Oleh: Rindoe Arrayah
Umat Islam kembali digaduhkan dan diresahkan dengan munculnya wacana sertifikasi wawasan kebangsaan untuk para dai. Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) ini diawali saat tes pegawai KPK alih status PNS. Wacana TWK rupanya diikuti oleh Kementrian Agama dalam rangka sertifikasi dai.
Dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menyatakan akan melakukan sertifikasi wawasan kebangsaan bagi para dai dan penceramah. Hal ini dilakukan untuk penguatan moderasi beragama. Fasilitas pembinaan ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi para dai manakala menjawab dan merespon isu-isu aktual. Strategi metode dakwah menitikberatkan pada wawasan kebangsaan atau sejalan dengan slogan hubbul wathon minal iman (CNN.com, 2/6/2021).
Menurut Menag Yaqut, TWK ini mesti dilakukan dalam rangka penguatan moderasi beragama. Ia menyampaikan bahwa sertifikasi ini terkait dengan penguatan moderasi beragama melalui kompetensi penceramah. Sertifikasi ini diperuntukkan penceramah semua agama karena dinilai masih ada penceramah yang provokatif dan intoleran dalam materi ceramahnya.
Dengan adanya sertifikasi tersebut, diharapkan para penceramah lebih moderat dan tidak terlalu kaku dalam menyampaikan dakwah. Yaitu, dengan pendekatan kultural dan budaya setempat. Jika mengingat kembali, sudah beberapa kali program sertifikasi dai menjadi perbincangan pro dan kontra. Dari Kemenag era Lukman Hakim, MUI, Kemenag era Fachrul Razi, hingga era Yaqut.
Analis Islam terkemuka di AS, Robert Spencer, menyebut kriteria seseorang yang dianggap sebagai muslim moderat antara lain: menolak pemberlakuan hukum Islam kepada nonmuslim; meninggalkan keinginan untuk menggantikan konstitusi dengan hukum Islam; menolak supremasi Islam atas agama lain; menolak aturan bahwa seorang muslim yang beralih pada agama lain (murtad) harus dibunuh; dan lain-lain (Muslimahnews, 7/5/2021).
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof. Dadang Kahmad mempertanyakan siapa target dari sertifikasi ini dan apa manfaat yang diterima oleh penceramah dan dai yang disertifikasi. Terkait sertifikasi wawasan kebangsaan ini, ia juga mewanti-wanti jangan sampai pertanyaan yang dikeluarkan menimbulkan polemik seperti yang terjadi di instansi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sebuah hal yang sangat tidak layak ketika mempertanyakan kualitas wawasan kebangsaan para dai melalui sertifikasi. Telah diketahui bersama bahwa keberadaan para dai di tengah-tengah umat sebenarnya adalah wujud cinta, serta kepedulian terhadap negeri ini. Para dai secara nyata mengedukasi umat dengan pemikiran dan pemahaman Islam di tengah krisis multidimensi yang melanda hingga mampu memberikan kontribusi terbaik untuk negeri ini.
Sesungguhnya, dakwah amar makruf nahi mungkar tidak membutuhkan sertifikasi. Karena, kewajiban menyampaikan kebenaran sudah dinyatakan Rasulullah dalam sabdanya, “Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi)
Rasulullah saw. bersabda,
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa yang zalim.” (HR Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)
Sertifikasi tersebut tak lebih sebagai program deradikalisasi di kalangan para dai. Program ini tak lepas dari proyek anti radikalisme yang di gagas oleh Barat. Deradikalisasi Islam oleh Barat dimaknai sebagai upaya menjauhkan umat Islam dari agamanya. Strategi Barat dibalik narasi ini tiada lain sebagai upaya pendangkalan ajaran Islam. Upaya pemecah belah umat Islam antara kaum yang disebut radikal dengan kaum moderat dan upaya menghadang kebangkitan Islam. Hal ini bisa dimaknai, jika ada kaum Muslimin yang ingin mewujudkan Islam secara kaffah disebut kaum radikal.
Dari sini, semakin tampak jelas, siapakah sasaran program sertifikasi ini. Bagi pendukung rezim akan dikenal sebagai dai moderat, namun bagi pendukung dai yang senantiasa mendakwahkan Islam secara kaffah diberi stempel radikal.
Keberadaan TWK akan menjadikan penguasa lebih leluasa mengarahkan dai sesuai kehendak politiknya. Tidak ada lagi kontrol dan kritik terhadap penguasa saat ia tidak memenuhi hak rakyat atau ketika penguasa tak menjalankan aturan Sang Pencipta dalam mengelola urusan umat.
Dakwah yang diserukan bagi penguasa tidak selayaknya untuk ditakuti atau dianggap musuh. Aktifitas ini merupakan muhasabah atau mengoreksi kinerja penguasa agar lebih baik dan tak menzalimi rakyat. Hal ini adalah wujud cinta terhadap negeri.
Wallahu a’lam bishshowab.