatnya dengan cara mengungkap keburukannya secara terang-terangan di depan publik. Beliau tidak hanya menasihati Ibnu Luthbiyyah dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi membeberkan kejahatannya di depan kaum Muslim.
Realitas muhasabah yang dilakukan oleh para sahabat ra terhadap para penguasa. Apabila kita meneliti secara jernih dan mendalam realitas koreksi terhadap penguasa yang dilakukan oleh sahabat ra dan para ulama mu’tabar, dapat disimpulkan bahwa mereka melakukan muhasabah dengan berbagai macam cara, termasuk terang-terangan di muka publik.
Riwayat-riwayat berikut ini menjelaskan kepada kita bagaimana cara-cara muhasabah yang mereka lakukan.
Al-Husain bin ‘Ali ra pemimpin pemuda ahlul jannah, memisahkan diri (khuruj) dari penguasa fajir Khalifah Yazid bin Mu’awiyyah. Al-Husain ra dibai’at oleh penduduk Kufah pada tahun 61 H. Beliau pun mengutus anak pamannya, Muslim bin ‘Aqil ra untuk mengambil bai’at penduduk Kufah untuk dirinya.
Tidak kurang 18 ribu orang membai’at dirinya. Di dalam sejarah, tidak seorang pun menyatakan bahwa Al-Husain ra dan penduduk Kufah pada saat itu termasuk firqah (kelompok) yang sesat )”. Ini merupakan cara yang dilakukan oleh Imam al-Husain bin ‘Ali ra untuk mengoreksi (muhasabah) kepemimpinan Yazid bin Mu’awiyyah.
Sebelum Al-Husain bin ‘Ali ra kaum Muslim juga menyaksikan Ummul Mukminin ‘Aisyah ra yang memimpin kaum Muslim untuk khuruj dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Inilah cara Ummul Mukminin ‘Aisyah ra mengoreksi Khalifah Ali bin Abi Thalib . Hingga akhirnya, meletuslah peperangan yang sangat besar dan terkenal dalam sejarah, Perang Jamal.
Al-Jailani berdiri di atas mimbar untuk mengkritik dan memberikan nasihat kepada Gubernur Yahya bin Sa’id yang terkenal dengan julukan Ibnu Mazâhim Al-Dzâlim Al-Qadha. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata, “Semoga orang Islam tidak dipimpin oleh orang yang paling zalim; maka apa jawabanmu kelak ketika menghadap Tuhan semesta alam yang paling pengasih? Gubernur itu gemetar dan langsung meninggalkan apa yang dinasihatkan kepadanya”.Dalam keterangan lainnya, beliau mengoreksi Khalifah al-Muqtafi terang-terangan di atas mimbar masjid karena mengamanahkan jabatan hakim peradilan kepada orang yang berbuat kezaliman-kezaliman.
Kisah-kisah di atas menunjukkan bagaimana cara para ulama shalih dan mukhlish menasihati penguasa-penguasanya. Kisah-kisah semacam ini sangat banyak disebut di dalam kitab-kitab tarikh. Mereka tidak segan-segan untuk menasihati para penguasa menyimpang dan zalim secara terang-terangan, mengkritik kebijakannya di mimbar-mimbar terbuka, maupun fatwa-fatwanya. Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasihati penguasa haruslah dengan empat mata saja, sementara ulama-ulama yang memiliki ilmu dan ketakwaannya justru memilih melakukannya dengan terang-terangan dan terbuka?
Sedangkan sandaran hadis ketidakbolehan mengoreksi penguasa secara terbuka berdasarkan hadis riwayat Imam Ahmad. Sebagian ulama mengharamkan mengkritik pemimpin secara terbuka berdasar hadis Iyadh bin Ghanam, bahwa Nabi saw. bersabda:
«مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ»
“Barangsiapa hendak menasihati penguasa akan suatu perkara, janganlah dia menampakkan perkara itu secara terang-terangan, tapi peganglah tangan penguasa itu dan pergilah berduaan dengannya. Jika dia menerima nasihatnya, itu baik, kalau tidak, orang itu telah menunaikan kewajibannya pada penguasa itu.” (HR Ahmad).
Menurut sebagian ulama, hadis ini dha’if karena sanadnya terputus (inqitha’) dan ada periwayat hadits yang lemah, yaitu seorang perawi bernama Muhammad bin Ismail bin ‘Iyasy, tentang masalah ini bisa dirujuk lebih mendalam dalam kutayb berjudul Al-Jahr wa al-I’lân bi Dha’f Hadîts al-Kitmân fî Munâshahat al-Sulthân karya Abu Marwan al-Sudani.
Wallahu a'lam.