Realitas Utang dan Ketidakmandirian Negara



Oleh : Devita Nanda Fitriani, S.Pd (Freelance Writer)

Utang negara kian membengkak. Meski secara teori pembangunan ekonomi, negara berkembang seperti kita memang sangat membutuhkan biaya ataupun investasi untuk mendorong perekonomian sekaligus menyediakan lapangan kerja, namun nominal utang negara saat ini telah menyentuh angka yang mengkhawatirkan.

Hal ini sebagaimana yang dipaparkan dalam website gelora.co (5/6/2021), bahwa utang pemerintah terus bertambah di tengah pandemi Covid-19. Hingga April, Kementerian Keuangan mencatat posisi utang mencapai Rp6.527,29 triliun. Angka ini diperkirakan terus bertambah hingga akhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Menilik dari situasi sebelumnya, dikatakan keberadaan utang negara dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur agar perekonomian bisa membaik serta dimanfaatkan untuk mengatasi krisis akibat pandemi.

Sayangnya, keberadaan utang tak sesederhana yang dibayangkan. Alih-alih dapat mempercepat proses pembangunan yang berujung pada perbaikan ekonomi masyarakat, keberadaan utang justru menjadi bumerang bagi negeri dan pribumi.

 Dampak langsung dari utang yaitu cicilan bunga yang semakin mencekik. Kita tentu menyadari jika di era Kapitalisme menguasai perekonomian saat ini, pinjaman yang diberikan oleh negara pendonor selalu berdampingan dengan besarnya bunga yang harus dibayar.

Selain itu, dengan membengkaknya utang luar negeri maka hilanglah cita-cita kemandirian sebuah bangsa. Hal ini disebabkan oleh syarat dan kondisi yang ditetapkan oleh negara donor. Tak sedikit, negara donor yang ikut campur urusan pembangunan negara lain dengan dalih ‘pemilik saham’. Baik motif ekonomi maupun politik. Pada akhirnya arah pembangunan kita memang penuh kompromi dan disetir, membuat Indonesia makin terjepit dan terbelenggu dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara donor. Hal ini sangat beralasan karena mereka sendiri harus menjaga, mengawasi, dan memastikan bahwa pengembalian dari utang tersebut plus keuntungan atas pinjaman mampu dikembalikan. 

Dengan menumpuknya utang tersebut juga akan semakin memberatkan beban rakyat. Perlu diingat, bahwa pembayaran utang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan dalam APBN itu berisi juga penerimaan pajak, yang berarti uang untuk melunasi utang tersebut diambil dari uang rakyat. Jadi, sebenarnya rakyatlah yang membayar utang tersebut.

Rentetan problem yang membersamai utang ini mestinya menjadi pembelajaran bagi pemerintah bahwa dalam sebuah negara keberadaan pembangunan, untuk mengatasi krisis, serta aktivitas ekonomi lainnya yang membutuhkan suntikan dana merupakan hal yang niscaya. Tapi, yang perlu dipahami, bahwa utang bukanlah satu-satunya sumber pembiayaan serta bukanlah cara terbaik untuk mengatasi permasalahan dalam negeri.

Dengan besarnya kekayaan yang dimiliki oleh negara kita saat ini, mestinya bisa dioptimalkan sebagai sumber pembiayaan pembangunan ataupun untuk menunjang aktivitas ekonomi lainnya, selama SDA tersebut dikelola secara tepat dan hasilnya dikembalikan pada rakyat untuk menopang kesejahteraannya. Tengok saja, Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia sangat melimpah. Banyaknya pertambangan, migas, batubara, kelautan, ataupun kehutanan membuktikan hal itu.

 Tapi penerapan Demokrasi dengan salah satu ciri khasnya, yakni kebebasan kepemilikan telah melahirkan sistem ekonomi Kapitalisme, yang menganggap jika seseorang boleh memiliki dan mengembangkan harta melalui usaha apapun. Termasuk penguasaan berbagai macam SDA oleh segelintir individu. Sehingga, SDA yang seharusnya bisa menjadi salah satu sumber pembiayaan tidak bisa diklaim utuh oleh negara, dan akhirnya mengambil utang berbunga tinggi sebagai solusi. Walhasil, kemandirian ekonomi yang diharapkan tak kunjung terlaksana.

Saat negara tidak bisa membangun sistem ekonomi mandiri akibat Kapitalisme, maka berbeda kisah ketika menjadikan Islam sebagai kiblat pemerintahan. Islam dengan 3 asas ekonomi khasnya, yakni kepemilikan (al-milkiyah), pengelolaan kepemilikan (at-tasharuf fi al-milkiyah), dan distribusi kekayaan ditengah-tengah masyarakat (tawzi’ ats-tsarwah bayna an-nas), akan menjadikan negara yang menerapkannya mengontrol penuh aktivitas ekonomi tanpa intervensi dari pihak lain. 

Terkait kepemilikan misalnya, Islam telah membaginya dalam 3 aspek. Yakni kepemilikan individu, umum, dan negara. Adanya pembagian ini akan menjadikan pos-pos penting seperti SDA yang besar tidak akan dikuasai oleh individu (baik asing ataupun pribumi) tapi akan dikelola oleh negara dan hasilnya akan masuk dalam kas negara (baitul mal) serta didistribusikan kepada rakyat dalam bentuk pembiayaan pembangunan infrastruktur dan aktivitas ekonomi yang lain. Negara juga akan mengoptimalkan sumber-sumber pembiayaan lainnya berupa harta-harta fai’, kharaj, jizyah , dll. yang diizinkan oleh Asy-Syar’i (Sang Pencipta) untuk menambah kas negara.

    Sekalipun ada infrastruktur yang harus dibangun atau  rakyat membutuhkan perkara lain dan menundanya akan menimbulkan dharar (bahaya) bagi umat, sedang kas negara sedang mengalami defisit, maka negara dibolehkan untuk membiayai dengan memungut pajak (dharibah) dari rakyat, tentu saja dengan ketentuan khusus yakni hanya diberlakukan kepada orang-orang kaya saja. Penarikan pajak ini juga dilakukan secara temporer hingga kas negara penuh. Jika waktu pemungutan dharibah memerlukan waktu yang lama, sementara infrastruktur harus segera dibangun, maka negara boleh meminjam (mengutang) pada pihak lain. Utang yang diperoleh tidak boleh ada bunga atau menyebabkan negara bergantung kepada pemberi pinjaman. Walhasil, walau harus berutang, Islam tetap tidak akan memberi celah pihak asing untuk menekan negara, sehingga kemandirian ekonomi tetap akan terwujud.

 Perkara yang sangat berbeda tatkala Kapitalisme mendominasi perekonomian negara saat ini. Maka ketika negara ingin membangun kemandirian Ekonomi, menghapus sistem Kapitalisme dan menggantinya dengan Islam menjadi wajib adanya, termasuk Indonesia. Wallahua’lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak