(Oleh : Rantika Nur Asyifa)
PT Hero Supermarket Tbk. (HERO Group) memutuskan untuk menutup seluruh gerai Giant pada akhir Juli 2021. Penutupan gerai Giant ini menjadi bagian dari strategi perusahaan untuk memfokuskan bisnisnya ke merek dagang IKEA, Guardian, dan Hero Supermarket yang memiliki potensi pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan Giant.
Tutupnya toko ritel tentu berimbas pada jumlah pengangguran yang makin tinggi. Tingginya pengangguran dapat berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan, gizi buruk, kriminalitas, perceraian, dan sebagainya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengatakan dampak dari penutupan gerai ritel modern bisa menghilangkan pendapatan negara sebab pengurangan gerai. Selain itu, retribusi pendapatan daerah juga akan hilang.
“Lantaran yang namanya pajak reklame itu sudah tidak mungkin ada lagi, pajak air dan tanah, dan lain sebagainya karena tutup,” Kata Roy kepada Liputan6.com, Selasa (25/5/2021).
Selain itu yang paling prihatin adalah meningkatnya potensi kehilangan daya beli di wilayah tersebut dari pekerja yang di PHK. Otomatis orang yang terkena PHK akan kehilangan daya belinya, sehingga mereka akan mencari pekerjaan baru dan setelah itu mereka akan menekan belanja.
“Terkahir adalah peritel akan kehilangan investasinya, artinya belum sempat ditolong mau tidak mau maka menimbulkan kerugian bagi korporasi. Kerugian korporasi itu bisa berdampak kepada menghilangkan investasi, padahal investasi sedang dibutuhkan,” ujarnya.
Selain itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyebut beberapa hal yang menyebabkan gerai ritel modern tutup di masa pandemi covid-19, salah satunya disebabkan tingkat konsumsi di daerah tersebut rendah.
“Aprindo menyatakan prihatin dan berduka terhadap anggota Aprindo (Hero Supermarket) yang harus menutup gerai Giant-nya, karena kondisi terdampak pandemi covid-19 juga penyebab mobilitas berkurang, seperti adanya PSBB dan PPKM dan rendahnya daya beli,” kata Roy kepada Liputan6.com, Selasa (25/5/2021).
Dampak pandemi pada sektor ritel semakin nyata. Gulung tikar, gelombang PHK massal, dan dampak terkait yang menyertai kolaps nya ekonomi kapitalis hadapi pandemi.
Ketakstabilan ekonomi dalam negeri yang ditandai dengan defisit neraca perdagangan, kebijakan impor yang mematikan produsen lokal, serta inflasi yang menyebabkan melemahnya mata uang rupiah yang menyebabkan harga barang dan jasa cenderung meningkat. Jika harga barang/jasa tinggi, tentu akan menurunkan daya beli masyarakat.
Selain itu, pendapatan masyarakat yang makin berkurang pun akan menurunkan daya beli. Apalagi ditambah angka pengangguran yang tinggi, tentu menyebabkan daya beli masyarakat makin turun drastis lantaran masyarakat tak memiliki uang untuk membeli barang yang harganya tinggi. Inilah yang menyebabkan toko ritel besar tak memiliki pembeli.
Oleh karena itu, fenomena tutupnya toko ritel bukan disebabkan karena pandemi yang mengubah perilaku belanja dari offline menuju online. Melainkan karena krisis global yang menghantam seluruh negara. Adapun pandemi hanyalah sebagai pemicu makin terjerembapnya krisis ekonomi yang berujung pada krisis multidimensi.
Inilah derita hidup dalam sistem kapitalisme, pandemi tak mau pergi, kehidupan pun akan makin terimpit. Perusahaan ritel dan lainnya yang kolaps adalah ulah sistem yang bukan berasal dari pencipta.
Sudah saatnya sistem kehidupan diatur oleh Islam, penanggulangan wabah tak akan berlama-lama. Sebab, satu nyawa saja bagi kaum muslim, harganya setara dengan seluruh dunia dan isinya. Misi menyelesaikan pandemi akan didorong dengan spirit menyelamatkan umat manusia, bukan sekadar menyelamatkan ekonomi dunia.
Wallahu a’lam bisshawab []