Oleh: Izzatil
Khasanah(Pemerhati Keluarga dan Generasi)
Seperti yang diketahui bahwaMenteri Agama (Menag) Yaqut
Cholil Qoumas dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR menyebut akan melakukan sertifikasi wawasan kebangsaan bagi
para dai dan penceramah. Sertifikasi ini dilakukan dalam rangka penguatan
moderasi beragama.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal (Sekjen)
MUI Dr Amirsyah Tambunan menolak rencana tersebut. Karena, menurut Amirsyah,
sertifikasi ini tidak jelas manfaat yang diterima oleh penceramah dan dai yang akan
disertifikasi.
Dalam raker tersebut, Menag akan menggandeng ormas Islam,
seperti MUI, NU, dan Muhammadiyah dalam memberikan bimbingan kepada para dai
dan penceramah. "MUI sudah melaksanakan dalam rangka penguatan kompetensi
yang di dalamnya ada materi soal wawasan kebangsaan," katanya menegaskan(www.republika.co.id,4/6/21).
Penguatan wawasan kebangsaan memang dinilai sebagai rumus
manjur untuk mencapai tujuan moderasi beragama, yakni menampilkan Islam yang
ramah, toleran, dan tidak kaku. Tentu saja lawan dari istilah moderasi itu
adalah Islam yang dianggap tidak ramah, intoleran, provokatif, dan terbuka
dengan nilai serta pemikiran barat. Singkatnya, lawan moderasi adalah
radikalisasi agama.
RAND Corporation dalam Building Moderate Muslim
Networks menjelaskan karakter Islam moderat, yakni mendukung demokrasi,
pengakuan terhadap HAM (termasuk kesetaraan gender dan kebebasan beragama),
menghormati sumber hukum yang nonsektarian, dan menentang terorisme.
Analis Islam terkemuka di AS, Robert Spencer, menyebut kriteria
seseorang yang dianggap sebagai muslim moderat antara lain: menolak
pemberlakuan hukum Islam kepada nonmuslim; meninggalkan keinginan untuk
menggantikan konstitusi dengan hukum Islam; menolak supremasi Islam atas agama
lain; menolak aturan bahwa seorang muslim yang beralih pada agama lain (murtad)
harus dibunuh; dan lain-lain(Muslimahnews, 7/5/2021).
Diharapkan dengan sertifikasi tersebut, penceramah lebih
moderat dan tidak terlalu kaku dalam menyampaikan dakwah. Yaitu dengan
pendekatan kultural dan budaya setempat. Jika mengingat kembali, sudah beberapa
kali program sertifikasi dai menjadi perbincangan pro dan kontra. Dari Kemenag
era Lukman Hakim, MUI, Kemenag era Fachrul Razi, hingga era Yaqut.
Seakan negeri ini bermasalah hanya pada satu problem semata,
yaitu radikalisme. Seperti diketahui, program moderasi agama digaungkan sebagai
upaya deradikalisasi. Turunan program ini adalah sertifikasi dai dan berlanjut
menjadi sertifikasi wawasan kebangsaan.
Jika memang ingin umat memiliki pemahaman agama Islam yang
benar, maka jawabannya adalah dakwah Islam yang benar sesuai Al-Qur’an dan
Sunah. Bukan dengan program moderasi yang justru mengaburkan
pemahaman umat tentang Islam.
Ketua Umum Ikatan Dai Seluruh Indonesia (Ikadi) K.H. Ahmad
Satori mengingatkan bahwa jangan sampai ada syahwat-syahwat dari golongan
tertentu dalam sertifikasi dai berwawasan kebangsaan. Sertifikasi dai dinilai
harus bertujuan hanya karena Allah Swt..
“Kalau untuk menguatkan persatuan dan meningkatkan
kompetensi dai, itu bagus-bagus saja. Bukan untuk tujuan syahwat-syahwat dari
golongan tertentu,” kata K.H. Satori dikutip dari Republika, Jumat (4/6/2021).
Sertifikasi wawasan kebangsaan bukanlah standar untuk
mengukur kompeten tidaknya para dai. Tapi, kompetensi itu dinilai berdasarkan
keilmuan yang dimiliki, konsistensinya memegang kebenaran, dan ketaatannya
kepada Allah dan Rasul-Nya. Dakwah mestinya disampaikan sesuai tuntunan
Al-Qur’an dan Sunah. Bukan berdasarkan pada pertimbangan dan penilaian manusia.
Patut diduga bahwa program ini dibuat untuk memberi label
penceramah dengan kategori moderat atau radikal. Dengan harapan, umat akan
semakin merasa “ngeri” jika mendengar kata “penceramah radikal”. Sebuah
stereotip yang sengaja dihembuskan Barat agar umat kian sekuler dan liberal.
Tugas dai adalah menyampaikan amar
makruf nahi mungkar secara bersamaan, bukan memilih salah satu. Senang menyeru
amar makruf, tapi mendiamkan kemungkaran. Itu bukanlah sikap dai sejati.
Rasulullah saw. bersabda,
“Jihad yang paling utama ialah
mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa yang zalim.” (HR Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)
Sejatinya, dakwah amar makruf nahi mungkar tidak
membutuhkan sertifikasi, tapi konsistensi dan realisasi. Dakwah adalah
kewajiban untuk menyampaikan kebenaran yakni menyiarkan Islam sebagai jalan
hidup yang wajib diambil sebagai hamba Allah Swt., yakni Islam kafah yang
dituntunkan Allah Ta’ala. Wallahu’alam bishawab.