Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Satu persatu, pemerintah mengumumkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bangkrut dan menanggung hutang. Dilansir dari Detiknews.com, 4 Juni 2021, Menteri BUMN Eric Thohir mengungkapkan utang PT PLN (Persero) saat ini mencapai Rp 500 triliun. Salah satu cara yang dilakukan untuk membenahi keuangan PLN ialah menekan 50% belanja modal (capital expenditure/capex). "PLN itu utangnya Rp 500 triliun, tidak ada jalan kalau PLN itu tidak segera disehatkan. Salah satunya kenapa sejak awal kami meminta capex PLN ditekan sampai 50%, kalau bapak-bapak, ibu-ibu ingat waktu itu seperti itu," katanya saat rapat dengan Komisi VI, Kamis, 3 Juni 2021.
Demikian pula dengan BUMN di bidang konstruksi, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, kerugian itu disebabkan karena penugasan pemerintah yang dibarengi dengan asumsi pertumbuhan ekonomi nasional yang tidak sesuai. Penugasan pembangunan proyek infrastruktur sebelum hingga saat terjadi pandemi Covid-19 sejak awal 2020 lalu. Awalnya dengan asumsi uji kelayakan modelnya optimistis. Ekonomi tumbuh 7-8%, kemudian akan terjadi kenaikan permintaan industri dan daya beli masyarakat.
Menurut Bhima lagi, sebelum pandemi inflasi dalam negeri tercatat rendah karena permintaan tertekan. Akibatnya utilitas proyek konstruksi menjadi rendah. Artinya proyek pemerintah tak sesuai harapan sebab rakyat ketika mengangkut logistik masih memilih jalan arteri, sementara bandara dan jalan tol sepi.
Meski begitu, BUMN Karya ( kontruksi) dinilai tidak akan bangkrut. Sebab proyek yang digarap akan dijamin negara. "Masalah akan muncul ketika risiko kontinjensi membesar, dimana, ujungnya APBN dari pajak rakyat akan dipakai untuk talangi BUMN atau proyek yang bermasalah. Risiko kontinjensi akan berakibat kemana-mana termasuk kepercayaan untuk membeli surat utang pemerintah," kata Bhima lagi (okezone.com,5/4/2021).
Berikutnya, BUMN di bidang transportasi dan akomodasi juga akhirnya mengalami urutan bangkrut, maskapai PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dalam kondisi tidak baik. Perusahaan menanggung rugi sampai US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,43 triliun (asumsi kurs Rp 14.300) per bulan karena pendapatan yang diterima tak sebanding dengan beban biaya yang dikeluarkan.
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, beban biaya yang dikeluarkan tiap bulannya sekitar US$ 150 juta. Sementara, pendapatannya hanya US$ 50 juta. Menurutnya, masalah ini tidak bisa dibiarkan. Proses restrukturisasi terhadap utang mesti dilakukan agar Garuda tetap bisa bertahan. Namun, restrukturisasi juga bukan tanpa risiko. Garuda bisa bangkrut jika restrukturisasi tidak disetujui dan munculnya persoalan-persoalan hukum (detik.com, 4/6/2021)
Secara logika, rakyat Indonesia selalu kontan saat membayar kewajibannya kepada BUMN, entah itu listrik ( PLN) yang ketika telat pembayarannya langsung diputus, air (PDAM) pun tak pernah telat, namun airpun kadang tak tersalurkan dengan sempurna dan cenderung kotor. Dan yang lainnya, namun mengapa BUMN itu masih mengalami kerugian?
Hal ini memang cukup mengherankan, sebab BUMN sebetulnya adalah sebuah badan yang ditugaskan khusus oleh negara untuk mengelola SDA yang menjadi kepemilikan umum, dikelola oleh negara yang kemudian menunjuk BUMN sebagai pelaksana. BUMN akan mendatangkan keuntungan, namuan keuntungan itu dikembalikan kepada rakyat. Hari ini inilah yang tidak terjadi. Sebab BUMN salah orientasi, sehingga mengalami kerugian.
Kinerja BUMN hari ini hanya diukur dengan ukuran untung rugi semata, sebagaimana korporasi swasta. Maka wajar jika BUMN tak mampu menolak gempuran inflasi, wabah dan serangan lainnya, sebab sudah bergeser dari peruntukannya semula. Problem mendasar dari persoalan ini karena kesalahan dasar kapitalisme dalam pengelolaan harta negara dan problem manajemen di BUMN kapitalistik hari ini memperburuk suasana.
Kapitalisme memang tak ada makan siang gratis. Segala sesuatu harus bisa dirubah agar manfaat, artinya apapun asal menghasilkan materi akan dimaksimalkan. BUMN yang semula ada untuk melayani kebutuhan rakyat kini menjadi ATM para kapitalis mengeruk dana segar dari rakyat. Usaha rakyat sebesar apapun menjadi kandas tak berbekas, apalagi mewujudkan kesejahteraan.
Ditambah dengan problem manajemen makin memperburuk kinerja BUMN, jika sudah dibiayai oleh utang otomatis BUMN tersebut sudah tidak mandiri. Selalu akan didikte oleh kapitalis pemilik modal terbesar, sehingga makin melencengkan tujuan BUMN dari niat semula. Tak ada waktu untuk mewujudkan kesejahteraan, sebab berkejaran dengan waktu untuk memperoleh profit guna membayar utang, begitu seterusnya.
Belum lagi dengan lemahnya ketakwaan, yang seharusnya tercermin dari para pejabatnya. Mereka yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban baik oleh negara maupun agama. Harus ada audit baik di awal masa jabatan maupun diakhir. Yang terjadi malah merekalah pelaku utama, tak malu lagi beramai-ramai berbaju orange dan dengan bangga mengatakan uang-uang korupsi mereka mengalir ke partai dan pejabat korup lainnya.
Jelas hal ini tak akan ada dalam Islam, sebab Islam akan memosisikan harta negara, pengelolaannya dan pemanfaatannya sesuai peruntukannya. Tak akan bercampur kepemilikan individu, negara maupun umum, semua diletakkan di Baitul mal sesuai posnya. Keberadaan BUMN hanya untuk mempermudah negara menjamin kesejahteraan rakyat, bukan yang lain. Jelas, kapitalis tak akan mampu mewujudkan hal demikian, landasannya sudah sekular, tak ada pengaruh agama di dalamnya. Maka harapan perbaikan itu hanya ada dalam syariat, Wallahu a' lam bish showab.
Tags
Opini