Pembatalan Haji, Tanggung Jawab Siapa



Oleh Sari Isna

Penyelenggaraan keberangkatan haji tahun 2021 resmi dibatalkan. Keputusan ini merupakan keputusan final setelah mempertimbangkan keselamatan haji dan mencermati aspek teknis persiapan dan kebijakan otoritas Arab Saudi. Keputusan ini juga mendapat dukungan dari Komisi VIII DPR RI dalam rapat kerja masa persidangan kelima tahun sidang 2020/2021 pada 2 juni 2021 kemarin di mana pihak DPR RI menyatakan menghormati keputusan pemerintah yang akan diambil terkait penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 H/ 2021 M. (cnbcindonesia.com, 6/6/2021).

Keputusan pemerintah membatalkan keberangkatan jemaah haji 2021 menuai kontroversi. Di tengah polemik, muncul isu-isu miring soal keputusan pembatalan haji 2021 ini. Beberapa isu miring yang menjadi sorotan public diantaranya soal dana haji di kemanakan, pembatalan haji karena minim lobi dan adanya hutang RI ke Saudi, anggapan pembatalan haji yang terkesan terburu-buru, serta tudingan kepada pemerintah membatalkan haji karena “sembunyi” di balik covid-19 (detik.com, 5/6/2021).

Terlepas dari isu-isu yang beredar luas di masyarakat, tentunya yang pertama bisa kita lakukan adalah berserah diri, bertawakkal kepada Allah SWT dengan mengucapkan “innalillahi wa inna ilaihi roji’un” yang berarti segala hal itu Allah yang menentukan, segala hal Allah yang telah mengatur, dan segala hal akan kembali kepada Allah SWT yang pastinya selalu memberikan segala hal yang maslahat dalam kehidupan kita.

Menanggapi kontroversi tentang keputusan pembatalan haji, pertanyaan poinnya adalah “Kemana tanggung jawab penuh negara dalam memfasilitasi kewajiban agama setiap orang?” Bukankah haji adalah kewajiban bagi setiap muslim yang mampu. Haji adalah rukun Islam yang kelima. Begitu berharganya bagi kita umat Islam mendapatkan panggilan dari Allah sehingga kita rela bersusah payah dan berkorban dengan ikhlas demi menunaikannya.

Dan Allah telah menggambarkannya dalam Al-Qur’an surat Al-Haj ayat 27 yang artinya, “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh”.

Dahulu, orang haji tidak perlu minta ijin siapapun, tidak perlu ribet mengurus apapun, karena itu perintah dan panggilan Allah SWT. Bahkan Islam mewajibkan negara/daulah khilafah menjadi ra’in, melakukan upaya maksimal untuk memastikan terlaksananya kewajiban haji oleh rakyat, menghilangkan hambatan serta mempersiapkan beragam sarana dan bantuan agar sempurna kewajiban.

Pada masa Rasulullah Saw. adalah kisah mengharukan Uwais Al Qarni yang membopong ibunya dari Yaman hingga ke Mekah untuk berhaji, meski hanya dengan berjalan kaki tapi tak melalui proses panjang bahkan pemeriksaan yang berkali-kali. Sedangkan masa Khalifah Abdul Hamid dari Khilafah Turki Utsmani dibangunlah jaringan kereta api dari Damaskus hingga ke Madinah untuk memudahkan rakyat yang ingin melaksanakan umroh dan haji. Bisa kita bayangkan pergi haji seperti hanya mudik dari Jakarta ke Jogja, tanpa ribet, tanpa paspor atau visa, tanpa aturan kuota, dan sebagainya. Itu semua karena saat itu kita masih dalam satu lingkup wilayah, yakni daulah Khilafah.

Dan sekarang, saat khilafah sudah sangat lama diruntuhkan tepatnya tahun 1924 H bermunculanlah sekat-sekat kebangsaan (nasionalisme) yang menyebabkan umat Islam terpecah belah dalam negara-negara kecil yang terpisah. Pada akhirnya semua merasakan dampaknya termasuk dalam pelaksanaan ibadah haji. Pelaksanaan haji diatur sedemikian rupa, mulai dari jumlah kuota tiap negara, pengurusan paspor dan visa, hingga digalakkannya talangan haji yang berimbas pada antrian haji yang sangat lama.

Terlebih di tengah pandemi, kesabaran umat Islam yang ingin melaksanakan ibadah haji kesabarannya harus teruji. Jika alasan pembatalan haji dikarenakan kerajaan Arab Saudi tidak memberikan kuota, tapi pada akhirnya duta besar mereka membantah itu semua. Jadi fix, alasannya bukan karena kuota. Tetapi jika karena alasan covid, ternyata Malaysia dan India juga terkena bahkan lebih parah dari Indonesia. dan keduanya kuotanya dibuka. Sedangkan Jika dana jamaah haji ada, kenapa tetap tidak ditiadakan. Apa gerangan alasan sebenarnya?

Semoga ke depan pemerintah lebih bijak dalam menanggapi setiap permasalahan secara transparan dengan berbagai pertimbangan. Dan pada akhirnya, kita semua berharap pada kembalinya daulah Islam agar wilayah-wilayah yang dulunya milik Islam bisa kembali bersatu dalam satu kekuasaan khilafah, sehingga aturan-aturan haji yang terjadi sekarang akan sangat dimudahkan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak