Oleh Verawati S. Pd
(Pegiat Opini Islam)
”Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” Begitulah kondisi dalam sistem kapitalis saat ini. Yang kaya (pemilik modal) dengan mudah mendapatkan berbagai fasilitas dan juga kemudahan usaha. Terlebih bila ada koneksi dengan penguasa atau bahkan pengusaha itu adalah penguasa itu sendiri. Jadi seperti melajukan kendaraan di jalan tol yang sepi, lancar tanpa hambatan. Begitulah simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha. Sedangkan si miskin (rakyat) sangat sulit untuk mendapatkan berbagai fasilitas. Jangankan fasilitas usaha dan lainnya, rakyat miskin harus berjuang untuk mencari makan dan memenuhi kebutuhannya sendiri ditambah beban pajak yang terus bertambah.
Hal ini bisa terlihat jelas dari kebijakan yang baru dikeluarkan pemerintah. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang kawasan ekonomi Khusus untuk daerah Lido. Daerah ini dikuasai oleh MNC sebuah perusahaan internasional yang diindonesia di pegang oelh Hary Tanoe. Seperti dilansil oleh media MNC Lido City telah mengantongi status menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata dari Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 2021 yang diteken pada 16 Juni 2021. Dengan terbitnya PP tentang KEK Pariwisata Lido tersebut, seluruh investor dan pelaku usaha di dalam KEK MNC Lido City dapat menikmati insentif yang melekat pada Kawasan Ekonomi Khusus. (Kompas.com,2021/06/17)
Kasus ini pun mendapatkan sorotan dari berbagai pihak. Salah satunya dari Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah juga mengatakan pemerintah seharusnya lebih adil untuk menyeleksi proyek mana yang harus diprioritaskan. “MNC ini enggak masuk daftar tunggu, kenapa dia masuk? Ini diduga ada persekongkolan yang tujuannya memberikan privilese tersendiri,” katanya kepada reporter Tirto, Selasa. Ia menduga ada kongkalikong dalam penunjukan ini. “Di situ ada konspirasi kolusi. Harusnya ada batasan. Ini kesannya jadi campur aduk antara kepentingan pemerintah dan kepentingan swasta,” kata dia. “KEK Lido harus dikaji ulang, atau enggak dibuat transparan penilaiannya.” Baik Trubus dan Tauhid menyoroti perkara ini karena pemilik Lido memiliki kaitan erat dengan pemerintah. MNC Group dimiliki Hary Tanoesudibjo, sementara anaknya, Angela Tanoe, tidak lain adalah Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (https://tirto.id, 17 Januari 2021)
Pemerintah menyatakan bahwa dengan adanya KEK ini akan meningkatkan perekonomian rakyat, memajukan UMKM dan lain sebagainya. Padahal faktanya, KEK LIDO adalah kawasan bertaraf internasional. Pastinya semua yang bekerja di sana harus menguasai bahasa Inggris yang fasih, berpendidikan tinggi dan lain sebagainya. Lalu, akankah masyarakat di sekitar KEK Lido ini merasakan berkahnya? Nyatanya di sekitar kawasan Lido masih tergolong pedesaan.
Selain itu, pemberian berbagai insentif yang melekat pada kawasan KEK merupakan keuntungan besar bagi pemilik modal. Begitu pula pada para investor asing, adanya perlakuan khusus bagi pekerja asing untuk imigrasi, prosedur percepatan khusus untuk sertifikasi tanah, hak pakai, dan hak atas bangunan sampai dengan 80 tahun dan lain sebagainya. Di sisi lain pemerintah menerapkan pajak pada setiap pendapatan rakyat, hingga pada kebutuhan pokok (sembako).
Sungguh keadaan ini sangat miris, bahwa keberpihakan pemerintah lebih pada pemilik modal bukan pada rakyat. Adapun dilihat dari sisi pembangunan yang diprogramkan oleh pemerintah, seharusnya lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur untuk kepentingan dan kebutuhan rakyat secara umum. Bukan individu tertentu. Pembangunan yang membuat seluruh rakyat sejahtera dan bahagia bukan sebaliknya, pembangunan untuk orang kaya saja.
Sangat beda jauh dengan pembangunan yang dilakukan di masa penguasa Islam. Pembangunan dilakukan dengan asas demi menyejahterakan rakyat. Sehingga pembangunan dilakukan di seluruh wilayah dan terutama hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh rakyat. Pembangunan yang baik dan sesuai kebutuhan rakyat. Hal ini telah tercermin pada pemerintahan Kholifah Umar bin Khattab. Pada masanya telah dibangun prasarana-prasarana atau berbagai fasilitas untuk umum. Seperti penggalian kembali sungai yang lama tertimbun di sekitar sungai nil, rumah singgah, membangun jalan, menyiapkan unta dalam jumlah besar dan lain sebagainya.
Semuanya didanai dengan biaya dari kas negara atau Baitul mal. Bukan hasil pinjaman atau utang. Sehingga pembangunan ini sama sekali tidak membebani negara atau masyarakat. Juga tidak menjadikan negara tergadai. Sebaliknya semua pembangunan ini benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat dan negara menjadi maju dan terhormat.
Wallahu'alam bish-showab
Tags
Opini